Oleh: Mukhlis, S.Pd., M.Pd.
Setiap senja merayap turun di Blang Laka, Jugi melangkah gontai di antara deru ombak yang menggulung perkasa. Ia sebatang kara, perut keroncongan tak bersahabat. Namun, di bibirnya selalu terucap pinta lirih, melantun bagai kidung,
Jugi yang tersesat dalam labirin khayal. Ia mendamba sentuhan seorang putri impian, sosok yang menari anggun dalam setiap lelapnya.
Dari ufuk timur yang merekah hingga ujung barat yang meremang, setiap negeri telah Ia jejaki. Setiap pekan Ia arungi lautan, bara semangatnya tak pernah padam, membakar relung hatinya. Jauh maupun dekat, segenap penjuru dunia Ia sisir, bagai elang lapar yang mencari mangsa.
Jugi, sang pengembara ilusi, terus menari dalam negerinya sendiri, hingga setiap jengkal tanah Aceh terjamah oleh lembutnya khayalan.
Cerpen: Jugi Tapa di Negeri Bayang
Semua fatamorgana itu ia bawa pulang ke "Rumah Jiwa", ke "milik tempat diri" di Blang Laka. Putri-putri khayalan, seindah pelangi selepas hujan yang membentang di cakrawala, Ia kumpulkan dalam angan. Namun, realitas selalu menamparnya dengan dingin, menyisakan bayangan seorang lelaki yang terperangkap dalam sunyi.
Hikmat mantera telah terpatri kuat dalam benaknya, namun ia terlena dalam keajaiban semu. Ia tak menyadari permata hati yang sesungguhnya telah pergi, terlepas dari genggamannya tanpa Ia sadari. Semua bidadari impian itu hanyalah takdir sang raja ilusi.
Timur dan barat terasa hampa, sepi bagai padang pasir tak bertepi yang membentang tanpa ampun. Habis sudah setiap pelosok negeri Ia rengkuh ilmunya. Di mana pun seorang putri jelita bersemayam, semua Ia boyong ke Blang Laka, menjadikannya istana ilusi yang megah namun dingin.
Demikianlah kisah ini terulang tanpa akhir, bagai kaset usang yang terus berputar. Di setiap persinggahan, di mana pun Ia menemukan seorang gadis, "Wahai Putri Cot Bungong Uroe, secantik mentari pagi yang merekah," rayunya dengan suara semerdu buluh perindu yang mengalun syahdu, "kini kau ikut bersamaku, menuju meuligoe yang megah rupawan." Begitulah sabda Jugi Tapa, terjerat dalam jaring hikmat mantra yang membutakan mata hatinya.
Setelah Ayah Menikah Lagi
Ke mana pun langkah membawanya, semua gadis yang memesona Ia kumpulkan di Blang Laka. Kurang lebih delapan belas negeri telah ia renggut putrinya, semua Ia kurung dalam istana ilusi yang sunyi dan dingin.
Tinggallah sunyi yang mencekam, hanya gema langkah kaki seorang lelaki di negeri impian yang kosong melompong. Jugi yang konon katanya pandai, telah menorehkan lara yang mendalam. Hilanglah daya para raja negeri, semua terbius mantra Jugi yang mematikan akal sehat.
Setiap jiwa yang gentar di bawah tatapan mata Jugi Tapa yang tajam, Ia himpun dan bawa pulang ke singgasananya yang megah namun hampa. Sungguh pilu hati melihat Jugi, terperangkap dalam kota ilusi yang Ia bangun sendiri, seperti laba-laba dalam jaringnya.
Tak ada lagi kidung panjang sang perawi, hanya sunyi yang berbisik pilu. Begitulah sekelumit kisah yang dapat dituturkan tentang Jugi Tapa dan istana ilusi di Blang Laka.
Namun, cerita tak berhenti di sana. Di antara para putri yang terperangkap, tersisa dua sosok yang belum sepenuhnya tunduk pada pesona Jugi: Putri Nyanja dan Putri Intan.
Putri Nyanja adalah seorang ahli ilmu hikmat mantra yang tak kalah piawai. Ia mampu mengubah rupa dalam sekejap mata, bagai seorang ilusionis ulung. Berkali-kali ia menghilang dari istana ilusi, menjelajah negeri orang dalam penyamaran.
Namun, entah makhluk mengerikan apa yang mengincarnya, setiap kali Ia kembali, Ia membawa cerita tentang adi, sosok menakutkan yang melenyapkan orang tanpa jejak. Beberapa putri lain bernasib lebih tragis.
Ada yang ditukar Jugi dengan seorang tua renta, ada pula yang ditiupnya hingga meregang nyawa, seperti lilin yang dipadamkan angin. Ia bahkan menukar beberapa putri dengan nama-nama asing, yang kemudian dipelihara oleh Cut Putro Ti yang misterius.
Hanya Putri Intan yang belum berhasil ia temukan. Konon, kecantikannya tak tertandingi, bagaikan bidadari dari langit. Banyak yang menduga ia bersembunyi di suatu tempat yang penuh kemegahan, dijaga oleh anak Sawang yang dengki, yang siang malam semakin membara amarahnya seperti api dalam sekam. Semua putra raja dan sultan yang berkuasa telah ditawan Jugi, namun Putri Intan tetap menjadi buruannya yang paling menguras pikiran.
Setiap negeri yang menyimpan kemegahan, di sanalah Jugi mencari, dengan obsesi yang membara. Dalam mimpi, tabir misteri menyelimuti keberadaan Putri Intan. Dalam tapa, ia membayangkan sang putri yang memikat hatinya. Seratus putri telah menjadi janjinya.
Konon, ketika seratus putri berkumpul di Blang Laka, ajal takkan menjemputnya barang sekali pun, seperti mantra penolak maut. Nama-nama putri yang ia kumpulkan bagai rangkaian bunga, namun bagi Jugi, itu hanyalah tabir ilusi yang menipu mata.
Seratus hajat sang putri yang terpendam. Ketika Jugi tiba di suatu negeri, seolah maut pun gentar melihat pesonanya. Dua kali seratus menjadi buruannya yang sesungguhnya, itulah yang ia cari dengan kegigihan seorang pemburu.
Di tengah pencariannya, ia berkelana tanpa henti, bagai angin yang bertiup kencang. Sambil berjalan, keanehan terjadi pada diri Jugi. Bulu di tubuhnya rontok satu per satu, menancap cepat di bumi yang ia pijak, meninggalkan jejak misterius.
Semua bulu itu ia tabur dalam bumi, meracuni tanah dengan kejahatan yang tak terkira. Dari bulu-bulu itu tumbuhlah batang naleung, keajaiban Tuhan yang menjelma tak terduga, indah dipandang mata namun mematikan di dalamnya.
Hingga semua hajatnya terpenuhi, anugerah Tuhan tercurah padanya, namun dengan harga yang mahal. Baik dan jahat menjadi satu, apa pun pinta Tuhan memberi, dengan misteri yang mendalam. Dari bulu Jugi Tapa, tumbuh ke luar dari bumi, keanehan yang nyata. Ke mana pun ia melangkah, jejaknya menorehkan ketakutan, keajaiban yang tumbuh di setiap negeri, namun membawa petaka.
Ketika tiba, ia pergi lagi, setiap negeri ia arungi, tanpa pernah merasa puas. Ia pergi menawan anak gadis, selalu berkelana dalam negeri, dalam lingkaran obsesi. Dua putri itulah yang masih ia cari, yang lain semua telah selesai, terperangkap dalam istananya. Dua putri belum menyerah diri, masih menyimpan bara perlawanan: Putri Nyanja dengan kelincahannya dan Putri Intan dengan misteri keberadaannya.
Kenangan yang Tak Terlupakan
Dua orang belum ia temui, itulah sangsi dalam hati yang mengusik ketenangannya. Setiap hari ia berjalan, mencari di mana pun megahnya putri ahli yang termahsyur. Terkenal di sana seorang putri, tak ada tandingan keindahannya, bagaikan bidadari dari langit. Rupa indah sangat serasi, bagai siang memancarkan cahaya yang menyilaukan mata.
Siapa pun yang melihat, hati pasti tertawan, rindu dendam bersemi dalam jiwa yang menggebu. "Berbaik hati aku berdoa, Putri Bintang," gumam Jugi, membayangkan sosok yang belum ia temui, "indah tak terkira, cahayamu membelah kegelapan."
Dalam diri Jugi, keindahan Putri Bintang tak tertahankan, harum semerbak bagai cekang, indah tak terperikan, membius setiap indra. Ia berhasrat mengambil putri kecil itu, sebab parasnya seindah mentari pagi yang hangat dan memikat. Cahayanya gugur ketika terlihat, bagai terikat dalam hati yang terpukau. Itulah putri yang sangat cantik, seperti mimpi yang menjadi nyata.
Namun, di tengah obsesinya, Jugi tak menyadari bahwa di Blang Laka, di antara para putri yang ia kurung, ada hati yang terluka dan dendam yang membara. Mereka adalah para putri yang kehilangan kebebasan, yang menyaksikan negeri mereka sunyi senyap akibat ulah Jugi. Mereka merindukan keluarga, kampung halaman, dan kehangatan kasih sayang yang telah direnggut.
Di antara para putri itu, ada seorang gadis bernama Cut Ahmad Banta. Ia adalah putri seorang menteri yang cerdas dan berani. Sejak tiba di Blang Laka, ia tak pernah berhenti mencari cara untuk melarikan diri dan membebaskan para putri lainnya.
Ia mengamati setiap gerak-gerik Jugi, mempelajari kelemahan mantranya, dan menjalin persekutuan diam-diam dengan Putri Nyanja, satu-satunya putri yang memiliki ilmu setara dengan Jugi.
Suatu malam, di bawah rembulan yang pucat, Cut Ahmad Banta memberanikan diri bertanya kepada salah seorang dayang istana ilusi, "Dahulu pagi Aku pergi bermain, bersama teman semua sinaroe. Dikatakan ayah bunda , heran sungguh sah orang?"
Dayang itu, yang juga merindukan kebebasan, menjawab dengan lirih, "Sedang bertanya poout Banta, jatuh air mata semua bertali. Ingat sendiri tak lagi bunda, menangis tak terbagi."
Mendengar jawaban itu, hati Cut Ahmad Banta semakin pilu. Ia teringat ibunya, yang pasti sangat khawatir dengan kepergiannya. Namun, kesedihan itu tak membuatnya menyerah. Justru, ia semakin bertekad untuk mengalahkan Jugi dan mengembalikan kebahagiaan ke negeri mereka masing-masing.
Dengan bantuan Putri Nyanja yang lihai menyamar, Cut Ahmad Banta berhasil mengirimkan kabar kepada ayahnya. Ia menceritakan semua yang terjadi di Blang Laka dan memohon bantuan untuk membebaskan dirinya dan para putri lainnya.
Ayah Cut Ahmad Banta, seorang raja yang gagah berani, segera mengumpulkan pasukannya. Dengan hati yang dipenuhi amarah dan kerinduan, ia memimpin tentaranya menuju Blang Laka.
Sementara itu, di istana ilusi, Jugi Tapa semakin terjerat dalam obsesinya mencari Putri Intan. Ia tak menyadari bahwa bahaya telah mengintainya. Para putri yang ia kurung, yang selama ini tampak lemah dan tak berdaya, diam-diam telah menyusun rencana pemberontakan.
Ketika pasukan raja tiba di Blang Laka, mereka disambut oleh pemandangan yang mengerikan. Istana megah itu tampak sunyi dan dingin, dikelilingi oleh hutan naleung yang tumbuh aneh dan mematikan. Namun, di balik tembok istana, semangat perlawanan telah berkobar.
Dengan dipimpin oleh Cut Ahmad Banta dan Putri Nyanja, para putri yang selama ini terkurung bangkit melawan Jugi Tapa. Pertempuran sengit tak terhindarkan. Mantra-mantra Jugi beradu dengan ilmu hikmat para putri. Ilusi yang selama ini menyelimuti Blang Laka perlahan runtuh, memperlihatkan kenyataan pahit tentang kejahatan Jugi.
Akhirnya, dengan keberanian dan kecerdikan para putri, Jugi Tapa berhasil dikalahkan. Kekuatan mantranya luntur, dan istana ilusinya hancur berkeping-keping. Para putri yang selama ini terperangkap akhirnya bebas dan dapat kembali ke negeri mereka masing-masing.
Cut Ahmad Banta dan Putri Nyanja menjadi pahlawan bagi para putri yang telah diselamatkan. Mereka membuktikan bahwa kekuatan sejati tidak hanya terletak pada ilmu magis, tetapi juga pada keberanian, persatuan, dan harapan.
Blang Laka kembali sunyi, namun kali ini bukan sunyi yang mencekam, melainkan sunyi yang menandakan kedamaian setelah badai berlalu. Jejak reuling yinak dali perlahan menghilang, digantikan oleh harapan akan masa depan yang lebih baik.
Kisah tentang Jugi Tapa dan istana ilusinya menjadi pelajaran berharga tentang bahaya obsesi dan pentingnya melihat dunia dengan mata hati yang jernih.
*** Bersambung***
Penulis adalah Pemimpin redaksi Jurnal Aceh Edukasi dan Guru SMA Negeri 1 Lhokseumawe
0 Komentar