Cerpen: Jugi Tapa di Negeri Bayang

 

                                                    Sumber:Dreamina.capcut.com

Oleh: Mukhlis, S.Pd., M.Pd.

Di sebuah negeri yang permai, tempat harum bunga rampai menari bersama angin pagi dan azan mengalun lembut di antara hamparan sawah yang hijau, hiduplah seorang pemuda bernama Jugi. 

Ia dikenal sebagai murid kesayangan Tgk. Lhok Drien, seorang ulama yang arif dan bijaksana, yang dihormati di seluruh penjuru Aceh. 

Meski muda, Jugi menyimpan hasrat besar akan ilmu, terutama ilmu yang tak kasat mata, ilmu yang menyentuh batas antara dunia nyata dan gaib.

Suatu pagi yang cerah, kala embun masih menggantung di ujung-ujung dedaunan, Tgk. Lhok Drien memanggilnya.

“Wahai Jugi, anak yang cerdas,” Ucap sang guru dengan suara setenang air kolam. “Pergilah ke kediaman Tgk. Jambo Haji. Sampaikan salamku dan mintalah sebuah kitab yang telah lama dititipkan padanya. Tapi ingat, jangan sekali pun engkau membuka kitab itu.”

Tanpa ragu, Jugi berangkat. Langkahnya ringan, zikir tak putus dari bibirnya. Di bawah cahaya mentari yang lembut, ia menapaki jalan panjang, hingga tiba di rumah tua Tgk. Jambo Haji, sebuah rumah yang dipenuhi aroma kayu tua dan ketenangan yang menyusup hingga ke sumsum tulang.

“Assalamu’alaikum, wahai Teungku yang mulia,” sapa Jugi penuh hormat.

“Wa’alaikumussalam, anak muda. Apa gerangan yang membawamu kemari?”

Jugi menyampaikan pesan gurunya. Tgk. Jambo Haji tersenyum—senyum seorang yang telah mengenal banyak rahasia dunia.

“Kitab ini bukan sembarang kitab,” katanya, sambil menyerahkannya. “Ia menyimpan hikmat dan bahaya sekaligus. 

Bawalah dengan hati yang suci, dan jangan engkau buka sebelum tiba pada gurumu. Hormatilah orang tuamu, Jugi. Di sanalah rahmat Ilahi menetap.”

Jugi menerima kitab itu seolah menerima bagian dari langit. Tapi di tengah jalan pulang, rasa penasaran tumbuh bagaikan gulma. "Apa yang tersembunyi di dalam kitab ini?" pikirnya.

Rasa ingin tahu akhirnya mengalahkan janji. Di tanah lapang bernama Blang Laka, Jugi membuka kitab itu dan sejak itu, batas antara nyata dan ilusi terbelah.

Awan menjadi kabut aneh, angin berbisik dalam bahasa yang tak dikenalnya, dan bumi tempatnya berpijak berdenyut seperti makhluk hidup.

 Dari halaman-halaman kitab, muncul mantra-mantra dan bayangan. Ia mengucapkannya, tanpa sadar ia menciptakan "kota ilusi" berkilau, megah, namun kosong dari kebenaran.

Jugi, kini bukan lagi murid alim, tapi penguasa dunia bayangan. Ia membangun kota-kota ilusi di Cot Blang Tho, menanam menara dari cahaya, menciptakan makhluk-makhluk halus berbentuk siwak, dan menggambar putri-putri cantik yang menari dalam kubah emas. 

Ia mencari seorang putri sejati yang tak pernah ada. Khayalan menelannya, dan kenyataan kian menjauh.

Dalam pencariannya, Jugi bertapa. Ia menukar jiwanya dengan seekor burung penjaga, menaruh tubuhnya yang renta di tengah rawa, makan dari ampas dan mencari sisa makanan di tempat sampah. Namanya bergema di antara dunia manusia dan dunia gaib penguasa Blang Laka.

Namun, kebenaran selalu mencari jalannya. Seorang pemuda bernama Ahmad Banta, keturunan Jugi yang lama hilang, mendapat bisikan dari mimpi dan cerita bunda. Ayah dan ibunya telah ditelan kota ilusi, dibawa oleh Jugi ke istana fatamorgana.

Dengan restu ibunda, Ahmad Banta menaiki kuda pusaka dan menempuh jalan gaib menuju Blang Laka. Di tengah kabut dan bayangan, ia mendengar suara burung hantu yang pernah dipukul ayahnya. Sang burung, dengan suara parau penuh luka, mengabarkan letak ilusi yang mengurung keluarganya.

Ahmad Banta akhirnya sampai di pusat kota ilusi, tempat Jugi yang telah renta duduk di atas takhta dari cahaya hampa. Tubuhnya kini hanya berkudis , hatinya membatu oleh mantra-mantra yang diciptakannya sendiri.

“Wahai Jugi,” seru Ahmad Banta, “kutebas kabut ini dengan kebenaran!”

Ia membaca ayat-ayat suci, dan satu demi satu bangunan ilusi runtuh. Putri-putri khayalan lenyap dalam cahaya. Jugi terhuyung, kembali ke wujudnya sebagai murid muda yang dulu begitu hormat dan taat. Air matanya jatuh, menyadari semua telah ia khianati, guru, orang tua, dan dirinya sendiri.

Ketika semuanya lenyap, hanya tinggal tanah Blang Laka yang sunyi. Jugi memeluk Ahmad Banta, dan dengan napas terakhirnya, berkata:“Ilmu tanpa iman adalah ilusi. Hikmat tanpa adab adalah bencana. Jagalah hati seperti menjaga kitab suci dengan sabar, bukan dengan nafsu.”

Ahmad Banta membawa kembali ruh ayahnya dalam doa. Ia kembali ke negerinya, menjadi penjaga ilmu yang sejati. 

Kota ilusi telah tiada, namun kisahnya tetap hidup sebagai pelajaran, bahwa cahaya sejati hanya datang bagi mereka yang menjaga amanah, menepati janji, dan mencari kebenaran, bukan ilusi.

*** Bersambung***

Penulis adalah Pemimpin Redaksi Jurnal Aceh Edukasi dan Guru SMA Negeri 1 Lhokseumawe 




Berita Terkait

Posting Komentar

0 Komentar