Foto: Dokumen Pribadi
Oleh : Olivia Balqis
Bau laut dan angin pagi selalu menyambut Ghazi setiap hari. Di pesisir
Banda Aceh, tepatnya di sekitar Pantai Alue Naga, pemandangan itu adalah
satu-satunya hiburan dari rutinitas yang monoton. Namun, bagi Ghazi,
pemandangan itu tak pernah membosankan. Sebaliknya, aroma laut justru memicu
mimpinya: menaklukkan jurusan teknik perminyakan di salah satu universitas
terbaik di Pulau Jawa, lalu kembali ke Aceh untuk membangun tanah kelahirannya.
Cerpen: Harsa Nandikara
Ghazi bukan pemuda kaya. Ayahnya seorang nelayan yang hidup pas-pasan.
Namun, Ghazi memiliki harta paling berharga yang tak bisa dibeli: otak yang
cerdas dan sepasang sepatu pantofel hitam usang. Sepatu itu adalah warisan dari
kakeknya yang bijaksana, yang selalu mengajarkan bahwa ilmu adalah modal utama.
Bagi Ghazi, sepatu itu lebih dari sekadar alas kaki; sepatu itu adalah jimat,
saksi bisu setiap lomba cerdas cermat yang ia menangkan, dan pengingat akan
pesan kakeknya yang selalu ia teladani.
Hari itu, sebuah amplop tiba. Di dalamnya, surat dari yayasan beasiswa
ternama mengabarkan bahwa Ghazi lolos seleksi awal. Ia hanya perlu menghadiri
wawancara di sebuah gedung di pusat kota minggu depan untuk meraih beasiswa
penuh. Jantungnya berdebar kencang. Mimpi yang selama ini hanya ia bayangkan,
kini terasa di depan mata. Pintu menuju masa depan yang cerah, seolah terbuka
sedikit.
Namun, di sore yang sama, saat ia membantu ayahnya memperbaiki jaring di tepi pantai, sebuah musibah kecil terjadi. Ia terpeleset di tumpukan karang dan kakinya membentur batu. Rasa sakitnya tak seberapa, tetapi saat ia menoleh ke bawah, dunianya terasa runtuh.
Cerpen: Semesta di Ujung Lorong
Sepatu pantofel warisan yang berharga itu
kini robek parah. Solnya terlepas dan kulitnya menganga lebar, seolah
menertawakan segala mimpinya. Itu bukan sekadar sepatu robek; itu adalah simbol
dari rapuhnya harapan yang selama ini ia genggam erat.
“Ya Tuhan, bagaimana ini?” bisik Ghazi, menatap sepatu yang kini tak
berbentuk, sepasang sepatu yang kini terasa seperti kepingan hatinya yang
hancur. Ia membalik sepatu itu, melihat lubang besar di solnya, dan kulit yang
terbelah dua.
Ayahnya menepuk bahu Ghazi. “Tidak apa-apa, Nak. Sepatu bisa
diperbaiki.”
Namun, Ghazi tahu, sepatu itu sudah sangat tua, usianya lebih dari
belasan tahun. Lem dan jahitan seadanya tidak akan cukup untuk menahan
bebannya, apalagi jika harus berjalan jauh di kota. Ia mencoba memperbaikinya
selama dua hari penuh, dengan jari-jari gemetar dan harapan yang terus menipis.
Setiap kali ia menjahit, benang putus. Setiap kali ia menempel, lemnya tak
merekat. Hasilnya nihil. Sepatu itu semakin rapuh, menyisakan serpihan kulit
yang usang di tangannya.
Sementara itu, bisik-bisik mulai merayap di gampong. Tatapan tetangga
terasa lebih tajam, senyum mereka mengejek. “Lihatlah si miskin itu,” terdengar
samar-samar. “Bermimpi kuliah di Jawa, tapi untuk pakai sepatu yang layak saja
tidak sanggup. Pasti Cuma mempermalukan gampong kita.” Setiap kata menusuk ke
dalam hatinya, membuat langkahnya terasa berat. Keraguan meracuni pikirannya:
“Apakah aku memang tidak pantas? Apakah mimpi ini terlalu besar untuk sepasang
kaki yang hanya berbalut sepatu compang-camping?” Ia merasa seolah semua orang
menunggu ia menyerah, menunggunya kembali ke realita pahit.
“Ayah, apa aku harus membatalkan saja?” tanyanya putus asa suatu malam,
matanya menatap sepatu di depannya. “Aku tidak punya sepatu yang pantas. Aku
tidak siap menahan tatapan menghina dan bisik-bisik yang meremehkan itu.”
Ayahnya mengelus kepala Ghazi. “Ghazi, yang mereka cari bukan sepatu
bagus, Nak. Mereka mencari otak dan hatimu. Sepatu itu... hanyalah wadah. Yang
penting isi di dalamnya. Percayalah pada dirimu, Nak.”
Kata-kata ayahnya menenangkan, tetapi kegelisahannya tetap ada. Malam itu, ia duduk sendirian di tepi pantai. Laut berbisik, memantulkan cahaya rembulan. Dinginnya angin malam seolah menusuk tulang, sama seperti keraguan yang bersarang di hatinya.
Ia teringat cerita kakeknya yang berjuang tanpa apa-apa, hanya berbekal tekad. Ghazi sadar, ketulusan dan semangatlah yang harusnya menjadi modal utamanya. Namun, bisakah itu cukup untuk menutupi penampilan yang memalukan?
Janji yang Terbisik dalam Mimpi
Dengan tekad yang bercampur ketakutan, ia berangkat ke kota dengan becak motor, mengenakan sepatu usangnya yang kini ia ikat sekencang-kencangnya dengan tali rafia agar tidak lepas. Setiap ayunan langkahnya terasa berat, seolah sepatu itu tidak hanya menahan kakinya, tetapi juga harga dirinya. Hatinya berdegup kencang, antara harapan dan rasa malu yang menggerogoti.
Ia
melangkah ragu saat memasuki gedung megah tempat wawancara. Di sana,
dikelilingi oleh para peserta lain dengan pakaian rapi dan sepatu mengilap, ia
merasa seperti rumput liar di antara bunga-bunga mawar yang semarak, dihantui
bayang-bayang pandangan meremehkan yang ia duga ada pada setiap pasang mata.
Saat namanya dipanggil, kakinya terasa seperti terpaku. Di dalam
ruangan, seorang pewawancara utama menatapnya dengan tatapan datar, lalu
pandangannya turun ke sepatu Ghazi yang diikat tali rafia. Bapak paruh baya itu
sama sekali tidak tersenyum.
“Ghazi,” katanya dingin, “Kenapa kamu datang dengan sepatu seperti itu?
Kami tidak bisa mengabaikan penampilan. Ini adalah institusi terkemuka, dan
kesan pertama sangat penting.” Suara itu terasa seperti tamparan keras,
menguatkan semua ketakutannya yang selama ini ia coba pendam. Wajah Ghazi
memanas, ia merasa dipermalukan hingga ke tulang.
Ghazi menarik napas dalam, memejamkan mata sesaat, mencari kekuatan dari dalam. Ia tidak berbohong. Ia menceritakan dengan jujur tentang asal-usul sepatunya, tentang kakeknya, dan tentang bagaimana sepatu itu adalah satu-satunya “harta” yang ia miliki dan saksi bisu perjuangannya.
“Meskipun
sepatu ini rusak, Pak,” katanya, suaranya sedikit bergetar namun tegas,
“semangat saya untuk belajar tidak pernah patah. Saya ingin membuktikan bahwa
apa yang ada di dalam diri saya jauh lebih berharga dari apa yang saya kenakan
di kaki. Saya datang bukan untuk dinilai dari penampilan, tetapi dari
kemampuan, ketulusan, dan tekad saya untuk membangun Aceh.”
Pewawancara itu menatap Ghazi lekat-lekat. Raut wajahnya sulit dibaca.
Mata mereka tidak lagi tertuju pada sepatu usang itu, melainkan pada mata Ghazi
yang berbinar penuh ambisi dan kejujuran. Ada keheningan yang sangat lama, yang
membuat Ghazi merasa cemas hingga dadanya sesak. Setiap detik terasa seperti
jarum jam yang menusuk, menguji ketabahannya hingga batas akhir.
Beberapa hari kemudian, sebuah surat tiba di rumahnya. Dengan tangan gemetar, ia membukanya. Tertera tulisan, “Selamat, Anda diterima.” Air mata Ghazi tumpah. Bukan hanya karena kebahagiaan, tetapi juga lega yang luar biasa. Beban di hatinya seolah terangkat.
Ia langsung mengambil sepatu usangnya,
memeluknya erat, dan menyimpannya di atas lemari kamarnya. Ia tahu, ia tidak
akan pernah membuang sepatu itu. Sepatu baru yang akan ia kenakan nantinya
mungkin lebih nyaman dan indah, tapi sepatu lamanya adalah pengingat. Pengingat
bahwa setiap langkah yang ia pijak, setiap keringat yang ia tumpahkan, dan
setiap perjuangan yang ia hadapi, semuanya berawal dari sepasang sepatu usang yang
penuh makna.
Kenangan yang Tak Terlupakan
Bertahun-tahun kemudian, Ghazi berhasil meraih gelarnya dan menjadi
seorang insinyur sukses. Ia kembali ke gampongnya, membangun fasilitas dan
membantu masyarakat. Di setiap pidatonya, ia selalu mengawali dengan
menunjukkan sepasang sepatu lusuh yang ia simpan di dalam kotak kaca.
“Bukan sepatu mahal yang menentukan keberhasilan
kita,” katanya dengan senyum, “tetapi tekad dan semangat pantang menyerah.
Sepatu ini adalah bukti bahwa selama kita memiliki mimpi yang tinggi, bahkan
sepatu yang paling sederhana pun bisa menjadi sepatu perjuangan.”
2 Komentar
masyaallah...terus berkarya kk Olivia..umi do'akan kk sukses dan bahagia dunia akhirat aamiin...
BalasHapusTerimakasih
BalasHapus