Foto: Dokumen Pribadi
Oleh: Nada aulia syahira
Matahari mulai terbit. Gadis itu kembali bangun dari tidurnya, bersiap membangun mimpi-mimpinya. Ia, Karina, seorang anak yang periang, pintar, dan selalu menjadi kepercayaan serta kebanggaan semua orang.
Seperti biasa, ia berangkat ke sekolah menggunakan sepeda motor kesayangannya yang merupakan hadiah ulang tahun dari ayahnya.
Setelah Ayah Menikah Lagi
Selain pintar di bidang akademik, ia juga pandai menyembunyikan kesedihannya. Walaupun terlahir dari keluarga broken home, hal itu tidak membuatnya patah semangat.
Ia bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa dalam hidupnya dan menjalani hari-hari dengan menyenangkan, meskipun jauh di lubuk hatinya ia ingin seperti anak-anak lain yang memiliki keluarga hangat dan tempat untuk berkeluh kesah.
Suatu hari, menjelang ulang tahunnya, ia tiba-tiba teringat pada seorang lelaki tampan yang selalu menyayanginya.
Ia teringat kembali pada kakaknya yang telah lebih dahulu meninggalkannya. Karina berkata dalam hati, “Andai Kakak masih di sini, mungkin aku tidak sesengsara ini.”
Tiba-tiba, ibunya masuk ke dalam kamar dan melihat Karina yang sedang murung. Sang ibu menghampiri lalu bertanya mengapa gadis cantiknya itu tampak begitu bersedih.
Karina tak kuasa menahan tangisnya. Ia pun langsung menangis dalam pelukan ibunya.
Kerinduannya terhadap sang kakak terus menghantui pikirannya. Ia mulai tidak menyukai kehidupannya dan merasa lelah dengan semua itu. Ia menjadi sering bersedih dan mudah marah, tidak seperti biasanya yang selalu ceria.
Kenangan yang Tak Terlupakan
Seiring waktu, teman-temannya pun mulai merasakan perubahan pada diri Karina. Ia menjalani hari-harinya dengan kesedihan yang mendalam karena kerinduan kepada kakaknya semakin kuat.
Suatu hari di sekolah, temannya yang sudah menyadari perubahan Karina mulai mempertanyakan hal itu.
Teman sebangkunya, Byanka, adalah orang yang paling sadar akan perubahan Karina. Saat jam istirahat, Karina tampak termenung di mejanya, lalu Byanka memberanikan diri untuk bertanya.
“Karina, sepertinya kamu ada masalah. Beberapa hari ini kamu terlihat tidak seperti biasanya,” ucap Byanka.
Karina yang awalnya hanya diam dan termenung tiba-tiba saja marah dan berkata, “Kamu tidak usah ikut campur! Kamu tidak perlu tahu!”
Melihat respons Karina yang tidak menyenangkan, Byanka menjadi sedikit kesal, padahal niat awalnya hanya bertanya karena mengkhawatirkan keadaan sahabatnya.
Hari demi hari terus berlanjut. Sikap Karina semakin aneh dan tidak terkendali. Ia menjadi pemarah dan tidak mau mendengarkan teman-temannya, sampai pada suatu saat, Karina mulai dijauhi.
Setiap malam, Karina selalu merindukan sosok kakaknya. Ia menangis sendirian di kamarnya sampai tertidur.
Suatu malam, saat ia tertidur, tiba-tiba ia melihat sosok kakaknya di dalam mimpi. Dalam mimpi itu, ia merasakan pelukan yang selama ini sangat ia rindukan.
Seseorang yang memeluknya itu lalu berkata, “Kau adalah adik perempuan kebanggaanku. Kau harus tetap melanjutkan hidup dengan menyenangkan, walaupun aku tahu akhir-akhir ini hari-harimu terasa berat karena kau merindukanku.
Namun, hidup akan terus berjalan. Tunjukkan pada dunia bahwa kau gadis kecil yang hebat, meskipun kau sendirian dan tak ada yang bisa memahamimu.”
Dalam mimpinya, sosok itu terus memeluk erat tubuh Karina, dan Karina pun menangis sejadi-jadinya.
Sinar mentari pagi mulai menyelinap di antara celah jendela, membangunkan Karina dari tidurnya. Ia meregangkan tubuh, napasnya terasa lebih lega dari hari-hari sebelumnya.
Mimpi semalam masih membekas kuat di ingatannya: pelukan hangat sang kakak yang tak pernah ia rasakan lagi dan bisikan-bisikan yang menenangkan hatinya. Kata-kata sang kakak, “kau adalah adik perempuan kebanggaanku,” menjadi mantra yang menyemangatinya untuk kembali bangkit.
Pagi itu, Karina bergegas bersiap. Ia mengenakan seragam sekolah dengan senyum yang sudah lama hilang dari wajahnya.
Dengan semangat baru, ia kembali menaiki motor kesayangannya. Di perjalanan, ia teringat pada Byanka, sahabatnya.
Hatinya kembali terasa perih mengingat perlakuannya pada Byanka beberapa hari lalu. Ia sadar, amarah yang ia rasakan akibat kesedihannya telah melukai orang-orang yang paling menyayanginya.
Sesampainya di sekolah, Karina melangkahkan kakinya dengan ragu. Dari kejauhan, ia melihat Byanka sedang duduk di taman sekolah sambil membaca buku. Ia menguatkan hati; inilah saatnya untuk meminta maaf. Ia berjalan perlahan mendekati Byanka.
“Byanka, aku... aku minta maaf,” ucap Karina pelan.
Byanka mendongak, menatap Karina dengan tatapan bingung.
“Aku tahu aku salah. Aku terlalu larut dalam kesedihan sampai melampiaskannya kepadamu. Kamu hanya ingin membantu, tapi aku malah marah-marah. Maaf, ya.”
Mendengar permohonan maaf yang tulus dari Karina, ekspresi wajah Byanka melunak. Ia tersenyum tipis. “Aku khawatir, Karina. Kita semua khawatir. Kami hanya ingin Karina yang dulu kembali,” jawab Byanka lembut.
Sejak hari itu, Karina bertekad untuk berubah. Ia mulai kembali menjadi dirinya yang dulu. Senyum cerianya kembali menghiasi wajah. Ia lebih terbuka kepada ibunya dan teman-temannya.
Ia tidak lagi menyembunyikan kesedihan, melainkan membaginya. Karina mendapati bahwa berbagi kesedihan justru membuatnya merasa lebih ringan dan tidak sendirian.
Tentu saja, rasa rindu pada kakaknya tidak pernah hilang, tetapi kini kerinduan itu tidak lagi menjadi beban, melainkan kekuatan. Ia percaya bahwa kakaknya akan selalu bangga melihatnya.
Ia melanjutkan hidup dengan semangat baru, mengukir prestasi, dan kembali menjadi Karina yang hebat gadis kecil yang tetap kuat meskipun tanpa kakaknya.
Ia menunjukkan pada dunia bahwa ia bisa menjadi kebanggaan dan tidak lagi sendirian.
Sejak saat itu, Karina berusaha keras untuk kembali menjadi sosok yang dikenal semua orang: Karina yang periang, pintar, dan membanggakan. Ia memulai perubahan dari hal-hal kecil.
Di kelas, ia tidak lagi melamun. Ia kembali fokus mendengarkan penjelasan guru, aktif bertanya, dan mengerjakan tugas dengan tekun. Nilai-nilainya pun kembali stabil, bahkan meningkat.
Byanka dan teman-teman lainnya menyambut baik perubahan ini. Mereka tidak lagi menjaga jarak, justru kembali merangkul Karina.
Di jam istirahat, mereka kembali berkumpul di kantin atau taman sekolah untuk mengobrol dan tertawa bersama. Karina merasa kehangatan persahabatan yang sempat hilang kini telah kembali.
“Kamu benar-benar sudah balik jadi Karina yang dulu,” kata Byanka suatu sore, saat mereka sedang mengerjakan tugas kelompok di rumah Karina.
Karina tersenyum. “Aku sadar, aku egois. Kupikir aku bisa menghadapi semuanya sendirian, tapi ternyata aku butuh kalian.”
“Tentu saja. Kita semua butuh orang lain,” jawab Byanka. “Dulu, aku sedih sekali waktu kamu marah-marah.
Kupikir Aku sudah berbuat salah, tapi aku juga mengerti kamu pasti sedang menanggung beban yang sangat berat. Kita kan sahabat, jadi kami selalu ada untukmu.”
Pernyataan Byanka membuat mata Karina berkaca-kaca. Ia merasa bersyukur memiliki sahabat seperti Byanka. Ia memeluk Byanka erat, sebuah pelukan tulus yang penuh penyesalan dan terima kasih.
Terdakwa Jalanan
Perubahan Karina tidak hanya terjadi di sekolah. Di rumah, ia juga berusaha lebih terbuka pada ibunya. Suatu malam, ia memberanikan diri menceritakan semua kesedihannya.
Ia bercerita tentang betapa ia merindukan sosok kakaknya, bagaimana ia merasa hancur karena keluarga mereka tidak utuh lagi, dan betapa ia merasa sendirian selama ini.
Ibunya mendengarkan dengan sabar, lalu memeluk Karina erat-erat. “Mama tahu, Sayang. Mama juga rindu kakakmu.
Setiap hari Mama selalu merindukannya, tapi Mama harus kuat untukmu. Mama tahu kamu juga kuat, tapi kadang kita butuh tempat untuk berkeluh kesah. Jangan simpan semuanya sendiri, ya.”
Pelukan ibunya terasa begitu menenangkan. Karina merasa beban yang selama ini menekan dadanya perlahan terangkat. Ia menyadari, selama ini ia tidak sendirian.
Ibunya, seperti dirinya, juga menyimpan kesedihan yang mendalam. Dengan saling berbagi, mereka berdua bisa saling menguatkan.
“Aku juga minta maaf, Ma,” kata Karina. “Aku sudah membuat Mama khawatir. Aku janji tidak akan menyembunyikan apa-apa lagi.”
“Tidak apa-apa, Nak. Yang penting sekarang kamu sudah lebih baik,” jawab ibunya sambil mengusap lembut rambut Karina.
Sejak malam itu, hubungan Karina dan ibunya menjadi lebih dekat. Mereka mulai sering mengobrol, berbagi cerita, dan saling mendukung. Karina menyadari, keluarga mereka memang tidak utuh, tetapi masih ada cinta dan kasih sayang yang tulus. Dan itu sudah lebih dari cukup baginya.
Suatu akhir pekan, Karina dan ibunya pergi mengunjungi makam kakaknya. Mereka membawa bunga dan membersihkan pusaranya. Karina duduk di samping makam, matanya memandang nisan dengan nama sang kakak terukir di sana. Tiba-tiba, ia teringat sebuah kenangan masa lalu.
Saat itu, Karina masih sangat kecil. Ia menangis karena terjatuh saat bermain. Kakaknya datang menghampirinya, membersihkan luka di lututnya, dan memeluknya erat. “Jangan nangis, kamu kan gadis kecil yang kuat. Luka ini tidak seberapa. Nanti juga sembuh,” bisik kakaknya saat itu.
Kenangan itu membuat Karina tersenyum. Ia tidak lagi merasa sedih. Ia merasa kakaknya masih bersamanya, dalam setiap langkah dan kenangan indah yang mereka miliki.
“Kakak, aku tahu kamu pasti bangga padaku sekarang,” bisik Karina dalam hati. “Aku sudah tidak sedih lagi. Aku sudah punya teman-teman yang baik dan aku juga lebih dekat dengan Mama. Aku akan terus menjadi gadis kecil yang kuat, yang selalu membuatmu bangga.”
Setelah membersihkan makam dan menaburkan bunga, Karina dan ibunya pulang. Di perjalanan, Karina merasa hatinya lebih tenang dan damai. Ia tidak lagi merasa terbebani oleh kerinduan, melainkan merasa dikuatkan olehnya.
Karina kembali ke sekolah dengan semangat yang membara. Ia belajar lebih giat dari sebelumnya. Ia ingin membuktikan kepada dirinya sendiri, ibunya, dan juga kakaknya bahwa ia bisa menjadi seseorang yang hebat. Ia mulai mengikuti berbagai kompetisi akademik dan dengan kecerdasannya, ia berhasil meraih berbagai prestasi.
Di akhir semester, ia berhasil menjadi juara umum di sekolahnya. Pada acara kelulusan, saat namanya dipanggil sebagai siswa terbaik, Karina berdiri di atas panggung dengan bangga. Ia memandang ke arah ibunya yang tersenyum haru di antara para orang tua lainnya. Hatinya penuh dengan kebahagiaan.
“Terima kasih, Kak. Ini semua juga berkatmu,” bisik Karina dalam hati. Ia tahu, kakaknya pasti tersenyum bangga di surga.
Setelah lulus sekolah, Karina berhasil diterima di universitas terbaik di kota. Ia memilih jurusan yang sesuai dengan minat dan bakatnya. Ia memulai babak baru dalam hidupnya dengan semangat dan harapan. Ia tidak lagi menyembunyikan kesedihan, melainkan menjadikannya sebagai motivasi.
Karina, gadis yang dulunya periang dan selalu menjadi kebanggaan, kini kembali menjadi dirinya yang seutuhnya. Ia telah menemukan jalan baru, mengukir prestasi, dan menjalani hidup dengan penuh semangat.
Kerinduannya pada sang kakak tetap ada, tetapi tidak lagi menjadi beban, melainkan menjadi kekuatan. Ia telah membuktikan pada dirinya sendiri dan pada dunia bahwa ia bisa menjadi gadis kecil yang hebat, meskipun tanpa kakaknya, dan ia tidak lagi sendirian.
Penulis: Siswa Kelas XI-2 Program Unggulan SMAN 1 Lhokseumawe
0 Komentar