Oleh: Mukhlis, S.Pd.,M..Pd.
Sebuah letupan yang meledak-ledak, seperti udara dalam balon helium, ia selalu mencari ruang-ruang hampa. Perasaan ngedumel terhadap sesuatu yang bertetangan dengan jiwa dapat diumbar dalam bait-bait indah.
Fenomena ini bukanlah hal baru. Sejak zaman kuno, manusia telah menggunakan seni, termasuk puisi, sebagai medium untuk menyalurkan emosi, kekecewaan, bahkan amarah.
Puisi menjadi katarsis, wadah untuk menumpahkan gejolak batin yang tak jarang sulit diungkapkan secara langsung. Namun, pertanyaan mendasar yang muncul adalah: seberapa dewasakah seseorang dalam mengekspresikan kekecewaan dalam sebuah puisi?
Jawabannya sederhana, sesederhana pikirannya dalam mengelola konflik batin yang dialami. Kedewasaan seorang penyair akan tampak dari karya yang dihasilkan. Bukan hanya dari keindahan diksi atau rima yang memukau, melainkan juga dari cara ia mengolah kekecewaan menjadi refleksi, kritik konstruktif, atau bahkan harapan.
Puisi yang matang tidak hanya meratap, tetapi juga menawarkan perspektif, mengajak pembaca merenung, dan mungkin bahkan menemukan solusi. Ia mampu mengubah rasa frustrasi menjadi energi kreatif yang bermanfaat, bukan sekadar keluh kesah yang kosong.
Seorang penyair dewasa memahami bahwa kekecewaan adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan. Ia tidak lari dari perasaan itu, melainkan menghadapinya, memprosesnya, dan mengubahnya menjadi bahan bakar untuk karyanya.
Ia tidak hanya terpaku pada subyektivitas perasaannya, melainkan juga mampu melihat gambaran yang lebih besar, mengaitkan pengalaman pribadinya dengan isu-isu universal.
Puisi yang lahir dari kedewasaan emosional seringkali memiliki resonansi yang lebih dalam dan tahan lama. Ia berbicara kepada banyak orang, melampaui batas-batas individu dan waktu.
Puisi semacam ini, alih-alih menjadi sekadar pelampiasan emosi sesaat, justru menjadi cermin peradaban dan penanda perjalanan spiritual seorang seniman. Keindahan sejati sebuah puisi terletak pada kemampuannya untuk menyentuh relung hati pembaca, menginspirasi, dan bahkan menyembuhkan.
Ini adalah tujuan mulia yang hanya bisa dicapai oleh penyair yang telah mencapai tingkat kedewasaan tertentu dalam mengekspresikan perasaannya.
Etika dalam Kritik Sastra
Kedewasaan tidak hanya menjadi tolok ukur bagi pencipta karya, tetapi juga bagi para kritikus dan pembaca. Para kritikus sebaiknya mengulas secara detail setiap puisi yang dia 'ngulik' baik melalui esai atau artikel, bukannya mengayun pentungan pada setiap kolom komentar.
Kritik yang konstruktif adalah fondasi bagi perkembangan sastra. Ia membuka ruang diskusi, memberikan sudut pandang baru, dan membantu penyair untuk terus tumbuh. Kritik yang baik tidak hanya menunjukkan kelemahan, tetapi juga mengapresiasi kekuatan dan potensi.
Ia dilakukan dengan niat baik, didasari oleh pemahaman mendalam tentang karya, dan disampaikan dengan cara yang santun dan beretika. Mengkritik bukan berarti menjatuhkan, melainkan membimbing dan membangun.
Di era digital ini, kemudahan akses terhadap platform daring seringkali disalahgunakan untuk melontarkan kritik pedas tanpa dasar, atau bahkan serangan personal.
Kolom komentar seringkali berubah menjadi medan perang emosi, di mana argumen rasional tenggelam dalam lautan ujaran kebencian. Ini adalah praktik yang kontraproduktif dan tidak mencerminkan kedewasaan.
Kritik sastra yang bermutu memerlukan lebih dari sekadar emosi sesaat. Ia membutuhkan analisis yang cermat, argumentasi yang logis, dan bahasa yang terstruktur. Ini adalah tantangan bagi kita semua, baik sebagai penulis maupun pembaca.
Untuk mengembalikan marwah kritik sebagai sarana pembelajaran dan pengembangan, bukan ajang saling serang. Hal ini penting bagi setiap individu yang terlibat dalam diskusi sastra, baik formal maupun informal, untuk mempraktikkan etika berkomunikasi.
Menghormati perbedaan pendapat, menyampaikan argumen dengan kepala dingin, dan fokus pada substansi karya, bukan pada personalitas penulis, adalah kunci.
Membangun Diskursus Ilmiah di Dunia Maya
Hal sama juga berlaku pada setiap esai yang mengupas tentang sastra, pendidikan, dan budaya. Seharusnya ditulis esai bandingan terhadap permasalahan yang sama, baik menerima atau menolak, sehingga fakultas dunia maya tampak lebih ilmiah dan berkelas.
Bukan berarti tidak boleh bercanda ria di kolom komentar. Namun, agar pembelajaran berlangsung sistematis dan terstruktur. Diskusi yang berbobot di dunia maya dapat menjadi sumber pengetahuan yang tak terbatas. Namun, ini hanya bisa tercapai jika kita semua berkomitmen untuk menjaga kualitas percakapan.
Esai bandingan, misalnya, dapat menjadi format yang efektif untuk mendalami suatu isu dari berbagai perspektif. Dengan menyajikan argumen pro dan kontra secara seimbang, pembaca diajak untuk berpikir kritis.
Mereka membentuk opini sendiri berdasarkan data dan analisis yang komprehensif. Ini jauh lebih bermanfaat daripada sekadar pernyataan sepihak atau opini yang tidak didukung bukti.
Ruang digital memiliki potensi luar biasa untuk menjadi "fakultas" yang luas, tempat ide-ide cemerlang bisa bertukar dan berkembang. Bayangkan jika setiap diskusi daring tentang sastra atau budaya dilakukan dengan kerangka berpikir yang serupa dengan diskusi ilmiah di kampus-kampus.
Akan tercipta ekosistem pembelajaran yang kaya, dinamis, dan mencerahkan. Tentu saja, humor dan interaksi personal tetap penting untuk menjaga suasana tetap cair dan menyenangkan, tetapi itu tidak boleh mengorbankan kedalaman dan kualitas diskusi. Batasan antara hiburan dan diskusi serius harus dipahami dengan baik agar setiap interaksi dapat memberikan nilai tambah.
Penutup
Semoga ke depan, setiap interaksi dalam dunia sastra, baik sebagai pencipta, kritikus, maupun pembaca, dapat menjadi lebih baik dan mencerminkan karakter yang baik bagi setiap tanggapan, saran, komentar, dan kritikan terhadap sebuah karya.
Kedewasaan dalam berekspresi dan berdiskusi adalah kunci untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan seni dan intelektual. Dengan demikian, kita tidak hanya memperkaya diri sendiri, tetapi juga turut serta membangun peradaban yang lebih cerdas dan berbudaya.
Penulis adalah Mahasiswa Doktoral Prodi Studi Islam UINSUNA Lhokseumawe dan Guru SMA Negeri 1Lhokseumawe
0 Komentar