Sumber: dreamina.capcut.com
Oleh: Mukhlis, S.Pd., M.Pd.
Sudah menjadi konsep umum, bahkan hampir aksioma dalam jagat kesusastraan, bahwa puisi lirik adalah puisi yang menjadi wahana pengungkapan pikiran dan perasaan penyairnya, dengan mengutamakan keindahan kata-kata sebagai medium utama. Oleh karna itu, spektrum yang mampu dijangkau oleh puisi lirik menjadi begitu luas; ia dapat mengungkapkan berbagai nuansa batiniah.
Kerinduan yang mendalam, kegelisahan yang menghantui, atau pengagungan yang tulus terhadap suatu entitas, semuanya dapat terlukiskan dengan cermat melalui untaian kata-kata indah yang dipilih dan dirangkai sedemikian rupa. Kita memahami bahwa jenis-jenis puisi secara garis besar terbagi atas tiga pilar utama: puisi naratif yang berkisah, puisi lirik yang meresapi rasa, dan puisi deskriptif yang melukiskan objek.
Tentu saja, di setiap jenis puisi tersebut terdapat berbagai bagian-bagian, sub-genre, atau variasi, sehingga klasifikasi puisi naratif, puisi lirik, maupun puisi deskriptif sejatinya terbagi-bagi lagi menjadi cabang-cabang yang lebih spesifik. Namun, dalam kesempatan ini, penulis berusaha mengerucutkan pembahasan esai ini pada relung puisi lirik saja, sebagai sebuah genre yang paling intim dengan denyut nadi perasaan manusia.
Sesuai konsep yang telah dipaparkan di atas, puisi lirik adalah manifestasi perasaan, luapan pikiran tentang kerinduan penyair terhadap objek, baik yang bersifat konkret maupun abstrak dengan media bahasa yang indah, yang mampu menyentuh sanubari pembaca.
Dalam menelusuri jejak perkembangan kepenyairan Indonesia, tak dapat dipungkiri bahwa puisi lirik selalu menguratkan, bahkan seolah menjadi benang merah yang tak terputus, bagi ekspresi perasaan kerinduan dan kegelisahan. Dua kutub emosi ini seakan menjadi primadona yang tak pernah lekang oleh waktu.
Namun, patut dicermati lebih dalam, kerinduan dan kegelisahan jiwa yang ditulis oleh sebagian besar penyair, terutama dalam beberapa dekade terakhir, lebih bersifat individualitas semata. Amatan penulis, khususnya terhadap para penyair yang memposting karya-karya puisi mereka di beranda-beranda cyber sastra, ruang digital yang kini menjadi arena baru bagi ekspresi literer.
Menunjukkan sebuah kecenderungan yang signifikan, mereka lebih memilih ranah kepribadian, labirin perasaan personal, sebagai objek utama penyajiannya. Kerinduan akan kekasih yang jauh, kegelisahan menghadapi lika-liku percintaan, atau refleksi atas pengalaman pribadi yang sempit, kerap mendominasi kanvas puisi mereka.
Kerinduan dan kegelisahan, dalam esensinya, merupakan gejolak yang menggelora dalam jiwa, sebuah turbulensi batin yang menuntut untuk diekspresikan. Pada saat imajinasi datang menyapa, seringkali penyair menyambutnya dengan terburu-buru, seolah takut momentum itu akan hilang jika tak segera ditangkap dan dituangkan.
Efek yang kemudian muncul dari ketergesaan ini adalah puisi lirik yang lahir acapkali mempunyai nilai keakuan (egosentrisme) yang cukup tinggi. Puisi menjadi semacam diari pribadi yang dipuitiskan, sebuah monolog batin yang mungkin hanya relevan bagi sang penyair sendiri.
Pertanyaan yang menggelitik, dan mungkin sedikit menyentil, adalah, “Mengapa para penyair, khususnya generasi milenila yang menulis puisi lirik, lebih cenderung mengabdi pada mata batin pribadi secara berlebihan, seolah-olah dunia luar tak cukup menarik untuk dijadikan sumber inspirasi?”
Hal ini, tentu saja, tidak bisa dipungkiri jika kita mencoba menelisik dari proses lahirnya sebuah puisi, yang seringkali bermula dari kontemplasi personal. Namun, apakah kontemplasi itu harus selalu berhenti pada batas-batas diri sendiri?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, mari kita sejenak mengalihkan pandangan dan mengamati salah satu contoh puisi dari seorang maestro, WS. Rendra, berikut ini:
DOA DI JAKARTA
WS RENDRA
Tuhan yang Maha Esa,
alangkah tegangnya
melihat hidup yang tergadai,
fikiran yang dipabrikkan,
dan masyarakat yang diternakkan.
Malam rebah dalam udara yang kotor.
Di manakah harapan akan dikaitkan
bila tipu daya telah menjadi seni kehidupan?
Dendam diasah di kolong yang basah
siap untuk terseret dalam gelombang edan.
Perkelahian dalam hidup sehari-hari
telah menjadi kewajaran.
Pepatah dan petitih
tak akan menyelesaikan masalah
bagi hidup yang bosan,
terpenjara, tanpa jendela.
Tuhan yang Maha Faham,
alangkah tak masuk akal
jarak selangkah
yang bererti empat puluh tahun gaji seorang buruh,
yang memisahkan
sebuah halaman bertaman tanaman hias
dengan rumah-rumah tanpa sumur dan W.C.
Hati manusia telah menjadi acuh,
panser yang angkuh,
traktor yang dendam.
Tuhan yang Maha Rahman,
ketika air mata menjadi gombal,
dan kata-kata menjadi lumpur becek,
aku menoleh ke utara dan ke selatan –
di manakah Kamu?
Di manakah tabungan keramik untuk wang logam?
Di manakah catatan belanja harian?
Di manakah peradaban?
Ya, Tuhan yang Maha Hakim,
harapan kosong, optimisme hampa.
Hanya akal sihat dan daya hidup
menjadi peganganku yang nyata.
Perhatikanlah larik-larik: Malam rebah dalam udara yang kotor/ Di manakah harapan akan dikaitkan/ bila tipu daya telah menjadi seni kehidupan?/Dendam diasah di kolong yang basah/ siap untuk terseret dalam gelombang edan/Perkelahian dalam hidup sehari-hari / telah menjadi kewajaran.
Bait-bait puisi sang maestro Indonesia ini begitu terasa getarannya dan begitu kaya nuansa dalam penyajiannya. Bahasa indah yang memukau, metafora yang tajam, serta irama yang kuat mampu menghidupkan adrenalin imajinasi pembaca, menyeret kita dalam pusaran realitas yang digambarkannya.
Baca Juga:
Yang menjadi kupasan krusial dalam konteks esai ini adalah bagaimana sang penyair memilih objek dalam puisi tersebut? Luar biasa...! Larik “Malam rebah dalam udara yang kotor” dengan lugas namun puitis menyiratkan sebuah potret kehidupan masyarakat yang ada di kota metropolitan, sebuah realitas yang dipenuhi berbagai kesenjangan sosial, polusi moral, dan degradasi kemanusiaan.
Lirik kedua, “Di manakah harapan akan dikaitkan” ini merupakan pertanyaan besar dari seorang penyair yang resah, sebuah gugatan yang membutuhkan berjuta jawaban dan, lebih penting lagi, tindakan nyata.
Kemudian, larik “bila tipu daya telah menjadi seni kehidupan” sungguh menggelitik dan menakjubkan; betapa pekanya sang penyair dalam melukiskan gejala sosial yang telah merasuk dan membudaya di kota Jakarta, bahkan mungkin di banyak tempat lainnya.
Pada larik “dendam diasah di kolong yang basah,” kita disuguhkan sebuah larik yang padat, pekat, dan sarat akan makna. Ia menggambarkan bara dalam sekam, potensi konflik yang tersimpan di antara kaum papa dan terpinggirkan.
Dilanjutkan dengan larik “siap untuk terseret dalam gelombang edan/Perkelahian dalam hidup sehari-hari / telah menjadi kewajaran?” Larik-larik seperti penggalan di atas, yang merupakan respons personal Rendra terhadap kondisi sosialnya.
Ini telah mampu menghidupkan emosional tingkat tinggi sang pembaca, mendorong kita untuk turut merasakan, merenung, dan pada akhirnya bersikap terhadap objek yang dilukiskan. Ini adalah contoh puisi lirik yang melampaui batas-batas "keakuan", ia menyuarakan kegelisahan kolektif.
Dari sekian banyak puisi WS Rendra yang kita kenal, beliau secara konsisten selalu mengambil objeknya dari fenomena gejala sosial, peristiwa alam yang berdampak luas, dan tragedi-tragedi kemanusiaan. Apakah ini berarti sang maestro Indonesia ini tidak mempunyai kepekaan terhadap dirinya sendiri? Tentu tidak.
Perasaan pribadinya justru tersalurkan melalui kepeduliannya terhadap nasib sesama. Jawaban ini bisa diketahui lebih mendalam setelah kita menyelami puisi-puisi beliau secara totalitas, merasakan bagaimana amarah, kesedihan, dan harapannya berkelindan dengan nasib bangsanya.
Tidak hanya WS Rendra, penyair-penyair besar lain pun seperti Chairil Anwar dengan pemberontakannya, Sapardi Djoko Damono dengan perenungannya yang subtil namun menusuk, Mustofa Bisri (Gus Mus) dengan kritik sosialnya yang dibalut humor religius, dan banyak penyair lain yang terkenal pada zamannya.
Mereka selalu berteriak lantang dalam bait-bait puisinya tentang suasana sebuah rezim yang opresif, perihal ketimpangan sosial, dan berbagai peristiwa kemanusiaan yang menggugah nurani. Mereka menjadikan puisi lirik sebagai medium untuk merefleksikan dunia di sekitar mereka, bukan hanya dunia di dalam diri mereka. Nah ... bandingkan dengan kita! Para penyair masa kini, atau setidaknya sebagian besar dari kita yang gemar merangkai kata.
Sejenak kita tinggalkan WS Rendra dan para pesohor lainnya dengan puisi-puisi mewahnya yang sarat makna sosial. Mari kita berkaca. Hampir setiap postingan puisi di pelbagai platform cyber sastra, bahkan di media cetak sekalipun, selalu berkisar tentang keluh-kesah jiwa, curahan hati yang melulu tentang diri sendiri, termasuk penulis esai ini pun tak luput dari kecenderungan tersebut pada satu atau dua kesempatan.
Mengapa para penyair kita masih terpasung pada hal-hal yang bersifat individu, seolah terperangkap dalam menara gading perasaan personal? Padahal, ribuan bahkan jutaan manusia di dunia ini telah menitipkan haknya, secara implisit maupun eksplisit, untuk disuarakan oleh para penyair.
Hak-hak yang berhubungan dengan relasi vertikal kepada Tuhan, hak-hak kemanusiaan yang terampas, seruan akan keadilan yang tak kunjung tiba, dan duka akibat musibah-musibah besar yang terjadi di berbagai belahan dunia ini.
Mengapa kita masih asyik bersolek ria dalam kelambu batin yang memuja romantisme personal secara gila-gilaan, seakan lupa bahwa ada dunia yang lebih luas yang menunggu untuk disentuh oleh pena kita?
Ingat lho....! Menjadi penyair itu bukan hanya soal merangkai kata indah, tetapi juga membawa amanah. Kelak, mungkin saja, kita akan dituntut di akhirat nantinya dengan berbagai pertanyaan yang melilit di leher mengenai apa yang telah kita suarakan melalui bakat yang dianugerahkan.
Esai ini tidak bermaksud untuk membangunkan harimau yang tengah terlelap di balik tumpukan kertas dan tinta, yang mungkin merasa nyaman dengan zona kepenyairannya saat ini, lalu menganggap kritik ini sebagai serangan personal. Sama sekali tidak.
Akan tetapi, esai ini hanyalah sebuah sentilan kecil, sebuah pengingat lembut dalam hiruk-pikuk kita berkarya, agar sesekali kita mau memindahkan mata pena kita dari cermin diri untuk menulis tentang kisah-kisah masyarakat yang terpinggirkan, mereka yang teraniaya, dan mereka yang mengalami diskriminasi oleh rezim-rezim otoriter di setiap negara yang ada di dunia ini.
Peristiwa memilukan di Palestina yang tak kunjung usai, pembantaian etnis Muslim Rohingya yang mengoyak rasa kemanusiaan, dan berbagai bentuk ketidakadilan lainnya yang terjadi di depan mata kita, bukankah itu semua merupakan momen-momen krusial yang seharusnya dimanfaatkan oleh sang penyair untuk mengasah ketajaman nuraninya dalam berkarya?
Bukankah dengan mempuisikan hal-hal seperti itu juga merupakan bagian dari ibadahnya seorang penyair, sebuah bentuk jihad bil qalam (berjuang dengan pena)?Akhirnya, penulis berharap dengan sepenuh hati agar esai sederhana ini dapat dijadikan sebagai bahan refleksi diri bagi kita semua yang menggeluti dunia kepenyairan, atau setidaknya bagi mereka yang peduli terhadap peran sastra dalam masyarakat.
Malu rasanya jika kita hanya berpuas diri dan kemudian dicap sebagai “Penyair Salon” seperti yang pernah disindir oleh WS Rendra dalam salah satu karyanya, penyair yang hanya sibuk dengan keindahan artifisial dan melupakan substansi serta tanggung jawab sosialnya.
Masih banyak yang harus dibenahi di negeri ini, dan di dunia ini, dan sebagian dari pembenahan itu hanya dapat disuarakan dengan lantang dan menyentuh melalui puisi, terutama puisi lirik yang mampu menggetarkan jiwa.
Esai ini ditutup dengan sebuah kutipan bijak, yang mungkin bisa menjadi pegangan kita, “Penyair yang berkualitas adalah penyair yang mampu menyuarakan hak-hak orang terpinggirkan, mampu merasakan denyut nadi penderitaan sesama, dan pada akhirnya mampu memberikan sumbangsih terhadap pembangunan peradaban bangsanya.”
Mari kita bersama-sama menjejaki kembali spirit kepenyairan para pujangga agung masa lalu, sebagai perwujudan rasa cinta kita terhadap budaya, bangsa, dan kemanusiaan universal. Amin…
Penulis adalah Pemimpin Redaksi Jurnal "Aceh Edukasi " IGI Wilayah Aceh dan Guru SMA Negeri 1 Lhokseumawe
0 Komentar