Puisi di Media Sosial, Mencari Jati Diri di Tengah Riuh Rendah Kritik dan Keunikan yang Terabaikan

 

                                             Sumber:  Dokumen  Pribadi

Oleh: Mukhlis, S.Pd., M.Pd. 

Mencermati hiruk-pikuk dunia kepenulisan di media sosial, khususnya geliat puisi, penulis merasa semakin tertarik dan tergelitik untuk mengulas fenomena yang begitu dinamis ini. Sebagaimana sudah menjadi pemahaman kita bersama, media sosial telah menjadi lahan subur bagi lahir dan berkembangnya begitu banyak puisi, masing-masing membawa karakter unik dari sang penyair. 

Tidak hanya sekadar memposting karya, para pegiat puisi ini juga aktif membentuk dan bergabung dalam berbagai komunitas sastra serta grup-grup puisi daring, seringkali dengan label-label yang bernuansa sastra, seolah menjadi penanda identitas dan keseriusan mereka.

Serbuan Puisi Harian dan Pertaruhan Kualitas

Setiap komunitas dan grup tersebut tentunya tidak terbentuk secara acak. Ada dasar kesamaan persepsi, kesamaan hobi dalam merangkai kata, dan seringkali berada pada payung genre puisi yang serumpun atau memiliki afinitas tertentu. Para penyair media sosial ini, dengan semangat yang membara, hampir saban hari, bahkan mungkin saban jam, "menelurkan" puisi-puisi baru. 

Seolah ada perlombaan tak tertulis untuk terus eksis dan produktif. Mereka seakan tak terlalu ambil pusing apakah yang mereka tulis itu sudah memenuhi kaidah-kaidah puisi yang "seharusnya" atau belum. Bagi sebagian dari mereka adalah: "Apa postingan puisi saya hari ini?" Sebuah pertanyaan yang lebih berorientasi pada kuantitas dan frekuensi.

Kalau boleh setuju dengan pandangan penulis, seharusnya bukan jumlah postingan yang menjadi fokus utama yang dipikirkan, akan tetapi kualitas dari setiap postingan itulah yang perlu mendapatkan perhatian lebih mendalam. 

Amatan penulis, dalam satu hari saja, tidak jarang penulis mendapatkan "tag" atau penandaan sampai lima kali atau lebih dari penyair yang sama, dengan puisi-puisi yang berbeda. Bagi penulis pribadi, hal itu sih “is oke-oke saja”, bukan sesuatu hal yang memberatkan atau mengganggu secara signifikan. 

Walaupun kadang-kadang, ketika penulis mencoba mencari postingan sendiri di linimasa, sudah tenggelam jauh di palung-palung beranda, tertimbun oleh derasnya arus postingan teman-teman penyair lainnya. Ini adalah konsekuensi logis dari dinamika media sosial yang serba cepat.

Riuh Rendah Perdebatan, Antara Kritik Membangun dan Upaya Mendikte

Namun, perdebatan yang lebih heboh dan sering mengemuka di ruang-ruang diskusi daring ini adalah yang berkisar pada aspek bentuk, gaya penulisan, dan bahasa yang digunakan dalam puisi-puisi tersebut. Memang, berbicara tentang puisi hari ini, apalagi dalam konteks media sosial yang begitu cair, tidak akan pernah bisa lepas dari ketiga hal fundamental di atas. 

Komentar demi komentar, baik yang bernada apresiatif, bertanya, hingga mengkritik, terus saja memadati setiap postingan puisi. Awalnya mungkin biasa saja, sekadar interaksi sosial, namun lama-kelamaan, banjir komentar ini seolah menjadi sebuah kebutuhan, bahkan validasi, bagi para pemilik postingan.

Kritik, baik yang disampaikan dengan tajam menusuk maupun yang dibungkus dengan kelembutan kata, juga turut bergelut hebat. Seringkali, kritik ini berbalut baju kesantunan berbahasa yang artifisial, namun sejatinya "menikam" dengan ujung jari melalui layar gawai.

Hampir di setiap grup diskusi puisi, ada saja perdebatan yang muncul terkait puisi yang baru saja diposkan. Isu yang diperdebatkan pun beragam, mulai dari kesalahan ketik (typo) yang sepele, bentuk atau tipografi puisi, pilihan kata (diksi) yang dianggap kurang pas, maupun gaya penulisan yang dinilai keluar dari "pakem". 

Uniknya, kritikan-kritikan ini seringkali ditanggapi atau "ditimbun" dengan dalih "kita semua di sini sedang belajar dan terus belajar," sebuah frasa yang seolah menjadi tameng agar para pemosting tidak merasa menjadi terdakwa atau terhukum secara mental.

Yang lebih menarik sekaligus problematik adalah kenyataan bahwa hampir setiap komentar maupun kritikan yang dilontarkan acap kali mengacu pada konsep-konsep keilmuan sastra yang dipahami secara subjektif, bahkan terkadang parsial. 

Banyak dari para "kritikus dadakan" dan pemberi komentar ini seolah menginginkan agar cara dan aturan menulis puisi mengikuti gaya atau preferensi pribadi mereka. Dengan kata lain, jika ada sebuah puisi yang diposting dan dirasa tidak sesuai dengan karakter atau selera estetik mereka, maka dengan sigap mereka akan "menasihati" dengan bahasa yang seolah-olah santun, namun esensinya adalah menggiring agar si pemosting puisi tersebut mau "mengekor" di belakang gaya mereka.

Puisi Itu Laksana Batu Akik,  Sebuah Analogi untuk Keunikan

Ada sebuah pernyataan menarik yang sering penulis lontarkan pada wadah-wadah diskusi, terutama dengan sesama penyair yang mungkin masih dalam tahap amatiran atau sedang mencari bentuk, yaitu: "Puisi itu laksana batu akik di aliran sungai."

 Apa maksudnya? Coba kita bayangkan, setiap batu akik yang kemudian diasah dan dijadikan batu cincin yang indah itu telah melalui proses alamiah yang begitu lama dan rumit. Terbentuk dari berbagai mineral, tekanan, suhu, dan kikisan air selama ribuan bahkan jutaan tahun, hingga akhirnya menghasilkan bentuk-bentuk, warna, dan corak yang unik. 

Setiap keunikan yang dimiliki oleh satu batu akik belum tentu, bahkan hampir pasti tidak akan dimiliki secara identik oleh batu akik lainnya. Jadi, di dunia ini, satu batu cincin yang indah dengan motif tertentu berarti itulah satu-satunya di dunia dengan karakteristik persis seperti itu. Nama jenisnya boleh saja sama, misalnya "Bacan" atau "Kecubung", tetapi nuansa warna, urat, dan seni yang terpancar dari setiap batunya pasti akan menunjukkan perbedaan yang signifikan.

Sama halnya dengan puisi. Setiap puisi yang telah ditulis dan diposkan di media sosial, pada hakikatnya, adalah satu-satunya puisi di dunia yang memiliki karakter persis seperti itu. Walaupun mungkin tema yang diangkat sama, judulnya mirip, atau bahkan bentuknya sekilas tampak serupa dengan puisi lain. 

Dari segi nuansa rasa, pilihan diksi yang spesifik, irama batin yang terpancar, dan pengalaman personal yang melatarbelakanginya, pasti akan tetap menunjukkan perbedaan. Inilah esensi keunikan yang seharusnya dihargai.

Menyoal Bentuk Puisi,  Wadah Inspirasi, Bukan Belenggu Kaku

Mengupas tentang bentuk puisi di hadapan para pembaca hebat dan para penyair aktif di media sosial ini, rasanya seperti mencoba mengajarkan ikan bagaimana sih cara berenang yang benar agar tidak tenggelam di samudra kata-kata yang luas.

 Penulis tidak hendak berpanjang lebar menampilkan teori-teori akademis yang kaku tentang berbagai macam bentuk puisi. Namun, penulis mencoba mencari titik temu, bagaimana sebenarnya bentuk idealnya sebuah puisi itu? 

Hemat penulis, idealnya sebuah bentuk puisi adalah ia mampu menjadi wadah yang pas untuk menampung semua luapan inspirasi, gagasan, dan emosi penyair, yang kemudian dijembatani oleh bahasa sebagai medium penuangannya. 

Seandainya semua inspirasi yang mengantarkan sebuah tema dan pesan itu berhasil sampai kepada penikmat atau pembaca dengan utuh, berarti bentuk puisi tersebut sudah bisa dikatakan ideal, terlepas dari apakah ia mengikuti pola konvensional atau tidak.

Masalah teknis penyusunan tipografi, apakah mau rata kiri, rata kanan-kiri, zig-zag, atau bahkan membentuk objek tertentu, itu sepenuhnya adalah urusan dan hak prerogatif sang penyair, kecuali mungkin untuk jenis puisi kontemporer tertentu, di mana bentuk visual seringkali menjadi bagian tak terpisahkan dari makna itu sendiri, atau bahkan sengaja "miskin" dalam lambang bunyi namun kaya akan makna visual. 

Di Indonesia sendiri, bentuk-bentuk puisi standar seperti pantun, syair, atau puisi bebas, sebenarnya sudah dipelajari oleh hampir semua orang, mulai dari bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) sampai ke Perguruan Tinggi, terlepas dari apakah mereka suka atau tidak suka dengan pelajaran sastra. 

Namun sayangnya, pemahaman tentang bentuk ini seringkali hanya berkutat pada contoh-contoh yang itu-itu saja, seolah tak ada perkembangan atau eksplorasi bentuk lain yang lebih dinamis.

Gaya Penulisan, Otonomi Batin Penyair yang Tak Tergoyahkan

Gaya menulis puisi itu, bagi penulis, adalah hak asasi setiap penyair yang tidak boleh diganggu gugat oleh siapapun. Apalagi jika ada upaya untuk memaksa kehendak seorang penyair agar mengikuti gaya penulisan orang lain. Mungkin ini sudah kedua kalinya penulis tegaskan dalam tulisan ini bahwa penyair sejati adalah seorang "pengabdi" pada batinnya sendiri.

Ia lebih sering bertumpu pada gejolak dan intuisi batinnya daripada sekadar logika atau kalkulasi otak semata. Karena batin dijadikan landasan utama dalam bersikap dan berkarya, maka wajar jika kemudian muncul subjektivitas yang kental dalam cara ia memandangi objek atau merespons sebuah pengalaman.

Kita tahu, di mana-mana dan kapan saja, antara subjektivitas dan objektivitas itu seringkali tidak pernah bisa senyawa secara sempurna, selalu ada tegangan di antara keduanya. Melalui batin-batin para penyair inilah kemudian lahirnya apa yang disebut otonomi penulis dalam karya itu sendiri. 

Ini adalah sesuatu yang sakral, wilayah privat yang tak boleh diurus atau diintervensi oleh orang lain secara sembarangan. Kemerdekaan untuk berkumpulnya semua gagasan, emosi, dan imajinasi dalam wadah puisi itu dijamin oleh hakikat ilmu pengetahuan kesusastraan di seluruh dunia.

Sayangnya, hal ini kadang tidak disadari atau sengaja diabaikan oleh oknum-oknum yang merasa diri sebagai "motivator" puisi di media sosial, sehingga pemaksaan kehendak atau penyeragaman gaya seringkali mendominasi interaksi. 

Para pemosting puisi, terutama yang masih baru atau sensitif, tentu memahami betul hal ini. Jika wilayah pengabdian batin sang penyair ini terlalu sering "dirasuki" atau diusik oleh campur tangan orang lain yang bersifat mendikte, maka jangan heran jika kemudian "muntahlah" sebuah perdebatan panjang yang tak berujung pangkal. 

Perdebatan "ala sarung", di mana semua orang merasa memegang ujung yang benar dan tak mau mengalah, terus berlangsung, sibuk mencari di mana sebenarnya letak tepi atas dan tepi bawah dari sebuah standar yang kabur. 

Masing-masing pihak memegang teguh konsep bahwa tepi atas (kebenaran absolut versi mereka) berada di tangannya, begitu pula pihak yang lain. Ujung-ujungnya, pangkal masalah tak pernah benar-benar terselesaikan. Yang sering terjadi, kedua belah pihak yang berseteru akhirnya sepakat untuk tidak sepakat, lalu keluar dari komunitas tersebut, ataupun lebih parah lagi, berujung pada aksi saling blokir akun.

Bahasa Puisi,  Kekuatan Diksi dan Jebakan Penilaian Dangkal

Media utama dan paling esensial dalam penuangan ide, rasa, dan imajinasi dalam puisi adalah bahasa. Menulis puisi berarti melakukan kerja kreatif mengolah kata-kata agar bernilai rasa, bukan sekadar menyampaikan informasi. 

Pengolahan kata ini tentu membutuhkan penguasaan bahasa dan pilihan diksi (kata) yang bertenaga, yang mampu membangkitkan imaji dan emosi pembaca. Puisi tanpa diksi yang bernuansa dan terpilih dengan cermat hanyalah akan menjadi teks biasa yang kering dan terasa hambar.

Pertanyaannya kemudian adalah, apakah puisi yang menggunakan gaya bahasa metafora yang berliku-liku, yang mungkin sulit dipahami dalam sekali baca, itu serta-merta tidak bermakna? Atau sebaliknya, apakah puisi yang dengan lugas dan terus terang mengungkapkan tentang pengalaman dan kesedihan pribadi itu termasuk dalam kategori "puisi sampah" yang tidak layak diapresiasi? 

Pertanyaan-pertanyaan inilah yang seringkali mendorong penulis untuk menggoreskan esai ini dengan nada yang mungkin terasa agak tajam dan penuh tanjakan. Sesungguhnya, adakah indikator atau kriteria objektif yang bisa serta-merta menunjuk bahwa puisi-puisi dengan karakteristik seperti itu adalah puisi yang tidak berbobot?

Tak usah terlalu mengernyitkan dahi untuk mencoba menjawab persoalan rumit di atas. Cukup dengan meluangkan waktu untuk browsing atau membaca kembali puisi-puisi karya besar seperti Buya Hamka, Emha Ainun Najib, maupun Khalil Gibran, maka para pembaca akan menemukan sendiri jawabannya.

Karya-karya mereka seringkali sarat dengan metafora yang dalam, namun juga tak jarang mengungkapkan pengalaman personal yang begitu menyentuh. Sebaiknya, hanya penulis dan para pembaca yang bijak sajalah yang mencoba memahami dan merenungkan hal seperti ini.

Selanjutnya, sebuah fenomena yang cukup mencolok di media sosial menunjukkan bahwa setiap upaya kajian atau bedah terhadap sebuah puisi seringkali dilakukan secara instan, sambil lalu, tanpa merujuk pada referensi keilmuan yang memadai atau mendalam. 

Pengungkapan makna sebuah puisi yang hanya menyentuh permukaan saja membuat kajian tersebut tampak lemah, dangkal, dan kurang berbobot. Padahal, kalau mau ditilik secara kasat mata, cukup banyak penyair sekaliber nasional dan bahkan profesor sastra yang sebenarnya mempunyai akun Facebook atau media sosial lainnya. 

Namun, dalam kapasitas keilmuan mereka, sebagian besar dari mereka seolah tak bergeming, lebih asyik dengan dunianya sendiri, dan terus meniti karier di atas "menara gading" akademis atau kesastraan formal. Bagi sebagian dari mereka, mungkin media sosial hanyalah dianggap sebagai media penghibur semata, yang tidak banyak mendatangkan manfaat signifikan terhadap karier mereka, terutama yang bersifat finansial atau pengakuan formal.

Simpulan

Fenomena puisi di media sosial adalah sebuah realitas yang menarik sekaligus kompleks. Di satu sisi, ia membuka ruang seluas-luasnya bagi siapa saja untuk berekspresi dan berbagi karya, menciptakan ekosistem yang begitu hidup dan dinamis. 

Namun di sisi lain, derasnya arus informasi dan interaksi seringkali memunculkan perdebatan yang kurang produktif, terutama terkait bentuk, gaya, dan bahasa puisi, yang acap kali didasari oleh preferensi subjektif dan keinginan untuk menyeragamkan. Konsep "puisi yang benar" menjadi kabur, dan kualitas seringkali terabaikan demi kuantitas atau sekadar eksistensi sesaat.

Pada hakikatnya, setiap puisi, seperti halnya batu akik yang unik, membawa karakter dan sidik jari batin penyairnya. Memaksa sebuah puisi untuk mengikuti standar atau gaya tertentu sama halnya dengan merampas otonomi dan kebebasan kreatif sang penyair. 

Hal yang  yang lebih dibutuhkan dalam jagat maya ini adalah sikap saling menghargai keunikan, kritik yang konstruktif dan berbasis pemahaman yang lebih dalam (bukan sekadar selera), serta kesadaran bahwa menulis puisi adalah sebuah perjalanan personal. Semoga ke depannya, diskusi puisi di media sosial bisa lebih mengarah pada pendalaman apresiasi dan pemahaman, bukan sekadar ajang unjuk diri atau saling mendikte.


Penulis adalah Pemimpin Redaksi Jurnal "Aceh Edukasi " IGI Wilayah Aceh dan Guru SMA Negeri 1 Lhokseumawe.


 

Berita Terkait

Posting Komentar

0 Komentar