Sumber: Dokumen Pribadi
Oleh: Mukhlis, S.Pd., M.Pd.
Jauh sebelum jemari ini lincah menari di atas
papan ketik sebuah platform jurnalisme warga yang kini menjadi salah satu yang
terbesar di Asia Tenggara, jejak langkah kepenulisan saya sejatinya telah lama
tertapak.
Selama bertahun-tahun, saya telah berupaya
menjajakan buah pikiran dan untaian kata melalui berbagai media lokal yang
berdenyut di tanah Aceh dan Sumatera ,
baik yang hadir dalam wujud lembaran cetak maupun yang tersaji di etalase
daring.
Sebuah perjalanan yang tidak selalu mulus,
bahkan seringkali terjal. Khusus untuk media-media cetak atau daring yang
memiliki nama besar dan reputasi di Aceh, saya menghitung dengan cukup teliti,
ada sekitar sepuluh lebih naskah artikel dan barisan puisi yang telah saya
kirimkan melalui surel redaksi. Namun, hasilnya seringkali serupa: senyap, tak
berbalas, seolah ditelan keheningan.
Dari sekian banyak artikel yang saya layangkan
dengan penuh harap, hampir tidak pernah saya dapatkan secuil informasi pun
mengenai alasan mengapa karya-karya tersebut tidak kunjung menghiasi
kolom-kolom mereka.
Setiap naskah yang saya kirimkan kepada
media-media ternama di Serambi Mekah itu seolah lenyap begitu saja, bak ditelan
oleh pekatnya perut bumi, tanpa jejak, tanpa kabar. Sebuah misteri yang cukup
lama menggelayuti benak.
Setelah mengirimkan artikel ke berbagai media
cetak atau daring tersebut, hampir saban hari saya disibukkan oleh satu ritual:
membuka kotak masuk surel, berharap menemukan pesan balasan, sebuah jawaban
apakah tulisan tersebut layak muat atau tidak. Namun, yang datang seringkali
hanyalah kehampaan.
Belakangan, secercah informasi menghampiri
saya melalui seorang teman dekat, mencoba mengurai mengapa fenomena ini begitu
lazim terjadi. Rupanya, terungkap sebuah kenyataan pahit: terdapat korelasi
yang cukup kuat, bahkan cenderung tak terpisahkan, antara lingkaran internal
redaksi media tersebut dengan para penulis yang karyanya beroleh tempat.
Penulis mulai menyadari, dengan sedikit getir, bahwa prinsip simbiosis mutualisme, atau
mungkin lebih tepatnya jejaring perkoncoan, masih begitu kental berlaku di
banyak bidang, termasuk dalam birokrasi dan dinamika industri media di negeri
ini. Sebuah realitas yang, mau tidak mau, harus penulis terima sebagai bagian dari
proses.
Namun, semangat menulis tak lantas padam. Jauh
sebelum memberanikan diri untuk berkiprah di platform menulis daring yang lebih
luas jangkauannya, penulis telah bertindak sebagai pemilik dan pengelola sebuah
ruang digital pribadi bernama Sastrapuna.com.
Hampir tiga tahun lamanya penulis merawat dan
mengisi blog tersebut dengan berbagai konten. Ketekunan itu akhirnya membuahkan
hasil yang cukup membanggakan: blog yang penulis kelola diterima dan mendapatkan
persetujuan AdSense dari Google.
Sebuah kebanggaan tersendiri, tentu saja, menyelimuti diri ketika blog pribadi tersebut berhasil meraih pengakuan berupa AdSense. Ini bukan sekadar tentang potensi monetisasi, melainkan sebuah validasi bahwa konten yang disajikan memiliki nilai dan keterbacaan.
Jumlah penayangan halaman (viewers) yang singgah dan berinteraksi di media tersebut pun terus bertumbuh, mendekati angka 300 ribu kunjungan. Ragam tulisan yang penulis muat di blog tersebut cukup bervariasi, berkisar pada tema-tema pendidikan yang menjadi panggilan jiwa, berita-berita aktual.
Eksplorasi dunia sastra yang
tak pernah habis untuk digali, hingga refleksi budaya, yang semuanya terwujud
dalam bentuk puisi, artikel mendalam, serta opini-opini pribadi.
Menjadi pemilik sekaligus pengelola tunggal pada blog pribadi sejatinya menyuguhkan tantangan yang tidak ringan, terutama terkait konsistensi dalam menyajikan konten. Ada semacam tuntutan tak tertulis untuk memastikan ketersediaan artikel baru setiap hari, atau setidaknya secara reguler, agar pembaca setia tidak merasa kecewa.
Namun, tantangan tersebut tidak pernah penulis anggap sebagai halangan yang berarti. Mengapa? Karena bagi penulis, menulis adalah bagian inheren dari kehidupan, sebuah aktivitas yang menyatu dengan tarikan napas.
Lebih jauh lagi, ini bukan sekadar hobi yang dilakukan untuk mengisi waktu luang, melainkan telah menjelma menjadi sebuah kebutuhan primer. Intinya, proses menulis bagi penulis adalah semudah dan sealami bernapas.
Bahkan, keyakinan ini pernah penulis tuangkan dalam sebuah judul artikel:
"Menulis Itu Sebaiknya seperti Bernapas". Artikel tersebut,
syukurlah, banyak memberikan inspirasi bagi para penulis pemula, terutama
ketika penulis berkesempatan untuk berbagi ilmu dan memberikan pelatihan teknik
menulis.
Kembali pada persoalan ide atau gagasan, terutama ketika mulai aktif menulis di platform jurnalisme warga berskala besar, penulis akui bahwa ini merupakan sebuah tantangan yang mampu menguras adrenalin.
Ada semacam tekanan untuk terus produktif dan menyajikan tulisan
yang berkualitas. Bahkan, tulisan yang tengah Anda baca inipun sejatinya lahir
dari upaya untuk mengisi kekosongan ide yang sesekali datang menghampiri saat
hendak menyumbangkan tulisan di sana.
Awal mula penulis "berlayar" dan menjajaki dunia kepenulisan di platform daring partisipatif tersebut, semuanya terasa biasa saja, tak jauh berbeda dengan rutinitas saya mempostingkan tulisan di web pribadi, Sastrapuna.com.
Perkenalan dengan media baru ini adalah sesuatu yang unik dan menandai babak baru dalam perjalanan kepenulisan penulis. Keinginan untuk mencoba ini muncul dari akumulasi rasa jenuh terhadap media-media lokal yang, seperti telah penulis utarakan di awal tulisan ini, kerap kali menolak naskah tanpa penjelasan yang memadai.
Untuk menghindari berlarut-larut dalam rasa kecewa, penulis mencoba peruntungan dengan menjelajahi mesin pencari Google, mencari media daring alternatif yang lebih terbuka dan mau menerima kiriman tulisan atau artikel dari penulis independen seperti penulis.
Tanpa sengaja, mata saya tertumbuk pada sebuah nama platform yang unik, sebuah diksi yang langsung menggelitik rasa penasaran hingga ke relung terdalam. Sejuta tanya berkecamuk di pikiran, mendorong saya untuk berselancar lebih jauh, menggali informasi sebanyak mungkin tentang entitas di balik diksi tersebut melalui Google.
Rasa kecewa yang begitu
mendalam terhadap perlakuan media lokal, yang seolah enggan mendukung
karya-karya penulis tanpa memberikan umpan balik konstruktif mengenai kelayakan
tulisan, justru menjadi katalisator. Kekecewaan itu telah memicu saya untuk
menemukan sebuah terobosan baru, sebuah arena lain untuk menyalurkan hasrat
menulis.
Ternyata, rasa kecewa yang pernah membelenggu itu mampu bertransformasi menjadi ambisi positif. Setelah penulis diminta untuk membuat akun pribadi di platform tersebut dan melengkapi semua ketentuan yang disyaratkan hingga mendapatkan sejumlah poin awal dengan status perdana sebagai "Debutan", penulis tidak menunggu lama.
Penulis langsung melakukan postingan tulisan, baik dalam bentuk puisi maupun artikel, yang penulis pindahkan dari web pribadi. Semua saya lakukan secara otodidak, tanpa panduan khusus. Awalnya, penulis tidak pernah memahami sepenuhnya bahwa di media tersebut, setiap tulisan memiliki potensi untuk dilabeli "Sorotan" atau bahkan "Artikel Unggulan". Baru sekitar satu minggu aktif melakukan postingan, penulis mulai memahami mekanisme dan pengkategorian tersebut.
Setelah lebih dari satu bulan rutin melakukan
postingan, sebuah kejutan manis datang. Ternyata, ada delapan artikel penulis yang
berhasil digolongkan dalam kategori "Artikel Unggulan", dan hampir
semua postingan lainnya, baik puisi maupun artikel, dimasukkan dalam label
"Sorotan" oleh tim editor.
Pencapaian ini sontak mengundang sejumlah pertanyaan reflektif dalam benak penulis. Mengapa selama ini artikel-artikel yang penulis kirimkan ke setiap media di Aceh hampir selalu ditolak tanpa pemberitahuan atau penjelasan sedikit pun?
Apakah mungkin tim editor di platform jurnalisme warga ini, yang notabene merupakan bagian dari sebuah korporasi media besar, tidak memiliki kualifikasi yang cukup mumpuni untuk menilai sebuah artikel sehingga dengan mudahnya melabeli tulisan saya sebagai artikel unggulan?
Atau, kemungkinan yang lebih menggembirakan, apakah memang tulisan-tulisan penulis selama ini sejatinya sudah memenuhi standar kualitas dan kelayakan dalam kacamata editorial mereka?
Penulis menduga, ada semacam kesenjangan komunikasi dan mungkin juga kultur yang berbeda antara penulis yang mengirimkan tulisan dengan pihak media atau jajaran redaksi pada setiap surat kabar konvensional.
Puisi sebagai Ruang Bahasa Batin
Ada sebuah informasi menarik yang pernah penulis dapatkan dari
seorang teman yang berprofesi sebagai wartawan di sebuah media lokal. Ia
berujar, "Agar tulisan kita dimuat di media lokal, ternyata kedekatan
personal, kolega, dan jalinan silaturahmi pertemanan merupakan 'media' utama
agar tulisan kita lebih mudah diterima dan dipublikasikan." Sebuah
pernyataan yang, meski tidak bisa digeneralisasi, cukup memberikan perspektif
tambahan.
Dinamika ini terus bergulir. Suatu ketika, seorang teman lain melontarkan pertanyaan yang menggelitik, "Apakah Anda tidak pernah kehabisan ide menulis di platform itu? Karena yang saya lihat dan baca, hampir setiap hari Anda memposting tulisan, bisa tiga atau empat postingan sekaligus, baik artikel maupun puisi. Artikel-artikelnya pun seringkali berlabel 'Sorotan' dan 'Artikel Unggulan', bahkan ada juga yang tanpa label khusus namun tetap menarik."
Menjawab pertanyaan tersebut, penulis hanya bisa tersenyum dan menyatakan dengan jujur, "Mengapa harus merasa sulit? Bukankah di platform tersebut telah tersedia berbagai fitur yang sangat membantu?" Salah satunya adalah menu tentang "Rubrik Tematik" atau "Sajian Topik Unggulan".
Rubrik tersebut secara berkala menyajikan berbagai informasi aktual dan isu-isu hangat yang tengah menjadi perbincangan, baik pada tataran nasional maupun internasional. Dengan adanya rangsangan topik tersebut, ide-ide baru seolah tak pernah kering.
Selanjutnya, interaksi dan kegiatan membaca tulisan-tulisan dari sesama kontributor di platform tersebut juga menjadi sumber inspirasi yang tak kalah penting. Dari membaca karya orang lain, seringkali lahir ide-ide baru yang dapat dikembangkan menjadi tulisan dalam berbagai bentuk dan sudut pandang.
Selain itu, platform ini telah menjelma
menjadi semacam "rumah besar" bagi para pegiat literasi daring. Dalam
konteks komunal seperti itu, tentunya jalinan silaturahmi dan pertukaran
gagasan pasti berlangsung dan terjalin dengan kuat, menciptakan ekosistem yang
subur bagi kreativitas.
Rubrik Tematik yang disediakan merupakan salah satu fitur andalan yang berisi tentang topik-topik pilihan yang disajikan oleh pihak pengelola platform. Topik yang diangkat sangat beragam, berkaitan dengan isu-isu aktual yang terjadi, mencakup bidang politik, perkembangan teknologi, dinamika dunia pendidikan, kekayaan budaya, dan masih banyak lagi.
Berdasarkan topik-topik yang disediakan tersebut, setiap penulis memiliki keleluasaan untuk merespons dan menulis dalam berbagai bentuk tulisan sesuai dengan minat dan keahliannya. Setiap Sajian Topik Unggulan yang disajikan, penulis pribadi dapat menilai dan mengamatinya dari berbagai perspektif, sehingga memunculkan berbagai gagasan dan persepsi baru tentang masalah yang diangkat. Intinya, fitur ini sangat membantu para penulis untuk menjaring ide dari berbagai pandangan dan pada akhirnya melahirkan karya tulis yang beragam pula.
Keuntungan lain dari menulis dengan merespons Rubrik Tematik adalah setiap tulisan yang berhasil mendapatkan label "Sorotan" atau "Artikel Unggulan" memiliki kesempatan lebih besar untuk ditayangkan ulang atau bahkan diangkat di media induknya, sebuah portal berita utama yang terafiliasi dengan platform tersebut.
Tentu saja, ini
merupakan sebuah kebanggaan yang luar biasa jika tulisan seorang penulis biasa
seperti saya bisa dimuat di sana. Walaupun hingga saat ini saya belum mencapai
tahapan tersebut, semangat dan usaha untuk terus menghasilkan karya berkualitas
tidak pernah surut. Saya tetap berupaya agar suatu saat nanti, tulisan saya
dapat bertengger dengan gagah di halaman muka portal berita utama itu.
Sebagai seorang penulis yang mungkin masih tergolong pemula di kancah platform sebesar ini, Rubrik Tematik penulis pandang sebagai sebuah ajakan yang sangat baik untuk menulis dalam bingkai atau koridor yang sudah sedikit banyak ditentukan oleh tim editor.
Menulis dalam kerangka yang sudah ada batasannya seringkali memberikan kemudahan tersendiri dalam memaparkan ide dan gagasan ke dalam bentuk tulisan yang lebih terstruktur dan fokus. Hampir semua disiplin ilmu dan latar belakang pengetahuan yang dimiliki oleh setiap penulis dapat menemukan relevansinya dalam menu topik pilihan yang tersedia.
Jejaring dan silaturahmi sesama penulis di platform ini juga menjadi sumber inspirasi yang tak ternilai. Platform ini, menurut pengamatan saya, telah menjadi sebuah korespondensi literasi yang cukup masif, dengan indeksasi yang mencapai puluhan juta di mesin pencari Google.
Sejak dibuka sebagai wadah jurnalisme warga, platform ini telah dihuni oleh
jutaan akun penulis, meskipun mungkin tidak semuanya aktif secara konsisten.
Para pegiat literasi daring yang aktif di sana senantiasa menjalin silaturahmi
secara positif, terutama dalam memberikan tanggapan dan apresiasi terhadap
sebuah tulisan.
Kelebihan lain dari platform ini adalah adanya sebuah menu yang secara khusus menyajikan "Arti Tanggapan". Fitur ini sangat berfungsi jika para penulis ingin melakukan kritik yang konstruktif dan terhormat terhadap karya penulis lain.
Para penulis dapat menggunakan menu ini
sebagai ajang "pertengkaran pikiran" yang sehat dan produktif.
Interaksi antar penulis terus terjalin dengan baik. Setiap postingan yang
berpotensi memunculkan interaksi negatif atau melanggar ketentuan, para admin
akan sigap memberikan notifikasi bahwa "Konten penulis dengan judul ...
berada dalam tinjauan." Aspek ini betul-betul dijaga oleh tim admin dalam
menilai dan merevisi postingan yang dianggap layak dan tidak layak, baik dari
segi isi, bahasa, maupun gambar pendukung yang digunakan.
Berkaitan dengan ide-ide yang dimunculkan melalui silaturahmi sesama penulis, hal ini dapat dengan jelas terlihat pada kolom komentar yang tersemat di bawah setiap tulisan. Diskusi-diskusi yang berlangsung umumnya berjalan dengan bersahaja, tertata, dan saling menghargai.
Setiap postingan seringkali mendapatkan arahan dan bimbingan konstruktif dari sesama penulis, tanpa pandang bulu. Saya melihat tidak adanya ego sektoral yang dominan dimunculkan oleh setiap penulis.
Para penulis senior yang mungkin sudah
dianggap sebagai Kontributor Pilihan, yang tulisannya sudah sering melanglang
buana hingga ke media induk, mereka tetap dengan rendah hati datang bertandang
dan memberikan apresiasi pada tulisan-tulisan para pemula.
Terakhir, aktivitas membaca tulisan-tulisan dari kontributor lain adalah kunci berikutnya. Dalam konteks keseharian, membaca adalah proses mengonsumsi informasi melalui lambang bunyi atau tulisan. Informasi-informasi tersebut disajikan secara sistematis dan rapi. Pada platform ini juga menyediakan menu penilaian yang beragam.
Menu tersebut meliputi kategori seperti: menarik, bermanfaat, menghibur, aktual, inspiratif, dan unik. Setiap tulisan diberikan penilaian oleh pembaca berdasarkan kriteria tersebut. Pada saat memberikan penilaian, pembaca secara tidak langsung didorong untuk mendalami secara detail setiap ide yang dipaparkan dalam badan tulisan.
Melalui proses penilaian dengan memberikan label yang telah disediakan, para pembaca seringkali justru melahirkan ide baru untuk dituangkan dalam bentuk artikel baru, mungkin dari sudut pandang yang berbeda atau sebagai respons lebih lanjut. Ide-ide tersebut merupakan sebuah anugerah yang lahir dari aktivitas sederhana: membaca tulisan orang lain.
Penulis adalah Pemimpin Redaksi Jurnal "Aceh Edukasi " IGI Wilayah Aceh dan Guru SMA Negeri 1 Lhokseumawe.
0 Komentar