Oleh: Mukhlis, S.Pd., M.Pd.
Dalam kajian keilmuan, sastra kerap diposisikan sebagai salah satu disiplin ilmu tertua, bersanding bahkan mungkin mendahului beberapa cabang filsafat dalam manifestasi awalnya.
Argumentasi ini menemukan pijakannya pada bukti-bukti antropologis yang menunjukkan bahwa jauh sebelum bahasa verbal dan aksara ditemukan sebagai medium utama dalam berkomunikasi, manusia purba telah menunjukkan kemampuan untuk berkreasi dan berekspresi secara estetis.
Pemanfaatan tulang belulang binatang (fosil), misalnya, yang dirangkai sedemikian rupa hingga dapat difungsikan sebagai alat musik penghasil suara yang dianggap merdu pada masanya, merupakan indikasi awal dari dorongan estetis dan komunikatif manusia.
Seiring dengan perkembangan peradaban, penemuan aksara sebagai sistem simbol yang mampu merepresentasikan rangkaian bahasa menjadi tonggak penting. Sejak itulah sastra, dalam bentuknya yang lebih terstruktur dan terdokumentasi.
Hal ini mulai didengungkan dan diwariskan lintas generasi, menandai babak baru dalam evolusi ekspresi dan intelektualitas manusia.
Problematika Definisi Sastra, Sebuah Diskusi Tanpa Akhir
Jika ditinjau lebih dalam tentang pengertian sastra, sebuah realitas yang tak terhindarkan adalah bahwa sampai saat ini belum ada kesepahaman secara spesifik dan universal di antara para ahli mengenai konsep sastra itu sendiri. Perdebatan ini terus berlangsung, mencerminkan kompleksitas dan keluasan cakupan sastra sebagai objek kajian.
Setiap pakar, setiap aliran pemikiran, bahkan setiap zaman, seolah membawa perspektifnya sendiri dalam upaya mendefinisikan entitas yang begitu kaya ini. Kendati demikian, pengelompokan genre sastra ke dalam tiga bagian besar, yaitu puitif (puisi), naratif (prosa), dan dramatik (drama), telah menjadi semacam konvensi yang diterima secara luas.
Pengkategorian ini membantu dalam memetakan lanskap sastra, meskipun batasan antar genre seringkali bersifat cair dan saling tumpang tindih. Dunia sastra, dengan ketiga genre utamanya ini, terus berkembang secara dinamis, mengikuti dan merefleksikan perkembangan zaman serta perubahan sosial budaya.
Walaupun perdebatan tentang hakikat sastra begitu kentara dan seringkali tajam dalam khasanah keilmuan, satu hal yang tak dapat dimungkiri adalah bahwa sastra telah memberikan sumbangsih terbesar dalam membentuk dan mencatat peradaban manusia, menjadi repositori kearifan, imajinasi, dan pergulatan eksistensial.
Puisi
Dari ketiga genre yang telah dipaparkan di atas, penulis ingin menekankan pembahasan dalam artikel ini pada genre puitif, atau yang lebih akrab dikenal dengan istilah 'puisi'. Puisi, dengan segala kekhasan dan keunikannya, seringkali muncul sebagai topik sentral dalam berbagai konteks pembicaraan dan penulisan ilmiah.
Munculnya puisi dalam diskusi sastra tak jarang memantik serangkaian pertanyaan yang paling mendasar: apa itu puisi sesungguhnya? Siapakah yang dapat disebut sebagai pencipta puisi atau penyair?
Lalu, bagaimana cara mengkaji puisi secara ilmiah, sesuai dengan metodologi dan pendekatan keilmuan yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan?
Pertanyaan-pertanyaan ini bukanlah hal baru, namun terus relevan dan menantang untuk dijawab, mengingat konsep puisi itu sendiri masih menjadi medan perdebatan yang intens di antara para pengkaji sastra.
Sosok Penyair, antara Kegilaan Kreatif dan Strategi Bahasa
Mengingat konsep puisi yang masih cair dan multifaset, pembahasan penulis selanjutnya diarahkan pada sosok pencipta puisi, yakni penyair. Kini, yang menjadi masalah krusial adalah, siapa sebenarnya penyair itu?
Untuk memulai penelusuran ini, menarik untuk meminjam istilah Sigmund Freud, ahli psikologi ternama, yang pernah melontarkan pernyataan provokatif bahwa "Penyair adalah orang gila yang diterima di kalangan penikmat puisi."
Pendapat ini, meskipun tidak bisa diterima secara harfiah, mengemukakan sebuah perspektif bahwa penyair kerap bekerja di bawah pengaruh alam bawah sadar, dengan ungkapan bahasa yang cenderung meledak-ledak, impulsif, dan terkadang menabrak kaidah logika formal.
Secara psikologis, atau dalam kacamata teori psikoanalisa, disebutkan bahwa ketika seorang individu berada dalam keadaan emosional yang labil atau intens, maka di situlah seringkali muncul puisi yang merefleksikan ketidakstabilan atau gejolak batin terhadap masalah yang dialami.
Contoh sederhana dari fenomena ini dapat dilihat pada orang-orang yang sedang dilanda kasmaran hebat atau didera patah hati yang mendalam.
Dalam kondisi emosional seperti itu, mereka seringkali berucap atau menuliskan kata-kata yang mengalir di bawah arus kesadaran, jauh dari pertimbangan logika rasional, namun sarat dengan muatan emosi dan citraan puitis.
Selanjutnya, penyair juga seringkali dicitrakan, atau bahkan menyebut dirinya, sebagai seorang "pengecut" yang bersembunyi di balik benteng diksi yang idiomatik, memuntahkan makna yang multifungsi dan ambigu. Kebanyakan penyair seolah menanamkan makna karyanya dalam jurang yang dalam, tersembunyi di balik tebing aksara yang kokoh dan berlapis.
Untuk memberikan landasan yang lebih jelas bagi uraian di atas, penulis mencoba merujuk pada buku-buku psikologi sastra, seperti karya Nyoman Kutha Ratna dan Suwardi Endraswara.
Dari kajian-kajian tersebut, secara eksplisit dapat dipahami bahwa kelahiran sebuah puisi seringkali tidak lepas dari kondisi psikologis dan pergulatan batin para penyairnya.
Namun, penting untuk dicatat bahwa generalisasi ini tidak berlaku untuk semua jenis puisi, terutama puisi-puisi yang lahir dari perenungan filosofis yang mendalam dan kesadaran intelektual yang tinggi dari para penyairnya.
Di sisi lain, Sapardi Djoko Damono, dalam pengantar sosiologi sastra, menyatakan bahwa sastra adalah sebuah lembaga sosial yang ditulis tentang peristiwa sosial dan dibacakan oleh setiap individu dalam lingkungan sosial, menunjukkan dimensi lain dari keberadaan sastra dan penyairnya.
Siapa yang Berhak Menjadi Penyair?
Berkaitan dengan pertanyaan siapa dan dari mana asal-usul seorang penyair dalam konteks karya sastra, hemat penulis, penyair adalah siapa saja. Baik individu maupun kelompok, tanpa memandang latar belakang sosial, pendidikan, atau profesi, berhak untuk menjadi penyair.
Klaim ini tidak seharusnya dibatasi oleh status sosial tertentu atau media yang digunakan untuk mengekspresikan kepenyairannya.
Seseorang bisa menjadi penyair melalui tradisi lisan, tulisan tangan di atas kertas, ketikan di mesin tik, hingga unggahan di platform digital modern. Intinya, hak untuk menjadi penyair bersifat universal dan inheren bagi setiap individu yang memiliki dorongan untuk berekspresi secara puitis.
Kajian Puisi, Sebuah Tantangan Subjektivitas
Pertanyaan kedua yang tak kalah penting adalah bagaimana seharusnya mengkaji puisi, dan apa saja perangkat keilmuan yang dibutuhkan dalam analisis karya sastra, khususnya puisi?
Secara hierarki ilmu, seorang pengkaji sastra, entah disebut kritikus, analis, atau akademisi, idealnya harus memiliki pemahaman yang komprehensif mengenai beberapa pilar utama, yaitu ilmu sejarah sastra, teori sastra, kritik sastra, serta kajian puisi beserta struktur intrinsik dan ekstrinsiknya.
Dalam metodologi penelitian sastra, kajian terhadap puisi lazimnya menggunakan berbagai pendekatan kualitatif dan aliran teoretis. Oleh sebab itu, kajian sastra seringkali dianalisis dengan metode kualitatif, dengan salah satu pendekatan yang kerap digunakan adalah hermeneutika.
Hermeneutika bertujuan untuk membongkar dan menginterpretasi segala makna yang mungkin tersebunyi di balik lembaran teks atau manuskrip puisi. Namun, perlu disadari bahwa mengkaji sastra secara kualitatif seringkali tidak bisa sepenuhnya lepas dari unsur subjektivitas.
Hal ini dipengaruhi oleh sifat metode itu sendiri, di mana peneliti berperan sebagai instrumen utama dalam penelitian, sehingga latar belakang, pengalaman, dan kerangka berpikir peneliti dapat turut memengaruhi hasil interpretasi.
Membedah Puisi dengan Semiotika dan Stilistika
Selanjutnya, untuk mempertajam pisau analisis dalam kajian puisi, ilmu semiotika dan stilistika menawarkan perangkat konseptual yang sangat berharga. Dalam kajian semiotika, dikenal adanya konsep fundamental “tanda” (signifier) dan “penanda” (signified).
“Tanda” merujuk pada semua lambang bahasa yang digunakan dalam puisi, termasuk kata, frasa, bunyi, bahkan tata letak visual (tipografi) yang dipilih oleh penyair. Sedangkan “penanda” adalah makna, konsep, atau gagasan yang ditimbulkan atau dirujuk oleh bahasa (tanda) yang digunakan tersebut.
Stilistika, di sisi lain, memfokuskan kajiannya pada gaya bahasa (style) yang khas dari seorang penyair atau sebuah karya puisi, meliputi analisis diksi, majas, pola ritmik, dan struktur sintaksis.
Dari uraian mengenai semiotika dan stilistika tersebut, dapat ditarik sebuah simpulan penting bahwa kajian terhadap puisi tidak seharusnya berhenti hanya pada analisis judul dan pilihan diksi (kata-kata) yang digunakan secara parsial.
Sebaliknya, totalitas dari puisi tersebut, bagaimana berbagai elemen puitik saling berinteraksi dan membangun makna secara keseluruhan, sangat dibutuhkan untuk pemahaman yang mendalam.
Lebih lanjut, riwayat hidup penyair (biografi), konteks sosial-budaya saat puisi diciptakan, serta keterkaitan antara puisi yang sedang dikaji dengan puisi-puisi sebelumnya dari penyair yang sama.
Bahkan dengan karya-karya lain dalam tradisi sastra yang lebih luas, merupakan sandaran kontekstual yang tidak boleh dikesampingkan oleh seorang pengkaji sastra yang cermat dan bertanggung jawab.
Simpulan
Mengurai benang kusut yang melingkupi dunia puisi, mulai dari problematika definisinya yang tak kunjung final, perdebatan mengenai siapa sejatinya sosok penyair, hingga bagaimana metodologi kajian yang paling tepat untuk mendekatinya, merupakan sebuah upaya intelektual yang terus menantang.
Puisi, sebagai entitas yang lahir dari kedalaman jiwa dan kekayaan bahasa, menolak untuk dikungkung dalam batasan-batasan sempit. Ia hadir sebagai manifestasi kreativitas manusia yang paling sublim, sekaligus cerminan pergulatan batin dan realitas sosial yang melingkupinya.
Perdebatan mengenai "kegilaan" penyair versus perenungan mendalamnya, atau "kepengecutan" dalam penggunaan diksi versus kekuatan simbolik bahasa, menunjukkan betapa kompleksnya proses kreatif dan sosok di baliknya.
Pendekatan kajian puisi yang komprehensif menuntut seorang pengkaji untuk tidak hanya terpaku pada teks semata, tetapi juga mampu melihatnya sebagai sebuah totalitas yang melibatkan aspek intrinsik dan ekstrinsik. Penguasaan terhadap sejarah sastra, teori sastra, kritik sastra, serta perangkat analisis seperti semiotika dan stilistika menjadi bekal krusial.
Memahami konteks biografi penyair dan intertekstualitas karya juga memberikan dimensi pemahaman yang lebih kaya.
Meskipun subjektivitas menjadi tantangan dalam kajian kualitatif, kesadaran akan hal tersebut dan upaya untuk tetap berpijak pada data tekstual yang kuat akan mengarahkan pada interpretasi yang lebih valid dan mencerahkan, memungkinkan kita untuk semakin mengapresiasi kedalaman dan keindahan dunia puisi.
Penulis adalah Pemimpin Redaksi Jurnal "Aceh Edukasi " IGI Wilayah Aceh dan Guru SMA Negeri 1 Lhokseumawe.
0 Komentar