Sumber: Dokumen Pribadi
Oleh: Mukhlis, S.Pd., M.Pd.
“Tunjukkan pada saya, bagaimana cara membaca puisi yang benar?” Ungkapan ini, begitu membekas, dilontarkan oleh seorang guru pendamping kepada rekan penulis. Momen itu terjadi pascapengumuman sebuah perhelatan lomba baca puisi tingkat Sekolah Dasar se-Kabupaten di sebuah kota yang pernah mengukir sejarah sebagai Ibu Kota Republik Indonesia, walau hanya sekejap, sepekan lamanya.
Pertanyaan tersebut, sederhana namun fundamental, seketika bersarang di benak penulis, menyusuri relung-relung pemikiran, dan seolah menyatu dalam aliran darah, membelah rongga permenungan. Hampir dua hari lamanya, penulis bergelut, merasa gamang dalam upaya menemukan jawaban dari berbagai horison literasi yang tersedia.
Berangkat dari ilustrasi pengalaman tersebut, penulis berupaya mengurai kegelisahan intelektual ini ke dalam dua pokok bahasan utama. Kedua bagian tersebut akan menelisik lebih dalam perihal pertama, bagaimana sejatinya membaca puisi secara representatif, dan kedua, bagaimana seharusnya menilai sebuah pembacaan puisi, khususnya dalam konteks kompetisi?
a. Sang Pembaca Puisi, antara Teks dan Interpretasi
Pembaca puisi dapat dimaknai sebagai individu atau entitas kolektif yang menaruh minat dan apresiasi mendalam terhadap jalinan kata dalam bait-bait puisi. Susunan larik yang ditata secara estetik dan padat tersebut sejatinya dirancang untuk memancarkan makna konotatif yang kaya.
Dalam upaya memvisualisasikan puisi ke dalam bahasa lisan yang mudah dijangkau oleh audiens, seorang pembaca puisi dituntut memiliki kapabilitas untuk menginterpretasikan keseluruhan isi puisi melalui medium pembacaan yang dibawakannya.
Interpretasi, dalam konteks ini, adalah ruh, esensi vital yang menghidupkan sebuah puisi. Apabila interpretasi tersebut mampu diwujudkan secara paripurna oleh sang pembaca, maka ia sesungguhnya telah berhasil menyelami kedalaman bait-bait yang padat dan sarat makna.
Hal ini sekaligus mengantarkan segenap citraan yang terkandung di dalamnya kepada pendengar. Selain interpretasi, seorang pembaca puisi juga mutlak memperhatikan aspek vokal, artikulasi, serta pemahaman yang total dan komprehensif terhadap puisi yang dibacanya.
Pembaca puisi yang telah memiliki jam terbang tinggi lazimnya memiliki kepekaan lebih dalam memilih dan memilah bentuk serta jenis puisi yang akan dibawakan. Proses seleksi ini umumnya disesuaikan dengan karakter vokal yang menjadi ciri khasnya. Lantas, sebuah pertanyaan reflektif mungkin mengemuka, apakah seorang penulis puisi yang mahir merangkai kata-kata indah secara otomatis juga mampu membaca puisi dengan benar dan memukau?
Jawabannya, belum tentu. Sebaliknya, seseorang yang piawai membaca puisi pun belum tentu memiliki kemampuan menulis puisi yang sama indahnya. Memang, dalam praktiknya, puisi tidak hanya untuk ditulis dan dinikmati dalam keheningan batin, tetapi juga merupakan karya yang dapat diekspresikan melalui pembacaan lisan, bahkan tak jarang diiringi alunan musik yang harmonis.
Merujuk pada pandangan Hasmudin W.S. (2007:72), terdapat beberapa elemen krusial yang perlu menjadi atensi bagi seorang pembaca puisi.
1) Ekspresi atau Mimik
Kesesuaian ekspresi wajah dengan tema dan suasana puisi adalah pertimbangan utama. Jika puisi bertutur tentang kebahagiaan, maka senyuman dan ekspresi ceria menjadi keniscayaan. Sebaliknya, saat membawakan puisi bernuansa kesedihan, mimik wajah yang muram, bahkan jika perlu diiringi derai air mata yang tulus, akan memperkuat penyampaian.
2) Kinesik
Gerakan anggota tubuh haruslah selaras dan mendukung isi puisi yang dibacakan. Hal ini menuntut pemaknaan yang mendalam serta latihan yang kontinu dan terukur untuk mencapai hasil yang diinginkan.
3) Artikulasi
Seorang pembaca puisi wajib memiliki artikulasi yang jelas dan presisi. Kemampuan dalam melafalkan setiap kata dan kejernihan vokal merupakan poin penting yang tak terelakkan
4) Intonasi
Pembaca puisi yang baik mampu memainkan intonasi secara tepat dan variatif, sehingga para pendengar seolah-olah terhanyut dan turut merasakan gejolak emosi yang terkandung dalam puisi.
5) Kepercayaan Diri
Aspek ini tidak kalah vitalnya. Membaca puisi menuntut tingkat kepercayaan diri yang tinggi, mengingat seringkali pembacaan puisi melibatkan ekspresi yang cenderung teatrikal atau bahkan dramatis. Tidak sedikit individu yang urung membaca puisi karena terhalang oleh rasa kurang percaya diri.
Konsep dan tata cara membaca puisi sebagaimana diuraikan di atas seyogianya menjadi pedoman bagi setiap pembaca puisi. Namun, hal yang paling esensial dari aktivitas membaca puisi adalah kemampuan sang pembaca untuk mentransfer rasa, suasana, nada, dan amanat yang terkandung dalam puisi kepada audiens. Agar transmisi ini berjalan efektif, penulis berpendapat bahwa ada tiga prasyarat yang perlu dipenuhi.
1)Kedalaman Penyelaman
Seorang pembaca puisi harus mampu menyelami hingga ke palung terdalam sebuah puisi. Jika hal ini terwujud, maka proses membaca puisi dan segala tuntutan inheren dari puisi tersebut akan terealisasi dengan baik melalui pembacaan yang tepat dan berjiwa.
2) Transformasi Gejolak Penyair
Pembacaan puisi pada hakikatnya adalah sebuah proses transformasi gejolak batin penyair yang "dilakonkan" oleh pembaca hingga pesannya sampai dan meresap ke dalam diri audiens. Untuk mewujudkan hal ini, diperlukan suatu proses "persenyawaan" yang harmonis antara tiga unsur fundamental: pembaca, puisi yang dibaca, dan audiens.
Seandainya ketiga elemen ini mampu membumi dalam suatu kondisi yang ideal, tak terbayangkan betapa luar biasanya apresiasi yang akan lahir dari audiens maupun dewan hakim yang menilai.
Selama penulis terlibat sebagai dewan hakim dalam berbagai perhelatan lomba baca puisi di tingkat kabupaten/kota. Sebuah fenomena yang cukup sering teramati adalah kecenderungan "latah" pada sebagian besar pembaca. Artinya, mereka cenderung meniru gaya pembacaan orang lain, sebagaimana yang banyak tersaji di platform YouTube atau media sosial lainnya.
Peniruan ini seringkali dilakukan tanpa pertimbangan matang terhadap karakter puisi, tema yang diusung, dan kesesuaian dengan jenis suara yang dimiliki oleh pembaca itu sendiri, sehingga hasilnya terkesan artifisial dan dipaksakan.
Padahal, alangkah lebih bernilainya jika setiap pembaca puisi berupaya menemukan dan mengembangkan dirinya sebagai pribadi-pribadi yang memiliki karakter unik dan otentik dalam membaca puisi.
b. Sang Penilai Puisi, Objektivitas di Tengah Relativitas Estetika
Sebuah pertanyaan mendasar yang kerap muncul ketika membahas subjudul ini adalah: "Dapatkah pembacaan puisi dinilai dan dikuantifikasi secara objektif ke dalam bentuk skor dan angka?" Pertanyaan berikutnya, "Bukankah puisi adalah produk karya sastra yang esensinya terletak pada nilai estetika?"
Lantas, apa sajakah indikator konkret dari estetika sebuah karya sastra, sementara telah menjadi pemahaman umum dalam dunia seni bahwa estetika itu sendiri bersifat relatif? Diskursus ini, tak pelak, sangatlah menarik untuk dikaji lebih lanjut.
Jika kita hanya bersandar pada relativitas estetika tersebut, penulis meramalkan bahwa perhelatan-perhelatan lomba pembacaan puisi mungkin tidak akan pernah ada. Namun, realitasnya berbeda. Kembali kepada substansi persoalan, siapakah yang sesungguhnya memiliki otoritas dan kapabilitas untuk "menguliti" pembacaan puisi dan memberikan skor dalam rentang yang telah ditetapkan oleh petunjuk teknis sebuah kompetisi?
Dipicu oleh beragam dinamika dan kasus yang kerap terjadi dalam setiap proses penjurian, isu ini menjadi semakin menarik untuk dikupas: siapa sejatinya yang layak menyandang predikat sebagai dewan hakim dalam lomba pembacaan puisi?
Masih sering kita jumpai, pascapengumuman hasil seleksi, adanya pihak-pihak yang merasa tidak puas dengan keputusan yang diambil. Ujung-ujungnya, dewan hakim kerap dijadikan "kambing hitam" dengan berbagai label yang disematkan (tidak profesional, tidak memiliki kompetensi memadai, pengecut, hingga dinilai terlalu subjektif).
Idealnya, dewan hakim puisi adalah individu-individu yang memiliki kompetensi yang tidak diragukan lagi. Mereka mungkin lihai dalam mencipta puisi, cakap dalam membacakan puisi sesuai dengan kaidah-kaidah yang berlaku, atau bahkan keduanya.
Status sosial yang mereka emban pun bisa beragam, mulai dari kalangan umum yang memiliki passion mendalam, akademisi dengan latar belakang studi sastra, atau siapa saja yang memiliki pemahaman komprehensif tentang puisi, sekalipun diperoleh secara otodidak.
Intinya, mereka adalah para pekerja sastra yang karyanya telah dikenal publik, memiliki kecakapan dalam membaca puisi, ataupun pernah menorehkan prestasi dalam berbagai kompetisi membaca puisi. Seandainya pun ada di antara dewan hakim yang mungkin tidak seaktif sebagai pembaca puisi namun memiliki rekam jejak karya dalam bentuk kumpulan puisi yang diakui, hal tersebut juga merupakan salah satu unsur modalitas utama dalam menghakimi sebuah pembacaan puisi.
Dengan demikian, dapat ditarik sebuah benang merah bahwa dewan hakim setidaknya harus memenuhi salah satu atau beberapa syarat yang telah disebutkan, yang meliputi kualifikasi pendidikan formal di bidang sastra, rekam jejak prestasi dalam lomba baca puisi, dan kapasitas sebagai pemerhati sastra yang diakui.
Tanpa rekam jejak (track record) yang jelas dan meyakinkan sebagaimana telah dipaparkan, sudah barang tentu keputusan dewan hakim akan rentan menuai kontroversi pada saat diumumkan. Lalu, apa sajakah yang esensial untuk diperhatikan oleh dewan hakim puisi dalam menjalankan tugas pokoknya sebagai juri? Beberapa poin berikut dapat menjadi pertimbangan.
1) Profesionalisme di Atas Emosional
Kedepankan sikap profesional, bukan emosional, dalam menilai sebuah pembacaan puisi. Dalam konteks ini, menjauhi sepenuhnya sifat subjektivitas memang merupakan tantangan tersendiri, mengingat menilai sebuah perwujudan karya sastra yang kaya akan nilai estetika tidak memiliki patokan yang baku dan rigid. Jikapun muncul penilaian yang bersifat intuitif atau di luar dugaan, hal tersebut masih dalam batas kewajaran sebagai manusia.
2) Memanfaatkan Seluruh Khazanah Pengetahuan Kepuisian
Gunakan segala perangkat pengetahuan dan kepekaan kepuisian yang dimiliki, bahkan hingga melibatkan "mata batin" sekalipun. Mendalami dan menangkap esensi puisi yang dibacakan oleh peserta membutuhkan konsentrasi yang ekstra. Mungkin, menurut hemat penulis, menilai puisi dalam bentuk tulis terasa lebih mudah dibandingkan menilai pembacaan puisi secara langsung.
Hal ini mengingat ketika sebuah puisi dibacakan, seluruh audiens turut serta menilai dan menerka-nerka siapa sebenarnya yang tampil lebih unggul, walaupun bekal pengetahuan kepuisian yang dimiliki oleh audiens tersebut tentu berbeda-beda. Tidak sedikit audiens yang mungkin "berceloteh" di tengah suasana penjurian, mengomentari bahwa puisi yang dibawakan peserta A atau B sangat bagus dan tepat.
Apalagi jika peserta tersebut sampai "menangis darah" sebuah ironi, karena terkadang puisi yang dibawakan sama sekali tidak menuntut pembacanya untuk menangis. Ini terkadang menjadi pemandangan yang menggelitik sekaligus memprihatinkan.
Selain itu, posisi penempatan dewan hakim juga dapat memengaruhi hasil akhir dari proses penilaian pembacaan puisi. Dalam perhelatan berskala nasional, misalnya, posisi para dewan hakim biasanya dipisahkan satu sama lain.
Praktik ini bertujuan untuk meminimalisasi potensi bias atau pengaruh subjektif antarjuri. Penulis meyakini bahwa hampir semua dewan hakim yang ditunjuk sejatinya mengemban iktikad baik, yakni untuk menemukan dan menjaring bibit-bibit unggul dan berkualitas demi masa depan kesusastraan di tanah air.
Jika dalam perjalanannya dewan hakim melakukan kekhilafan, maklumlah, mereka juga manusia biasa. Alangkah lebih bijak jika kita tidak terburu-buru menghakimi para hakim. Mari bersama-sama berbenah, melakukan introspeksi, demi kemajuan dan marwah perpuisian Indonesia.
Simpulan
Ke depan, dapat diharapkan bahwa kualitas dan apresiasi terhadap seni pembacaan puisi akan sangat bergantung pada dua kutub utama, kesadaran pembaca dan kematangan sistem penilaian. Apabila para pembaca puisi, terutama generasi muda, terus terpaku pada pola-pola instan yang kerap tersaji di etalase media digital tanpa diimbangi upaya pendalaman teks secara khusyuk dan pengembangan karakter personal yang otentik, maka kita hanya akan menyaksikan repetisi gaya tanpa ruh, sebuah parade teknik yang hampa makna.
Sebaliknya, jika terjadi pergeseran paradigma menuju pemahaman bahwa pembacaan puisi adalah sebuah proses kreatif individual yang menuntut otentisitas interpretasi, eksplorasi vokal yang selaras dengan karakter diri, dan penghayatan yang tulus dari kedalaman jiwa, maka lanskap perpuisian kita diproyeksikan akan semakin kaya, dinamis, dan berwarna.
Pembacaan puisi yang "benar" di masa mendatang tidak lagi semata-mata dimaknai sebagai keseragaman teknis, melainkan sebagai kemampuan unik untuk mentransformasikan dan mentransmisikan kedalaman makna puisi secara berdaya dan memukau.
Dalam ranah penilaian, tantangan inheren terkait subjektivitas dalam mengapresiasi nilai estetika akan terus menjadi diskursus yang tak berkesudahan. Namun, dapat diproyeksikan bahwa jika proses penjurian tidak diiringi dengan upaya kolektif untuk meningkatkan kompetensi dewan hakim secara berkelanjutan, serta merumuskan koridor-koridor penilaian yang lebih transparan dan akuntabel (sekalipun estetika itu sendiri bersifat relatif dan cair), maka kontroversi dan riak-riak ketidakpuasan akan tetap menjadi bayang-bayang yang mengiringi setiap perhelatan sastra.
Sebaliknya, dengan adanya komitmen bersama untuk menghadirkan dewan hakim yang tidak hanya mumpuni secara teoretis dan praktis dalam khazanah kepuisian, tetapi juga memiliki integritas, kearifan, dan kepekaan dalam menavigasi "relativitas estetika" tersebut, maka kepercayaan publik terhadap institusi penjurian akan kian menguat.
Implikasi lebih jauhnya, hal ini akan berkontribusi pada lahirnya iklim kompetisi yang lebih sehat dan konstruktif, yang pada gilirannya akan menstimulasi munculnya bibit-bibit pembaca puisi berkualitas yang mampu menjadi agen pencerahan dan apresiasi sastra di tengah-tengah masyarakat.
Penulis adalah Pemimpin Redaksi Jurnal "Aceh Edukasi " IGI Wilayah Aceh dan Guru SMA Negeri 1 Lhokseumawe
0 Komentar