Oleh: Mukhlis, S.Pd., M.Pd.
Di ufuk timur, mentari baru saja menyirami Kuala Diwa dengan cahaya keemasannya, mengusir sisa-sisa kelam malam, membangkitkan denyut kehidupan di negeri yang tanahnya subur laksana permadani hijau terhampar, dan sungainya mengalir jernih bagai urat nadi pemberi kehidupan.
Di tengah kedamaian yang dirajut dari benang-benang keadilan dan kemakmuran itu, hiduplah Banta Ahmad. Bukan sekadar pewaris takhta, ia adalah jantung hati rakyatnya, pemuda yang gagah perkasa laksana singa muda di rimba raya, namun hatinya selembut embun pagi yang menetes di kelopak bunga.
Kebijaksanaannya menjadi buah bibir di setiap sudut pasar dan lorong desa, keadilannya meneduhkan jiwa-jiwa yang gundah, laksana payung teduh di tengah terik padang pasir. Ia adalah harapan, mercusuar yang cahayanya menembus pekatnya ketidakpastian di lautan kehidupan.
Namun, tak ada taman mawar tanpa duri yang mengintai. Di sudut lain Kuala Diwa, dalam bayang-bayang keremangan yang ia ciptakan sendiri, bersemayam Jugi Tapa. Sosoknya terbungkus jubah legam bagai malam tanpa bintang, menyembunyikan hati yang keruh oleh endapan ambisi dan muslihat licin.
Lidahnya semanis madu hutan, kata-katanya terangkai indah mampu memutarbalikkan kenyataan, hingga yang kelam tampak benderang dan yang putih terlihat ternoda. Setiap kalimat yang meluncur dari bibirnya terbungkus gula-gula janji, mampu membelokkan kebenaran menjadi keraguan, dan keraguan menjadi keyakinan buta pada dirinya.
Ia adalah bayang-bayang yang merayap, siap menerkam kelengahan, menggerogoti tiang-tiang ketenteraman negeri.
Kisah ini sejatinya bermula ketika bisik-bisik gaib tentang Burung Pala, sang permata langit, mulai merasuki mimpi-mimpi penduduk Kuala Diwa. Cerita turun-temurun melukiskannya bukan sekadar unggas biasa; bulu-bulunya berkilau laksana serpihan surga yang jatuh ke bumi, suaranya merdu melantunkan kidung takdir, dan kehadirannya diyakini membawa berkah tak terperi bagi siapa pun yang dinaunginya. Banta Ahmad, dengan nuraninya yang jernih, mendambakan Burung Cempala.
Bukan untuk menambah kilau mahkotanya, bukan pula untuk menumpuk harta, melainkan sebagai simfoni kemakmuran abadi bagi setiap jiwa di Kuala Diwa. Doa tulus ia panjatkan dalam hening malam, "Kepada Tuhanku, Yang Maha Mendengar, mohon pinta, kabulkanlah hasrat suci ini, semoga nafsu (keinginan luhur) ini sampai pada pinta," harapannya membuncah bagai mata air yang menemukan jalannya di musim semi.
Sebaliknya, di mata Jugi Tapa yang dipenuhi kabut ambisi, Burung Cempala adalah kunci emas menuju gerbang kuasa mutlak. Burung Cempala adalah anak tangga emas menuju puncak kekuasaan yang selama ini ia idamkan, sebuah alat untuk menundukkan Banta Ahmad dan mengendalikan nasib negeri.
Dengan janji-janji setinggi langit dan semanis manisan, ia merayu para pengikutnya yang silau, "Ikuti Aku, wahai saudara-saudaraku, niscaya perak berlipat ganda akan kalian genggam, kemuliaan akan menyertai langkah kalian!"
Namun, di balik tutur katanya yang membuai itu, tersembunyi niat busuk untuk menjatuhkan sang pewaris takhta dan merenggut kehormatan negeri dari tangan yang berhak.
Maka, dimulailah perburuan suci itu. Banta Ahmad, dengan tekad sekeras baja tempaan dan hati yang berserah diri, merambah belantara yang belum terjamah. Rintangan demi rintangan ditebasnya bagai pekerjaan yang terencana dan cepat selesai, hutan lebat yang penuh misteri ia rambah bagai ladang yang digunduli untuk ditanami harapan baru, semua demi menemukan sang Pala yang legendaris.
Setiap langkahnya adalah untaian doa, setiap tetes peluhnya adalah saksi pengorbanan. Menembus hutan larangan yang angker, di mana suara binatang buas bersahutan dengan desau angin yang membawa cerita-cerita lama. Kakinya menapak di atas duri dan bebatuan tajam, tubuhnya berpeluh di bawah terik mentari yang membakar.
Ada kalanya, ketika malam merayap dingin dan sepi, harapan terasa bagai bungoeng keumbe susah tiba (bunga kemboja yang sulit mekar), nyaris pupus ditelan keputusasaan. Namun, ingatan akan wajah rakyatnya, senyum ibundanya, dan sumpah baktinya kepada tanah tumpah darahnya, menjadi suluh yang membakar kembali semangatnya.
Keyakinan pada Yang Maha Kuasa dan restu pedang warisan Raja Sadon, bagai senjata pamungkas yang tak hanya tajam bilahnya namun juga menyimpan tuah leluhur, senantiasa ia genggam erat, memberinya kekuatan melampaui batas manusia biasa.
Sementara itu, Jugi Tapa, yang pandai ula ili (berbohong dan berkelit) bagai musang berbulu domba yang jinak namun mengancam, tak tinggal diam. Ia menyebar fitnah bagai angin malam yang membawa penyakit, menabur benih keraguan di hati rakyat terhadap ketulusan Banta Ahmad.
Ia bahkan berani membawa Burung Utoeh, unggas lain yang ia hias dan latih, yang ia klaim sebagai pembawa pesan ilahi, untuk menipu mata dan telinga yang tak waspada, demi mengukuhkan pengaruhnya yang rapuh.
Dengan Burung Utoeh yang ia pamerkan, ia merapal mantra-mantra palsu, mengaku menerima wahyu dari langit. Beberapa jiwa yang lemah iman sempat terpedaya, terbuai oleh janji-janji surga duniawi.
Namun, kebohongan takkan pernah abadi. Cahaya kebenaran, meski redup, mulai menyusup ke celah-celah kepalsuan Jugi, membuat sebagian rakyat mulai bertanya dan merenung.
Suatu senja, ketika langit di ufuk barat terlukis warna jingga darah, pertanda hari akan berganti, Banta Ahmad akhirnya berhadapan dengan takdir yang ia cari.
Di puncak Cot Cikok, di antara selubung kabut senja yang perlahan tersibak, ia melihatnya Burung Cempala, indah rupa bagai bidadari dari kayangan turun ke bumi.
Bulu-bulunya memancarkan spektrum warna pelangi, setiap helainya berkilau laksana taburan intan permata.
Suaranya, saat ia berkicau pelan, bagai alunan seruling surga yang menenangkan jiwa. Seketika, segala lelah Banta Ahmad sirna, tergantikan oleh rasa takjub dan syukur yang meluap.
Dengan kesigapan bagai meteor yang melesat menembus atmosfer, Banta Ahmad berhasil menangkapnya dengan lembut, tanpa melukai sehelai pun bulunya. Burung itu kini dalam genggamannya, hangat dan bergetar, bagai pusaka paling berharga yang dipercayakan langit.
Namun, kebahagiaan seringkali diuji dengan cepat. Bagai petir yang menyambar di siang bolong tanpa awan mendung, Jugi Tapa, dengan wajah penuh percaya diri palsu, muncul di gerbang kota, menghadang Banta Ahmad yang hendak pulang membawa kabar gembira.
Matanya yang sipit namun tajam nyalang menatap burung di tangan Banta, bagai mata elang yang telah lama mengincar mangsa utamanya.
"Berikan kepada kami Burung Cempala itu, wahai Adinda!" seru Jugi, suaranya sengaja ia buat terdengar tulus dan penuh persahabatan, namun menyiratkan paksaan yang tak kentara. "Burung itu sangat kusukai, ia adalah pertanda baik, bagai harta yang paling berharga yang akan membawa kemuliaan bagi kita semua.
Kita bisa berbagi kemuliaannya, Adinda. Bayangkan, Kuala Diwa akan semakin masyhur dengan kita berdua sebagai pemimpinnya, dengan Burung Pala sebagai penjaminnya." Senyumnya merekah, namun matanya tak bisa menyembunyikan kilat keserakahan.
Banta Ahmad berdiri tegak, tak goyah sedikit pun, bagai pahlawan tanpa tandingan yang siap menghadapi segala ancaman. Wajahnya tenang laksana permukaan danau di pagi hari, namun sorot matanya setajam elang, mencerminkan keteguhan hati.
"Wahai Teungku Jugi," jawabnya tegas, suaranya menggema bagai petir yang menyambar di kejauhan, membawa pesan keadilan, "setelah habis kubabat cabang kayu dan kurambah hutan belantara dengan niat suci, burung ini takkan kuberikan untuk memuaskan nafsu pribadi. Burung ini adalah amanah, bukan untuk keserakahan, melainkan untuk kemaslahatan seluruh rakyat Kuala Diwa."
Amarah menjalari wajah Jugi Tapa, topeng kesalehannya retak, memperlihatkan rupa aslinya yang bengis. Ia merasa hatinya berdarah dalam dada, bagai luka menganga yang disiram cuka.
"Kalau tak diberi dengan baik-baik, ingat sendiri akibatnya, Banta Ahmad!" ancamnya, suaranya kini tak lagi disembunyikan, melainkan bagai bisikan iblis yang menjanjikan malapetaka.
Banta Ahmad tak gentar. "Biarlah kau sebut gunung akan kugulung, lautan akan kuseberangi, namun burung ini, simbol harapan rakyatku, takkan kuserahkan padamu!"
Rakyat yang menyaksikan dari kejauhan, yang tadinya masih menyimpan sekelumit keraguan, kini melihat dengan mata kepala sendiri. Aura agung yang memancar dari Banta Ahmad dan Burung Cempala yang kini memancarkan cahaya lembut di tangan sang pangeran, kontras dengan kegelapan yang terpancar dari wajah Jugi Tapa yang memerah padam karena amarah dan malu.
Tipu muslihat Jugi bagai kabut pagi yang tersibak oleh sinar mentari kebenaran. Satu per satu, mereka yang sempat terpengaruh oleh Jugi, menundukkan kepala, berbalik badan, meninggalkan sang pendeta palsu dalam kesendiriannya yang memalukan.
Ia berdiri terpaku, bagai arca batu yang dilupakan zaman, sementara kutukan atas segala dusta dan kesombongannya mulai menjelaga, bagai laknat Allah yang bangkit tanpa suara namun terasa mencekik. Nyawanya tak lagi utuh, kehormatannya telah hancur berkeping-keping, menjadi debu yang diterbangkan angin.
Banta Ahmad kemudian kembali ke istana, disambut gegap gempita sorak-sorai rakyatnya. Ia tak lantas memenjarakan Burung Pala dalam sangkar emas, karena ia tahu, keindahan sejati adalah anugerah yang tak pantas dikekang.
Setelah beberapa purnama negeri merasakan kedamaian dan keberkahan yang seolah memancar dari kehadiran sang burung ajaib, dengan disaksikan Putri Intan, permaisurinya yang setia bagai bayangan yang tak pernah lekang, dan segenap rakyatnya, Banta Ahmad melepaskan Burung Cempala kembali ke angkasa luas.
"Terbanglah bebas, wahai permata langit," bisiknya. "Bawalah berkahmu ke seluruh penjuru, karena kebahagiaan sejati adalah yang bisa dirasakan bersama, bukan yang digenggam sendiri."
Di bawah kepemimpinan Banta Ahmad, yang senantiasa didampingi oleh kebijaksanaan dan kasih Putri Intan, Kuala Diwa dan Sambuti, negeri ibundanya, berkembang pesat laksana taman firdaus.
Hukum ditegakkan dengan adil tanpa pandang bulu, kasih sayang disebar merata kepada setiap insan. Jugi Tapa lenyap ditelan waktu, namanya hanya tersisa sebagai dongeng pengantar tidur, menjadi pelajaran pahit tentang akibat dari keserakahan dan kebohongan yang tak bertepi.
Demikianlah kisah ini terukir abadi, wahai para pembaca setia. Bahwa lidah yang manis dan penuh muslihat bisa saja memikat untuk sesaat, namun hanya hati yang tulus, nurani yang bersih, dan tindakan yang benar yang akan menaklukkan dunia dan memenangkan ridha Ilahi.
Jagalah diri dari bisikan nafsu yang menyesatkan, karena kebenaran, meski terkadang terjal dan berliku jalannya, akan selalu menemukan jalannya menuju singgasana cahaya.
***Tamat***
Penulis adalah Pemimpin Redaksi Jurnal Aceh Edukasi dan Guru SMA Negeri 1 Lhokseumawe
0 Komentar