Oleh: Mukhlis, S.Pd., M.Pd.
Dalam lanskap komunikasi kontemporer, khususnya di ranah jurnalistik, wawancara tidak lagi sekadar sebuah teknik, melainkan sebuah ritual esensial yang menopang seluruh arsitektur produksi informasi.
Setiap kali seorang pewarta mengemban tugas untuk merangkai sebuah narasi berita, aktivitas wawancara selalu menjadi simpul utama yang menghubungkannya dengan narasumber sumber vital bagi setiap butir informasi.
Dari penyusunan berita langsung yang berkejaran dengan waktu, reportase investigatif yang menyelami kedalaman isu, hingga fitur humanis yang mengetuk empati pembaca, wawancara hadir sebagai benang merah yang tak terputuskan.
Keberadaannya bukan sekadar pilihan metodologis, melainkan sebuah prasyarat fundamental dalam ikhtiar menghadirkan informasi yang sahih, kontekstual, dan menyeluruh kepada khalayak ramai.
Baca Juga
Secara fundamental, tujuan hakiki dari kegiatan wawancara adalah untuk mengorek sebanyak mungkin informasi, sebuah upaya sistematis yang diarahkan untuk memperoleh respons yang tak hanya memiliki nilai kepentingan dan daya tarik, melainkan juga kedalaman, serta secara inheren, mampu menyentuh dimensi psikologis kemanusiaan.
Jurnaldi, sebagaimana dikutip oleh Ermanto (1992:69), pernah menggarisbawahi urgensi ini, menekankan bahwa esensi wawancara terletak pada kemampuannya menangkap nuansa-nuansa tersebut.
Lebih spesifik lagi, dalam bingkai jurnalistik, wawancara bermaksud menghimpun data dan fakta yang menjadi fondasi material berita.
Kumpulan data ini dapat bermanifestasi dalam beragam bentuk, mulai dari informasi objektif, opini yang bervariasi, pandangan ahli, wawasan baru yang mencerahkan, gagasan orisinal, motivasi tersembunyi, pemikiran progresif, ide-ide inovatif, tanggapan spontan, hingga kisah pengalaman personal yang kaya akan pelajaran (Koesworo, dkk., dalam Ermanto, 1994:99-100). Dengan demikian, wawancara melampaui sekadar pengejaran fakta; ia merambah ke domain emosional dan kognitif yang membentuk realitas manusia.
Baca Juga:
Bertolak dari pemahaman tersebut, dapat disimpulkan bahwa wawancara bukan hanya sebuah ritual keprofesionalan dalam domain jurnalistik, melainkan juga sebuah aktivitas universal dalam kehidupan sehari-hari ketika individu berhasrat untuk menguak informasi tertentu dari orang lain.
Pemahaman yang komprehensif mengenai wawancara menjadi sebuah keharusan yang mendasar, tidak hanya bagi mereka yang berkecimpung dalam profesi media, tetapi juga bagi para pelajar sebagai bekal dalam interaksi sosial dan akademik.
Wawancara, pada dasarnya, adalah sebuah instrumen komunikasi yang memungkinkan seseorang untuk mengakses informasi melalui dialog lisan yang terstruktur. Dalam dinamika ini, dua entitas memainkan peran yang berbeda: satu berperan sebagai pemburu informasi sang pewawancara, dan entitas lainnya sebagai penyedia informasi sang narasumber.
Dalam sebuah kajian terbaru, Smith dan Johnson (2022) dalam Journal of Communication Studies menyoroti bahwa efektivitas wawancara sangat bergantung pada kualitas interaksi non-verbal dan kemampuan pewawancara dalam membangun rapport.
Dalam pusaran komunikasi ini, pewawancara merumuskan pertanyaan-pertanyaan sedemikian rupa sehingga mampu memprovokasi narasumber untuk menyampaikan informasi atau jawaban.
Seringkali, informasi yang terkuak memiliki nilai strategis dan mungkin merupakan sesuatu yang tidak akan pernah terungkap di ruang publik. Jumlah pewawancara dapat bervariasi, mulai dari satu individu, sebuah tim kecil, hingga dalam konteks tertentu, melibatkan khalayak yang tak terbatas. Demikian pula, respons yang diberikan oleh narasumber dapat ditujukan kepada satu individu, sebuah kelompok audiens, atau bahkan masyarakat luas.
Sebuah fenomena menarik yang kerap diobservasi adalah bahwa semakin tenang dan kondusif suasana yang diciptakan bagi narasumber, semakin besar pula dampak komunikasi yang tercipta, yang pada gilirannya memfasilitasi aliran informasi yang lebih cair dan mendalam. Fenomena ini, menurut Lee dan Chen (2023) dalam International Journal of Interpersonal Communication , sangat berkaitan dengan konsep "psikologi kenyamanan" dalam interaksi verbal.
Sebagai sebuah entitas komunikasi, wawancara secara minimal melibatkan dua pihak: pewawancara dan narasumber. Suwito, mengacu pada Hasan Alwi (1983:32), pernah mengidentifikasi delapan komponen fundamental yang membentuk struktur wawancara, yang diakronimkan sebagai SPAKING :
Merujuk pada konteks spasial dan atmosfer yang melingkupi jalannya percakapan. Ini mencakup lokasi fisik wawancara misalnya, sebuah ruang diskusiserta suasana psikologis yang terbangun, seperti keintiman atau formalitas.
Mengacu pada semua individu yang terlibat aktif dalam proses wawancara, meliputi pewawancara sebagai pembicara, narasumber sebagai mitra bicara, dan, jika ada, para pendengar.
Merepresentasikan maksud dan sasaran spesifik yang ingin dicapai melalui pelaksanaan wawancara, baik dari perspektif pewawancara maupun narasumber.
Menggambarkan aksi atau performa komunikatif ketika seorang pembicara memanfaatkan gilirannya untuk menyampaikan pesan atau gagasan.
Meliputi spektrum nada suara, intonasi, serta pilihan register bahasa yang digunakan dalam penyampaian pendapat, sekaligus mencerminkan gaya atau cara presentasi gagasan.
Merujuk pada medium yang digunakan untuk menyalurkan pesan atau pendapat, apakah itu melalui komunikasi lisan langsung, tulisan, panggilan telepon, atau platform digital lainnya.
Mengacu pada seperangkat etiket, aturan main, atau konvensi sosial yang harus dipatuhi oleh setiap partisipan wawancara demi menjaga kelancaran dan efektivitas proses komunikasi.
Menunjukkan karakteristik spesifik dari kegiatan wawancara yang membedakannya dari bentuk-bentuk komunikasi lainnya, misalnya, apakah ia bersifat formal, informal, investigatif, atau terapeutik.
Klasifikasi wawancara juga dapat diperluas berdasarkan beberapa kriteria, memberikan panorama komprehensif mengenai beragam praktik dan fungsinya dalam berbagai domain.
Berdasarkan bentuknya, wawancara terbagi menjadi tiga jenis utama.
Pertama, Interview yang lazim dikenal dalam jurnalisme dan penelitian, merupakan dialog antara pewarta atau peneliti dengan individu tertentu, seperti pejabat publik atau pakar, dengan fokus pada penggalian informasi relevan.
Kedua, Konferensi Pers , yang seringkali merupakan pertemuan informatif yang diinisiasi oleh seorang pejabat atau lembaga pasca-acara penting, bertujuan menyampaikan informasi kepada banyak wartawan secara serentak.
Ketiga, Tanya Jawab Pengadilan (Interogasi) , sebuah bentuk dialog investigatif yang lebih formal antara petugas hukum dengan terdakwa atau saksi, dengan tujuan mengungkap kebenaran hukum.
Selanjutnya, berdasarkan sarana yang digunakan, wawancara dibagi menjadi beberapa kategori. Wawancara Telepon telah menjadi metode populer berkat efisiensinya dalam menghemat waktu dan kemampuannya menghubungkan pewawancara dengan narasumber yang sibuk. Namun, kekurangannya terletak pada absennya isyarat nonverbal, seperti ekspresi wajah dan bahasa tubuh narasumber, serta potensi narasumber untuk mengakhiri percakapan secara tiba-tiba.
Terakhir, Wawancara Tertulis , di mana pertanyaan diajukan dan dijawab dalam format tulisan, memberikan kesempatan bagi narasumber untuk menyusun respons dengan lebih cermat dan terperinci.
Adapun berdasarkan kesiapan pelaksanaannya, wawancara dapat dikategorikan menjadi dua jenis. Wawancara Mendesak atau Mendadak dilaksanakan dalam situasi yang tidak terencana atau kondisi darurat, seringkali di lokasi kejadian berita yang mendadak.
Sebaliknya, Wawancara Terencana adalah jenis wawancara yang telah dipersiapkan secara cermat oleh pewawancara. Proses perencanaannya meliputi kontak awal dengan narasumber untuk menentukan jadwal, lokasi, dan bahkan garis besar agenda wawancara, semua demi menjamin kelancaran dan efektivitas maksimal dari proses tersebut.
Penutup
Sebagai penutup, wawancara, dengan segala kompleksitas dan fleksibilitasnya, tetap menjadi pilar utama dalam membangun jembatan informasi dan pemahaman di tengah masyarakat modern.
Dari perannya yang krusial dalam kancah jurnalistik yang serba cepat hingga fungsinya yang subtil dalam interaksi personal, wawancara terus membuktikan dirinya sebagai instrumen tak tergantikan dalam usaha kita untuk memahami dunia dan sesama. Menguasai seni dan ilmu wawancara berarti menguasai kunci untuk membuka gerbang pengetahuan dan wawasan yang tak terbatas.
Penulis adalah Mahasiswa Program Doktoral Progarm Studi Islam UINSUNA dan Guru SMA N1 Lhokseumawe

0 Komentar