Oleh: Dinda Saputri
Indonesia, sebuah bangsa besar dengan segala potensi dan kekayaannya, terus dihadapkan pada bayang-bayang gelap yang tak kunjung sirna: korupsi.
Fenomena ini bukan sekadar catatan angka-angka kerugian negara, melainkan sebuah penyakit kronis yang mengikis kepercayaan publik, merusak sendi-sendi tata kelola pemerintahan yang bersih, dan pada akhirnya, menghambat laju kesejahteraan jutaan rakyatnya.
Di tengah riuhnya pembangunan dan kemajuan teknologi, angka-angka terbaru dari tahun 2025 kembali menyadarkan kita betapa akutnya permasalahan ini.
Bayangkan saja, dalam kurun waktu Januari hingga Juni 2025, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menerima lebih dari dua ribu aduan kasus korupsi—2.273 tepatnya. Dari ribuan aduan tersebut, penyalahgunaan wewenang menjadi primadona, mencatat 325 kasus sebagai bukti nyata bagaimana kekuasaan kerap disalahgunakan.
Bukan hanya itu, gaung korupsi seolah tak pernah padam dari pemberitaan. Pemantauan mendalam oleh NEXT Indonesia menunjukkan bahwa sepanjang awal 2025, media nasional sibuk memberitakan korupsi, dengan rata-rata lebih dari 390 berita setiap harinya. Ini adalah cermin betapa masalah ini menjadi santapan harian, mengisyaratkan sebuah kondisi darurat yang tak bisa lagi ditawar.
Lembaga penegak hukum memang tak tinggal diam. Sepanjang semester pertama tahun 2025, KPK melakukan 31 penyelidikan dan 43 penyidikan, menunjukkan aktivitas yang berkelanjutan dalam memerangi kejahatan ini.
Bahkan, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) berulang kali menegaskan pentingnya memperkuat upaya pencegahan. Semua data ini, dari aduan publik hingga langkah penindakan, seolah berteriak bahwa korupsi masih "hidup" dalam berbagai wujudnya: mulai dari lingkup terkecil di daerah hingga pusat kekuasaan, dari penyalahgunaan wewenang, hingga skandal penggelapan dana sosial dan penyelewengan kuota haji yang sensitif.
Baca Juga
Kondisi ini mengukuhkan satu hal: penegakan hukum saja tidak cukup, kita membutuhkan sebuah pencegahan sistemik yang merasuk hingga ke akar.
Jejak Kasus-Kasus Besar yang Mengguncang
Untuk memahami skala persoalan ini, beberapa kasus terbaru layak menjadi sorotan, memaparkan betapa korupsi di Indonesia telah mencapai titik yang mengkhawatirkan. Kita dikejutkan oleh penetapan dua anggota DPR periode 2019-2024, berinisial HG dan ST, sebagai tersangka dalam dugaan tindak pidana korupsi yang melibatkan gratifikasi dan pencucian uang.
Kasus ini terkait dengan pengelolaan dana bantuan sosial dari Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan antara tahun 2020-2023, di mana HG diduga menerima Rp15,86 miliar dan ST Rp12,52 miliar. Angka-angka ini bukan sekadar deretan digit, melainkan representasi dana yang seharusnya mengalir untuk kesejahteraan rakyat.
Tak berhenti di situ, skandal korupsi kuota haji tambahan tahun 2024 juga mencuat, menggemparkan publik. KPK berhasil menyita aset fantastis, termasuk USD1,6 juta (sekitar Rp26 miliar), empat unit mobil mewah, dan lima bidang tanah.
Kasus ini diduga melibatkan pengalihan kuota yang melanggar aturan, dengan potensi kerugian negara mencapai angka triliunan rupiah—Rp1 triliun. Bayangkan, dana yang seharusnya memastikan kelancaran ibadah suci justru dikorupsi.
Sektor energi pun tak luput dari bidikan. Sebuah kasus besar dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina (Persero) diduga merugikan negara hingga Rp285 triliun. Angka yang fantastis ini menunjukkan bahwa korupsi di Indonesia bukan lagi masalah kecil-kecilan, melainkan telah merambah ke tingkat tertinggi, melibatkan miliaran hingga triliunan rupiah, menyeret pihak-pihak teras, dan dampaknya merembet luas pada pelayanan publik serta pondasi pembangunan nasional.
Mengapa Korupsi Begitu Sulit Diberantas?
Pertanyaan besar kemudian muncul: mengapa korupsi terus-menerus terjadi? Jawabannya terletak pada kombinasi faktor struktural dan kultural yang saling berjalin. Kekuasaan yang terlampau besar tanpa diimbangi pengawasan yang memadai menjadi pintu gerbang utama.
Banyak kasus berawal dari penyalahgunaan wewenang oleh pejabat publik, diperparah oleh lemahnya pengawasan internal maupun eksternal. Fakta bahwa aduan terbanyak ke KPK adalah penyalahgunaan wewenang menegaskan hal ini.
Selain itu, kekaburan dalam tata kelola dan konflik kepentingan juga menjadi lahan subur bagi korupsi. Seringkali, fokus pemberantasan hanya tertuju pada kebocoran uang negara, namun mengabaikan konflik kepentingan yang menjadi akar masalahnya.
Sistem birokrasi yang rentan terhadap celah-celah administratif juga turut andil, meskipun upaya digitalisasi sistem keuangan negara terus digalakkan. Reformasi birokrasi menjadi sebuah keniscayaan yang harus terus diperjuangkan.
Di sisi lain, partisipasi masyarakat dan transparansi yang masih kurang juga menjadi benteng pertahanan yang lemah. Tanpa kontrol publik dan keterbukaan informasi yang memadai, korupsi dapat dengan mudah bersembunyi dan terus bersemi.
terakhir, meskipun para pelaku korupsi banyak yang ditangkap, sanksi yang dijatuhkan kerap dinilai belum cukup memberikan efek jera, terbukti dari skala kerugian dan frekuensi kasus yang terus meningkat.
Langkah-Langkah Pencegahan yang Sedang Berjalan
Meskipun tantangan begitu besar, Indonesia tidak menyerah. Berbagai strategi dan langkah pencegahan korupsi terus diupayakan. Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK) misalnya, meluncurkan 15 aksi pencegahan korupsi untuk periode 2025-2026, yang berfokus pada tiga pilar utama: perizinan & tata niaga, keuangan negara, serta penegakan hukum dan reformasi birokrasi. Ini adalah upaya untuk mendorong perubahan sistemik, tidak hanya sekadar penindakan.
Penguatan sistem juga dilakukan di tingkat daerah. Di DKI Jakarta, KPK mendorong penggunaan sistem IPKD MCSP (Indeks Pencegahan Korupsi Daerah – Monitoring Controls Surveillance for Prevention) untuk memperkuat tata kelola pemerintahan lokal. Ini menunjukkan bahwa pencegahan harus dilakukan secara merata, tidak hanya di pusat. Peningkatan transparansi dan pelaporan juga menjadi fokus, terbukti dari ribuan aduan publik yang diterima dan diverifikasi KPK, menandakan peran aktif masyarakat dalam pengawasan.
Pendidikan antikorupsi dan orientasi kepemimpinan juga mulai digalakkan. Kejaksaan Republik Indonesia memberikan orientasi kepemimpinan tentang pencegahan korupsi kepada kepala daerah dan wakilnya di Akademi Militer Magelang, sebuah langkah untuk mengubah kultur birokrasi dari hulu.
Terakhir, upaya pemulihan aset dan kerugian negara juga menjadi bagian integral dari pencegahan. Desk Koordinasi Pencegahan Korupsi, misalnya, berhasil menyelamatkan sekitar Rp6,7 triliun hanya dalam tiga bulan, menegaskan bahwa pencegahan juga berarti mengamankan uang dan aset negara yang terancam hilang.
Menuju Indonesia yang Bersih: Rekomendasi untuk Masa Depan
Melihat kondisi yang ada dan berbagai upaya yang telah dilakukan, ada beberapa rekomendasi yang dapat diperkuat oleh semua pihak—pemerintah, lembaga pengawas, hingga masyarakat.
Pertama, penguatan integritas pejabat publik adalah kunci. Ini dapat dilakukan melalui proses seleksi yang ketat, rotasi jabatan yang berkala, pengamanan aset yang transparan, serta pemantauan rutin terhadap pejabat dan keluarganya. Kedua, digitalisasi dan transparansi keuangan publik harus menjadi prioritas. Semua aliran dana publik harus tercatat secara digital, mudah diaudit, dan terbuka untuk diakses oleh publik.
Ketiga, partisipasi aktif masyarakat dan media harus terus didorong. Masyarakat perlu diberdayakan untuk berani melapor, memantau, dan memanfaatkan data terbuka. Media juga memiliki peran krusial dalam mengangkat kasus-kasus korupsi agar tidak tersembunyi. Keempat, pencegahan di level daerah harus diperkuat. Mengingat korupsi sering muncul di pemerintahan lokal dan proyek infrastruktur, mekanisme pengawasan lokal dan sistem antikorupsi daerah harus diperketat.
Kelima, penegakan hukum harus adil dan konsisten. Tindak pidana korupsi harus diproses secara cepat dan transparan, dengan sanksi yang memberikan efek jera nyata. Pemulihan aset juga harus menjadi bagian rutin dari setiap penegakan. Terakhir, reformasi birokrasi dan kultur organisasi menjadi pondasi. Membangun budaya integritas dalam pemerintahan melalui pelatihan etika kerja, serta sistem reward-and-punishment yang jelas, akan menumbuhkan lingkungan yang bebas korupsi.
Sebuah Panggilan Moral untuk Indonesia Bersih
Pemberantasan korupsi di Indonesia adalah sebuah perjuangan panjang yang menuntut komitmen tak tergoyahkan dari seluruh elemen bangsa. Kasus-kasus yang terus terungkap hingga tahun 2025 adalah pengingat pahit bahwa masalah ini belum tuntas, bahkan cenderung berevolusi dalam bentuk yang semakin kompleks. Namun, langkah-langkah pencegahan yang digalakkan melalui Stranas PK, digitalisasi birokrasi, dan keterlibatan masyarakat, adalah sinyal harapan bahwa Indonesia tidak akan tinggal diam.
Keberhasilan dalam perang melawan korupsi tidak semata-mata diukur dari berapa banyak pelaku yang dijebloskan ke penjara, melainkan dari kemampuan kita untuk menciptakan sebuah sistem yang kokoh, yang secara fundamental menutup setiap celah bagi penyimpangan. Dengan memperkuat transparansi, akuntabilitas, dan integritas di setiap lini pemerintahan, serta menumbuhkan budaya antikorupsi yang kuat di tengah masyarakat, kita bisa melangkah menuju pemerintahan yang bersih dan berkeadilan.
Pada akhirnya, pencegahan korupsi bukanlah beban yang hanya diemban oleh lembaga hukum semata. Ini adalah panggilan moral bagi setiap warga negara untuk menjaga kejujuran, menolak suap, dan berani menyuarakan kebenaran melawan setiap bentuk penyimpangan. Jika kesadaran kolektif ini dapat tumbuh dan mengakar kuat, maka cita-cita Indonesia yang bersih dari korupsi bukanlah sekadar impian yang jauh, melainkan sebuah kenyataan yang dapat kita wujudkan bersama.
Penulis adalah Mahasiswa Psikologi Universitas Muhammadiyah Kalimantan Timur
0 Komentar