Oleh: Mukhlis, S.Pd., M.Pd.
Tulisan ini terinspirasi dari mata kuliah Teori Agama dan Sosial yang diasuh oleh Prof Dr Nirzalin, M.Si , seorang Guru Besar Sosiologi Universitas Malikussaleh (Unimal) yang mengajar pada Program Studi Islam Tingkat Doktoral Universitas Islam Negeri Sultanah Nahrasiyah Lhokseumawe.
Sebelum tulisan ini bergulir lebih jauh dan meliuk-liuk pada persimpangan pikiran pembaca melewati halaman satu dan dua, serta untuk tidak menimbulkan konfrontasi pemikiran, sebaiknya sebagai penulis yang baik dan bijak, saya perlu melakukan discliamer terhadap judul dari tulisan ini.
Baca Juga
Tulisan ini tidak hendak mengupas bagaimana proses masuknya Islam ke Aceh dan Tanah Jawa yang masih menjadi isu krusial pada tingkat akademik. Namun, di sini penulis akan mengulas bagaimana perkembangan Islam setelah menempatkan dirinya di dua pulau berbeda tersebut.
Dilihat dari makna yang muncul secara kontekstual dari judul tersebut, seolah-olah Islam lebih dahulu datang ke Tanah Jawa. Ini dimunculkan karena kata "Jawanisasi" lebih dahulu muncul daripada "Islamisasi". Padahal, tidak bisa dimungkiri sejarah peradaban Aceh telah memberikan arah jelas bahwa Islam pertama sekali masuk ke Asia Tenggara adalah melalui Serambi Mekah dengan dua tempat berbeda, yaitu Perlak dan Samudera Pasai.
Kedua tempat tersebut juga mempunyai perbedaan aliran sehingga mendapat pertentangan dari pihak kerajaan pada waktu itu. Adanya perpaduan dua aliran yang memadukan kehidupan masyarakat Islam waktu itu adalah aliran Syiah dan Sunni. Ada juga pihak yang terlalu ekstrem menyebutkan bahwa Islam yang masuk lewat Perlak adalah Islam Syiah. Ini menjadi perdebatan yang luar biasa di tengah para peneliti dan penulis sejarah.
Akan tetapi, semua peristiwa panjang tersebut tetap ada dokumentasi legal yang tertulis dalam sejarah peradaban Islam di Serambi Mekah. Pada dasarnya, sejarah adalah rekonstruksi peristiwa masa lalu yang ditulis secara runtut dan dibuktikan dengan berbagai dokumentasi ataupun peninggalan dalam bentuk benda atau apa saja yang bisa dirujuk sebagai bukti.
Agar permasalahan tidak berputar pada sumbu yang sama dari tulisan ini, penulis akan membagi badan tulisan ini pada dua bagian, yaitu Islamisasi Aceh dan Jawanisasi Islam.
1. Islamisasi Aceh
Sebelum masuknya Islam ke Aceh, masyarakat Aceh menganut kepercayaan lokal dan sistem kepercayaan yang beragam. Pengaruh dagang dari India dan Tiongkok membawa masuk agama Hindu dan Buddha, sehingga kemungkinan ada penganut agama-agama ini di wilayah tersebut.
Konsep ini menunjukkan bahwa sebelum Islam datang, masyarakat Aceh sudah punya kepercayaan terhadap Tuhan. Kepercayaan terhadap Tuhan pada waktu itu masih bersifat animisme dan ateisme. Mereka dipengaruhi oleh pedagang-pedagang yang datang dari India. Pedagang-pedagang India pada waktu itu tentunya beragama Hindu dan Buddha. Sementara itu, mungkin masyarakat Aceh masih menganut sistem animisme.
Pengaruh kedua agama tersebut sangat kuat di Asia Tenggara pada waktu itu, hal ini dibuktikan dengan perkembangan agama Hindu dan Buddha di Myanmar, Kamboja, dan Thailand. Sementara itu, di Nusantara, khususnya di Pulau Jawa, juga demikian adanya, mereka masih menganggap pohon-pohon besar dan binatang-binatang tertentu sebagai penolong.
Nah, Islam baru masuk ke Aceh pada abad ke-7 Masehi melalui para pedagang Arab dan Gujarat. Perkembangan yang lebih signifikan terlihat pada abad ke-13 dan ke-14 Masehi dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam seperti Samudera Pasai.
Pada abad ke-7 Masehi, kedatangan Islam pertama kali terjadi melalui jalur perdagangan maritim. Para pedagang Muslim dari Arab dan Gujarat singgah di pelabuhan-pelabuhan Aceh seperti Perlak, Lamuri, dan Samudera.
Ketika Islam menjejakkan kaki di tanah endatu ini, seluruh masyarakat Aceh berada dalam agama yang beragam dan hidup secara berdampingan. Sebelum Islam masuk, amaliah masyarakat Aceh dipenuhi oleh unsur-unsur budaya yang terpaut dengan agama sebelumnya yang berbau Hindu, Buddha, dan bahkan animisme. Ketika agama Islam diterima oleh masyarakat Aceh, waktu itu mereka belum bisa membedakan mana adat yang masih berbaur dengan agama sebelumnya yang berbau Hindu-Buddha dan bahkan animisme.
Islam datang dengan segala konsep yang berterima dan diterima oleh semua kalangan serta bersifat rahmatan lil alamin. Konsep ini mampu menyatukan yang beragam dalam satu keseragaman Islam.
Lalu, setelah Islam sudah punya fondasi yang kuat dan kokoh, tugas para ulama waktu itu adalah mengislamkan Aceh secara kaffah. Artinya, islamisasi ini dimulai dari perbuatan-perbuatan masyarakat Aceh yang berbau syirik. Hal ini dapat dilihat pada penyembahan pada pohon-pohon besar yang dianggap sebagai tempat berpenghuni gaib, misalnya ada saja sesajen yang ditempatkan pada pohon atau laut yang dianggap sebagai tempat-tempat keramat.
Selain itu, Islam yang masuk ke Aceh waktu itu, walaupun terjadi pada dua wilayah yang berbeda, akan tetapi kedua tempat tersebut sama-sama dibawa oleh pedagang Gujarat dari Arab. Mereka masuk melalui pelabuhan-pelabuhan Aceh yang luar biasa banyak, karena Aceh merupakan wilayah pesisir.
Seiring waktu berkembang, jarak terus dilipat, orang-orang Aceh mulai berbenah dengan amaliah baru yang didapatkan dari agama samawi dalam bentuk Al-Qur'an dan Hadis membuat masyarakat Aceh mulai beradab dan berkembang seiring perkembangan zaman. Semua budaya mitos dan takhayul pelan-pelan mulai terkikis.
Tidak terasa, pelan-pelan mulai muncul budaya-budaya Arab dalam kehidupan masyarakat Aceh. Hal ini terinspirasi dari pemahaman tentang bagaimana menganut agama Islam sesungguhnya. Mereka beranggapan semua yang berbau Arab itu Islam. Ini pun menjadi kendala dan hambatan bagi ulama Aceh dalam memisahkan mana budaya Arab yang sudah bercampur dengan agama.
Sementara itu, tidak semua budaya masyarakat lama bisa diislamkan oleh ulama-ulama besar pada waktu itu. Agar tidak kelihatan tampak budaya luar, maka mereka memberikan syair-syair yang bernuansa Islami atau doa-doa Islam dinaturalisasi dengan budaya. Hal ini ditempuh sejauh budaya tersebut tidak bertentangan secara frontal dengan akidah umat Islam.
Zaman terus berkembang sampai hari ini, islamisasi Aceh terus dilakukan dengan berbagai cara oleh berbagai organisasi Islam yang ada di Aceh. Inilah yang membedakan Islam di Aceh dengan di Tanah Jawa. Setelah Aceh diislamkan, lalu diseragamkan dalam satu aliran Sunni yang kuat dan diamalkan secara radikal sehingga sampai hari ini Aceh dikenal sebagai Serambi Mekah. Ini bukan sekadar gelar gagahan, akan tetapi sebuah perjuangan panjang para ulama-ulama besar di Aceh dalam membentuk dan menyiarkan agama Islam secara kaffah di Aceh.
Pada abad ke-13, Aceh mengalami perkembangan yang luar biasa, bangkit dari keterpurukan, merajai dunia sampai ke Turki Usmani dan memperluas daerah penyiaran agama Islam sampai ke Negeri Pahang, Malaysia.
Bukan hanya itu, seluruh wilayah Nusantara ini, terutama ke Tanah Jawa, Islam diantarkan secara lembut oleh orang-orang suci dari Tanah Aceh. Sebagai penguat dari tulisan ini berkaitan dengan Islamisasi Aceh, terdapat dua adat yang begitu kental dalam masyarakat Aceh, yaitu adat tunah dan adatullah.
Adattunah adalah adat atau kebiasaan masyarakat Aceh yang berhubungan dengan kehidupan bermasyarakat yang bertujuan mempererat kebersamaan selama hidup dan bersumber dari kebiasaan lama yang tidak bertentangan dengan akidah. Hal ini bisa dilihat dalam bentuk kenduri yang sering dilakukan masyarakat Aceh. Melihat begitu banyak kegiatan kenduri yang dilakukan masyarakat Aceh, hampir bisa dipastikan bahwa Aceh layak diberi gelar tambahan sebagai, "Negeri Kenduri."
Sedangkan yang kedua adalah Adattullah yang menjadi kebiasaan masyarakat Aceh namun bersumber dari Allah dan hadis Rasulullah. Ini bisa dilihat dari segi amaliah masyarakat Aceh, misalnya setiap hari pelaksanaan Jumat semua kegiatan dihentikan, semua warung dan tempat usaha mencari rezeki ditutup sejenak. Para kaum laki-laki diwajibkan pergi menunaikan ibadah Jumat. Bidang lain pun bisa dicermati pada bulan puasa, setiap usaha dagang yang berkaitan dengan makan minum wajib ditutup pada siang hari untuk menghormati orang-orang Islam berpuasa.
2. Jawanisasi Islam
Jawanisasi Islam akan berbeda konteksnya dengan Islamisasi Aceh. Dalam konteks Aceh, sebelum Islam masuk, masyarakat Aceh sudah ada agama tapi masih belum ada agama yang mendominasi. Intinya mereka masih banyak memuja pohon dan laut serta benda-benda yang dianggap memberikan hidayah. Di samping sudah ada sedikit yang beragama Hindu, itu pun dibawa oleh pedagang India.
Sementara untuk Tanah Jawa sendiri, mereka sudah menganut agama Hindu dengan begitu kental dengan kerajaan-kerajaan yang besar. Bahkan dalam satu teori disebutkan bahwa "Orang Jawa adalah manusia tertua di Asia Tenggara." Merujuk pada teori tersebut, sangat benar bahwa sebelum Islam masuk ke Tanah Jawa, Hindu sudah terlebih dahulu hidup berkuasa. Kerajaannya begitu banyak seperti Majapahit.
Islam masuk ke Jawa melalui jalur perdagangan, terutama oleh para pedagang dari Arab, Gujarat, dan Persia yang kemudian menikah dengan penduduk lokal, serta melalui dakwah yang dilakukan oleh para wali (Wali Songo) yang menyebarkan ajaran dengan cara pendekatan sosial budaya, seperti kesenian, pendidikan, dan bahkan politik.
Salah satu cara yang ditempuh para ulama untuk mempermudah masuknya Islam di Tanah Jawa adalah melalui budaya dan tradisi. Para ulama tetap mempertahankan tradisi dan ritual Hindu-Buddha yang dianut masyarakat Jawa, tetapi mengganti isinya dengan nilai-nilai Islam.
Agar Islam diterima di tengah agama Hindu dan Buddha yang begitu kental dan banyak di Asia Tenggara, para sunan yang umumnya berasal dari Aceh. Mereka memanfaatkan budaya-budaya Jawa seperti wayang dijadikan media sebagai dakwah dalam menyampaikan agama Islam. Artinya, lagu dan syair yang ada dalam bentuk aslinya diganti yang bernuansa Islami.
Bagi mereka yang penting adat dan budaya mereka yang berbau Hindu dan Buddha tidak dihilangkan tapi sudah berbau Islami. Ini unik untuk dimaknai bahwa agama Islam di Jawa waktu itu adalah perpaduan antara budaya Hindu dan Buddha namun bernuansa Islami.
Setiap amaliah yang ada dalam Islam tetap dicampur dengan unsur budaya Jawa. Ini ditempuh agar tidak tampak kentara dan tidak terasa bahwa masyarakat Jawa sudah menganut agama Islam. Pada saat itu, sebenarnya hanya berfungsi sebagai media agar Islam lebih mudah ditransfer dalam masyarakat Jawa. Ini berbanding terbalik dengan kondisi keagamaan di Aceh hari ini. Di Aceh, masyarakatnya sudah bisa membedakan mana sebenarnya agama dan budaya, sedangkan masyarakat Jawa tidak bisa membedakan mana sebenarnya agama dan budaya.
Dalam kehidupan masyarakat Jawa hari ini, muncul berbagai peringatan keagamaan yang bernuansa adat dan budaya masyarakatnya. Anehnya, para ulama yang ada di sana menganggap ini sebagai agama mereka yang betul bahkan muncul agama Nusantara. Intinya, mereka tidak mau adat budaya mereka terganggu oleh agama. Bahkan mereka mengusulkan agar cara baca Al-Qur'an, azan, salat dalam Islam harus menggunakan bahasa Jawa.
Konten dan penjelasan di atas memberikan sebuah posisi bahwa Islamisasi Aceh dan Jawanisasi Islam berada pada dua kutub pemahaman Islam masuk ke dua daerah tersebut. Masing-masing versi di atas punya cara dan keunikan sendiri.
Simpulan
Perbedaan pendekatan dalam Islamisasi Aceh dan Jawanisasi Islam mencerminkan adaptasi yang cerdas terhadap konteks lokal masing-masing. Di Aceh, proses islamisasi cenderung lebih menyeluruh dan bersifat 'kaffah', menekankan pemurnian akidah dari unsur-unsur pra-Islam, yang kemudian membentuk identitas Aceh sebagai Serambi Mekah dengan syariat Islam yang kuat dan kental.
Sementara itu, di Jawa, Islamisasi dilakukan melalui jalur akulturasi budaya, di mana nilai-nilai Islam diintegrasikan ke dalam tradisi lokal yang sudah ada, menghasilkan corak Islam yang lebih luwes dan menyatu dengan budaya Jawa, meskipun terkadang sulit membedakan antara ajaran agama dan warisan budaya.
Pada akhirnya, keragaman cara masuknya Islam ke Nusantara, baik melalui purifikasi di Aceh maupun akulturasi di Jawa, adalah cerminan kekayaan sejarah dan fleksibilitas ajaran Islam itu sendiri dalam berinteraksi dengan peradaban lokal. Kedua model ini telah membentuk lanskap keagamaan dan kebudayaan Indonesia yang majemuk hingga kini, menunjukkan bahwa ada banyak jalan menuju pemahaman dan pengamalan ajaran agama, sesuai dengan kearifan lokal dan konteks masyarakatnya.
Penulis adalah Mahasiswa Doktoral Program Stidi Islam UINSUNA dan Guru SMA Negeri 1 Lhokseumawe
0 Komentar