Langkah Nyata Kaum Muda Aceh Mengikis Bullying Menyongsong Prestasi

 

Foto: Dokumen  Pribadi

Oleh: Barda Shafia

Bumi Serambi Mekkah yang menjunjung tinggi nilai-nilai filosofis "Adat bak Poteumeureuhom Hukôm bak Syiah Kuala," seharusnya menjadi mercusuar moral dan benteng terakhir bagi martabat. Namun, di balik keindahan budaya dan keteguhan syariat, sebuah kontradiksi tragis mencuat: kasus perundungan (bullying) telah menjelma menjadi "epidemik senyap" yang mengancam tunas-tunas Generasi Emas Aceh

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) maupun lembaga lokal secara konsisten mencatat tingginya laporan kekerasan terhadap anak, termasuk bullying, yang terjadi baik di sekolah, dayah, maupun di ruang digital.

Kenyataan pahit ini terukir jelas dalam angka. Data Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Pelindungan Anak Aceh (DPPPA) mencatat ribuan kasus kekerasan anak dalam tiga tahun terakhir, menegaskan urgensi masalah ini di tingkat provinsi. Lebih spesifik, temuan jurnal ilmiah 
Peuradeun (2021) menunjukkan bahwa 46,9% remaja Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Banda Aceh melaporkan diri pernah menjadi korban bullying

Media massa lokal berulang kali menyoroti insiden tragis—mulai dari kekerasan fisik yang berujung fatal di lingkungan pendidikan, hingga Cyberbullying yang menghancurkan kesehatan mental remaja. Peningkatan kasus kekerasan terhadap anak secara umum, bahkan yang terjadi hingga September 2025, kian menunjukkan tren yang berkelanjutan. 

Insiden yang sempat viral di Pidie Jaya bersumber dari TikTok beberapa waktu silam menjadi bukti nyata. Dalam video berdurasi singkat itu, terekam seorang siswa SMP dibully secara verbal dan fisik oleh teman sebayanya. Lebih dari sekadar insiden tunggal, pola pemerasan yang dilakukan oleh kakak kelas terhadap adik kelas, yang seringkali disertai dengan bullying fisik, telah menjadi luka terbuka di banyak lembaga pendidikan.

Tindakan perundungan ini jelas menghambat perkembangan potensi generasi muda Aceh. Padahal, generasi muda Aceh memiliki semangat yang besar untuk bangkit setelah konflik dan bencana. Namun, semangat itu terancam padam jika mereka terus hidup dalam bayang-bayang intimidasi dan kekerasan. 

Bullying jelas bertentangan dengan nilai-nilai Keacehan yang menjunjung tinggi persaudaraan, akhlaq mulia, dan saling menghormati. Oleh karena itu, kaum muda Aceh tidak boleh hanya diam. Mereka harus menjadi garda terdepan dalam melawan bullying. Esai ini akan mengupas tuntas dan merumuskan peran strategis generasi muda dalam mengikis budaya bullying, demi menciptakan lingkungan yang kondusif bagi terwujudnya Generasi Emas Aceh yang berprestasi gemilang.

1. Membongkar "Penyakit Senyap"

Aceh, yang menyandang predikat Serambi Mekkah, memiliki filosofi hidup yang kokoh berlandaskan pada nilai-nilai agama dan adat istiadat, dengan semboyan teguh "Hana Gadoh Adat Ngon Agama" (Tidak Hilang Adat dan Agama). Namun, realitas peningkatan kasus bullying menunjukkan adanya kontradiksi tragis: kegagalan dalam menerjemahkan idealita spiritual menjadi etika sosial. Kekerasan, baik secara fisik maupun psikologis, telah menjadi "penyakit senyap" yang menggerogoti mental dan kepercayaan diri generasi muda Aceh, yang seharusnya menjadi pewaris budaya dan tradisi. 

Mirisnya, meskipun KPAI mencatat peningkatan kasus, masalah ini memiliki dimensi unik karena faktor budaya dan sistem pengawasan lokal. Data dari DPPPA menunjukkan bahwa kasus kekerasan berbasis relasi sebaya, terutama di lingkungan sekolah dan pesantren, menempati porsi yang cukup tinggi. 

Hal ini mengindikasikan bahwa sistem pengawasan moral tradisional yang seharusnya menjadi benteng pertahanan, kini mulai melemah di hadapan tekanan psikososial remaja modern. Penelitian juga menyoroti bahwa remaja Aceh rentan mengalami trauma psikososial akibat  bullying, yang secara langsung dapat menyebabkan gangguan belajar dan isolasi sosial.

Akar masalah bullying di Aceh tidak hanya berasal dari faktor psikologis individu, tetapi juga dari budaya diam dan pemakluman terhadap perilaku agresif yang seringkali dianggap sebagai "candaan" yang keliru. UNICEF juga menemukan bahwa kurangnya pengawasan dan penegakan aturan yang tegas di sekolah dan keluarga menjadi faktor pemicu utama. 

Bentuk-bentuk bullying yang paling merusak merentang dari intimidasi verbal yang merendahkan dan meninggalkan luka psikologis mendalam, hingga Cyberbullying yang menggunakan kekuatan digital untuk menyebarkan ujaran kebencian atau mempermalukan seseorang.

Bahkan mencapai kekerasan fisik yang paling mudah terekam dan menjadi viral. Bullying adalah penghalang fundamental bagi terwujudnya Generasi Emas Aceh 2045. Generasi yang tumbuh dalam ketakutan dan intimidasi mustahil menjadi pemimpin yang inovatif dan berkarakter. Oleh karena itu, kaum muda Aceh harus berani bertindak sebagai Agen Perubahan untuk menciptakan lingkungan yang aman dan beradab.

2. Saatnya Bertindak Nyata,  Strategi Garda Muda

Kaum muda Aceh memiliki potensi besar untuk menjadi motor penggerak perubahan sosial. Dengan semangat kebersamaan dan pemahaman agama yang mendalam, mereka memiliki modal sosial yang kuat jaringan persaudaraan Islam yang dapat menjadi landasan moral untuk menolak segala bentuk penindasan. Mereka harus merumuskan strategi yang efektif untuk tidak hanya mencegah bullying, tetapi juga memberikan edukasi proaktif kepada teman sebaya.

Langkah pertama adalah membentuk benteng pertahanan di dalam lingkungan terdekat, yaitu dengan mengaktifkan "Jaringan Duta Anti-Bullying" di setiap sekolah dan komunitas. Para duta ini harus dilatih secara khusus untuk memahami psikologi remaja, mengembangkan keterampilan komunikasi empatik, dan yang terpenting, mendeteksi dini potensi bullying, sehingga mereka dapat berfungsi sebagai jembatan moral antara siswa dan pihak berwenang. 

Modal utama ini harus diperkuat dengan memanfaatkan kekuatan media sosial dan platform digital lainnya untuk menggaungkan narasi perlawanan digital. Kaum muda perlu menyebarkan pesan anti-bullying dengan cara yang kreatif, menarik, dan relevan, misalnya melalui video pendek atau podcast yang secara cerdas mengangkat isu bullying serta dampaknya.

Lebih jauh, mereka perlu mewujudkan ruang aman (safe space) secara virtual dan fisik di mana korban bullying dapat berbagi pengalaman, mendapatkan dukungan psikologis, dan melaporkan kejadian tanpa rasa takut akan pembalasan. 

Inisiatif lokal yang berhasil, seperti aplikasi pelapor tindak perundungan di beberapa sekolah di Lhokseumawe, harus diadaptasi dan diperluas skalanya untuk menciptakan sistem pelaporan yang kredibel dan tersembunyi. Akhirnya, kaum muda harus mendorong perubahan dalam tata cara penyelesaian konflik di lingkungan pendidikan, yaitu dengan menekankan penerapan pendekatan keadilan restoratif (restorative justice).

Pendekatan ini mengedepankan dialog, mediasi, dan pemulihan, alih-alih penghukuman murni, dengan tujuan mencari solusi yang adil, membangun kembali hubungan yang rusak antara korban dan pelaku, serta menanamkan rasa tanggung jawab. 

Jika gerakan ini diinternalisasi dan didukung penuh, hasilnya adalah penurunan drastis kasus bullying dan peningkatan rasa aman di lingkungan pendidikan, yang membuat siswa merasa lebih nyaman, termotivasi untuk belajar, dan sekolah bertransformasi menjadi tempat yang mendukung pertumbuhan karakter positif.

Simpulan

Mewujudkan visi masa depan yang gemilang ini membutuhkan kerja sama sinergis dari semua pihak. Aceh harus menjadi model bagi daerah lain dalam mewujudkan generasi yang berakhlak mulia, peduli terhadap sesama, dan bebas dari bullying sebuah manifestasi nyata dari nilai-nilai keislaman dan keacehan

Investasi dalam melawan bullying bukan hanya tentang anggaran, melainkan tentang penanaman martabat. Dengan keberanian kaum muda sebagai garda terdepan, Aceh dapat kembali menjadi "Serambi Mekkah" yang sesungguhnya benteng moral, pusat peradaban, dan lahan subur bagi Generasi Emas yang bebas dari bayang-bayang intimidasi, siap menjemput prestasi yang gemilang di bawah naungan "Hukôm bak Syiah Kuala."

Penulis adalah   Siswa SMA Negeri 1 Kota Lhokseumawe



Berita Terkait

Posting Komentar

0 Komentar