Foto: Pixabay
Oleh: Muklis Puna
Sebentar ceria, hanya sekejap mata,
Lalu ia hadir, menjelma raga.
Perih dan lirih, kini sulit kubedakan
Lalu ia hadir, menjelma raga.
Perih dan lirih, kini sulit kubedakan
Tuhanku...
Sentilan-Mu menggelegar dahsyat,
Setiap malam kugembala gelap-Mu,
Setiap lirih pedih, menusuk kalbu,
Sentilan-Mu menggelegar dahsyat,
Setiap malam kugembala gelap-Mu,
Setiap lirih pedih, menusuk kalbu,
tak pernah luput.
Baca Juga
Penawar luka, kini terinjak kaki yang lalu,
Berserak di jalan setapak, kehilangan makna semu.
Terkadang kupungut serpihan rasa, meluah di jiwa,
Berserak di jalan setapak, kehilangan makna semu.
Terkadang kupungut serpihan rasa, meluah di jiwa,
Kupapah coba-Mu, dalam suka yang samar rupa.
Pada sepi, kusembunyikan diri yang rapuh ini,
Pada ruang sempit, kuintip takdir yang menguji.
Pada sepi, kusembunyikan diri yang rapuh ini,
Pada ruang sempit, kuintip takdir yang menguji.
Baca Juga
Apakah daun sakral atas namaku,
masih merekat erat?
Ataukah ditiup angin kemarin pagi,
Ataukah ditiup angin kemarin pagi,
menghilang tanpa jejak?
Ataukah getah kehidupan, telah berpisah, mengering lekat?
Kini melangkah, menapaki napas yang semakin berat,
Kini melangkah, menapaki napas yang semakin berat,
Pada rongga-rongga jiwa, melemah, teramat sangat.
Banda Aceh, 7 September 2025
.
0 Komentar