Peluh dan Puncak, Jejak Keberhasilan Sebuah Pilihan Hati

 Foto: Dokumen  Pribadi

Oleh: Aurel Tri Hapsari

"Hanya karena keputusan itu menyakitkan, bukan berarti itu keputusan yang salah." Begitulah bunyi pepatah yang kini terasa paling dekat di dadaku.

Tak pernah kusangka, langkah kakiku yang sempat ragu bisa membawaku sejauh ini, menjadi bagian dari Paskibraka. 

Dulu, itu hanyalah sepotong angan yang kutanam diam-diam di antara ragu dan harap. Kini ia tumbuh, meski perlahan, dan menjelma nyata.

Ini kisahku. Sekarang, Aku duduk di kelas X. Aku dihadapkan dengan masalah yang mendesak diriku untuk membuat keputusan besar di usia yang baru 15 tahun. Masalah yang tak pernah sedikit pun terlintas di benakku, kini menghantuiku.

Aku menjalani hariku seperti biasa. Memulai pagi dengan rutinitas yang sama seperti pelajar lainnya, yaitu bangun tidur, mandi, salat, sarapan, dan berangkat ke sekolah. Ya, tidak ada yang spesial dalam hari-hariku.

Di sekolah, Aku mengikuti dua ekstrakurikuler, yaitu OSN dan Paskibraka. Awalnya, aku merasa bahwa aku bisa menjalani keduanya berbarengan. 

Sampai di suatu hari aku mendengar sebuah pertanyaan dari guru pembimbingku. Pertanyaan yang mulanya hanya kuanggap bagai angin lalu, kini menjadi bumerang dalam hidupku.

" PASKIBRAKA atau OSN?" Sebuah pertanyaan sederhana di mata banyak orang, namun bagiku, ia menjelma bagaikan cambuk yang mencabik ketenangan jiwaku. Bukan sekadar pilihan, ini adalah persimpangan yang menuntut pengorbanan.

Di satu sisi, Paskibraka adalah mimpi yang menjulang setinggi langit. Bayangan diriku berdiri gagah mengawal Sang Merah Putih, menjadi bagian dari sejarah yang hidup dalam tiap detak kemerdekaan. 

Tapi di sisi lain, OSN adalah nyala cahaya dari bara kecil yang kupelihara sejak lama. Sebuah bukti bahwa tekad dan kecintaan pada ilmu mampu menerobos batas.

Dua jalan bercahaya yang tak saling sejajar. Memilih satu berarti membiarkan yang lain tenggelam, seperti melupakan satu sisi dari diriku sendiri. Sulit, ini sungguh sulit.

Malam-malamku kini berubah menjadi arena perdebatan sunyi. Di balik tirai jendela kamar yang setengah terbuka, bulan seolah ikut menatapku pilu, menjadi saksi bisu dari gelisah yang tak kunjung reda. 

Ibu selalu berkata, "Pilihlah dengan hati," tapi bagaimana bisa hatiku memilih? Aku sudah terlanjur mencintai keduanya.

Sesaat terlintas di pikiranku untuk tetap nekat mengikuti keduanya, tetapi fakta menamparku. Guru pembimbingku tidak ingin fokusku terpecah. 

Terbayang sejenak raut wajah pembimbingku, dengan sorot matanya yang penuh harap seolah berkata, "Kamu harus memilih OSN, jalanmu sudah sejauh ini, sayang untuk kamu campakkan."

Aku seolah tersadar. Kata-katanya menggema di kepalaku, bersaing dengan suara hatiku yang mulai goyah. Rasanya seperti berdiri di tepi jurang pilihan, sementara keraguan terus mendorongku ke satu sisi. 

Tak ada tempat untuk berlindung, tak ada celah untuk bersembunyi dari kenyataan, aku harus memilih. Dan memilih berarti mengikhlaskan.

Mengingat tentang perjalananku, waktuku, dan tenaga yang telah kukorbankan, aku membulatkan tekadku. Kali ini, aku yakin dengan pilihanku, aku memilih PASKIBRAKA.

Bukan karena aku tak mampu di jalur lain, bukan pula karena aku menyerah. Justru sebaliknya, aku telah mengerahkan segalanya. 

Aku sudah menyusuri lorong-lorong waktu dengan buku-buku olimpiade di tanganku, bergelut dengan rumus, teori, dan keraguan.

Aku telah mencicipi getirnya latihan keras, terik matahari yang membakar kulit, dan bentakan pelatih yang merobek diam. Aku menjajal keduanya, menahan lelah dan kebimbangan di antara dua dunia yang tak saling bersinggungan. 

Dan ketika seluruh tenagaku terasa menguap, hanya satu hal yang tetap berdiri tegak, semangatku saat berada di barisan Paskibraka.

Di situlah aku merasa hidup. Ada kekuatan yang tak bisa dijelaskan saat langkahku menyatu dengan puluhan kaki lain, saat suara komando menggema di udara, saat bendera perlahan naik ke langit dan aku menatapnya tanpa berkedip.  

Di sanalah aku merasa menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar dari sekadar diriku sendiri.

Aku memilih menjadi Paskibraka, bukan karena itu mudah, tetapi karena aku tahu, di sanalah hatiku berada.

Dan karena aku tahu, aku telah berjuang sekuat yang aku bisa, dan pilihan ini bukan hasil dari keraguan, tapi buah dari keyakinan.

Pagi itu, aku berjalan di lorong sekolah dengan hati yang berdegup pelan namun mantap. Tak ada map di tanganku, tak ada berkas yang perlu kuserahkan. 

Yang kubawa hanyalah keputusan yang telah kupahat dalam diam, setelah malam-malam panjang yang penuh pertimbangan dan air mata. Lorong itu sunyi, hanya suara langkah kakiku yang menemani, serupa detik yang membawa diriku menuju satu titik penentu.



Setibanya di depan ruang guru, aku berhenti sejenak. Menarik napas dalam, menenangkan debar yang tak sepenuhnya bisa kusembunyikan. Bukan karena ragu, tapi karena aku tahu—begitu aku masuk, semua akan menjadi nyata.

Dengan satu ketukan ringan, aku membuka pintu dan melangkah masuk. Guru pembimbingku menoleh, menyambut kedatanganku dengan senyum hangat yang selalu membuatku merasa dihargai. 

Di hadapannya, aku berdiri tegak, menyampaikan keputusan yang sudah kupilih dengan sepenuh hati.

Tak banyak yang terjadi setelah itu. Hanya anggukan pelan dan tatapan dalam yang seolah berkata bahwa beliau memahami. 

Dan dari situ, aku tahu, keputusanku diterima, bukan hanya oleh guru pembimbingku, tetapi juga oleh diriku sendiri.

Keluar dari ruang itu, langkahku terasa lebih ringan. Beban yang selama ini menggantung di pundak, perlahan menguap bersama sinar pagi yang mulai menghangatkan bumi. Aku telah memilih. 

Dan aku siap melangkah ke jalan yang kupilih, jalan yang membawaku menjadi bagian dari Pasukan Pengibar Bendera Pusaka.

Aku mulai mempersiapkan diriku untuk mengikuti seleksi Paskibraka, sampai tibalah hari seleksi. Kala itu, satu per satu teman seperjuanganku mulai berguguran. 

Kabut keraguan mulai memenuhi hatiku, rasa tidak percaya diri dengan potensiku mulai memenuhi benakku. Tetapi keyakinanku tetap sama, tidak ada usaha yang mengkhianati hasil.

Dan di sini aku berada. Berdiri tegak gagah di tengah teriknya matahari. Menjadi pusat dari ribuan mata yang menyaksikan, di tengah lapangan kotaku dalam upacara memperingati hari kemerdekaan yang penuh dengan riuh sunyi, suara yang tak terdengar, tapi terasa menggema di dada. 

Seragam putihku melekat rapi, peluh menetes perlahan di pelipis, namun dadaku tetap tegak, dan mataku tetap lurus ke depan.

Angin mengibarkan Sang Saka Merah Putih, dan untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku benar-benar memahami arti dari menjadi bagian dari sejarah. 

Di hadapanku, deretan pejabat, guru, siswa, dan warga kota berdiri menyaksikan, beberapa dengan bangga, beberapa terharu. 

Di barisan penonton, aku sempat menangkap pandangan Ibu. Matanya berkaca-kaca, tapi senyumnya utuh, seperti berkata: "Kau berhasil, Nak."

Detik-detik pengibaran bendera terasa abadi. Musik pengiring mengalun pelan, dan ketika tiang bendera mulai menerima ujung kain merah-putih itu, aku menahan napas, seolah takut mengganggu kesakralan momen ini. 

Air mataku berluncuran bebas menyatu dengan peluhku, seolah semua latihan, jatuh bangun, bentakan, dan luka-luka kecil selama ini akhirnya menemukan maknanya.

Ini bukan hanya tentang bendera yang naik ke puncak tiang, tapi tentang mimpi yang akhirnya sampai. Tentang diriku yang telah memilih, merelakan, berjuang, dan kini berdiri di tempat yang memang seharusnya kutempati.

Hidup adalah sebuah api yang harus kita nyalakan sendiri, di tengah badai yang tak pernah berhenti menguji. Setiap pilihan adalah bara yang kita pegang, kadang membakar, kadang menghangatkan. 

Aku telah berjalan di atas api itu, melangkah di jalan yang penuh bara panas, merasakan setiap tetes keringat dan luka yang menggores jiwa. 

Namun, di ujung perjalanan itu, aku tahu, api yang membakar itu telah membentuk diriku, menjadikanku lebih kuat dari yang pernah aku bayangkan.

Keberhasilan bukanlah hujan yang turun dengan lembut di tanah yang subur, melainkan petir yang mengoyak langit, yang datang setelah badai panjang yang tak ada ujungnya. 

Aku berdiri di sini, bukan sebagai orang yang hanya memilih jalan yang mudah, tetapi sebagai seseorang yang telah teruji oleh waktu dan pilihan yang tak terelakkan.

Di balik setiap langkah yang kuambil, ada ribuan pertanyaan yang pernah mengganggu, ada seribu keraguan yang menari di benakku. 

Namun, aku belajar satu hal: keberhasilan datang bukan dari memilih jalan yang tidak pernah gelap, tetapi dari berani berjalan di kegelapan dan menemukan cahaya dalam setiap langkah.

Dan kini, aku berdiri, bukan hanya sebagai seseorang yang telah mencapai tujuannya, tetapi sebagai pembakar api dalam diriku sendiri, menyadari bahwa setiap pilihan yang dibuat dengan hati yang penuh harapan, tak pernah salah.

Penulis adalah Siswa Kelas XI-1 Program Unggul SMA Negeri 1 Kota Lhokseumawe.

Berita Terkait

There is no other posts in this category.

Posting Komentar

0 Komentar