Gerbang Jiwa yang Terkunci Dilema Penjaga Bintang



Foto:  Dokumen Pribadi
Oleh: Jihan Suada

Di sebuah desa kecil, di mana langit malam selalu dipenuhi bintang terang seperti taburan pasir emas, Rumansha tumbuh. Bukan di bawah cahaya rembulan, melainkan di bawah cahaya lentera Kakek Arsham, dikelilingi oleh rak-rak buku yang menjulang tinggi, penuh dengan bisikan masa lalu. Ia belajar dari cerita-cerita tentang pahlawan dan dunia yang tak terjamah, dan ia percaya, setiap bintang di langit menyimpan sebuah janji.

Namun, di tengah semua keindahan itu, ada satu rahasia yang tak terjamah: sebuah bukit di ujung padang ilalang yang tak pernah ia dekati. Setiap malam, dari puncaknya, sebuah cahaya aneh berdenyut, bukan seperti bintang, bukan seperti api. 

Itu adalah cahaya dari gerbang yang bergetar seolah hidup, dan Rumansha tahu, rahasia terbesar bukanlah di dalam buku-buku kuno, melainkan di balik pintu yang menunggunya.

Langit di atas desa Rumansha selalu dihiasi bintang yang tak terhitung, seolah-olah taburan cahaya itu menyembunyikan sesuatu yang lebih besar dari pandangan. Di sanalah, seorang gadis yang baru akan berusia 17 tahun bernama Rumansha menghabiskan hari-harinya.

Ia tinggal bersama ibunya di sebuah rumah kayu sederhana di tepi padang ilalang. Ibunya, seorang perempuan yang hangat dan penyayang, sering khawatir putrinya terlalu larut dalam dunia imajinasi.

Sejak kecil, Rumansha memiliki satu keinginan yang belum terwujud, yaitu untuk menulis sebuah cerita yang akan hidup selamanya. Namun, meski sudah memenuhi rak buku kecilnya dengan puluhan catatan, semua kisahnya selalu berhenti sebelum sampai akhir. Ia merasa ada "halaman terakhir" yang belum sempurna, tapi entah mengapa, ia tak pernah bisa menemukannya.

Satu-satunya orang yang tampak mengerti obsesinya hanyalah Kakek Arsham, sosok tua bijak yang jarang berbicara tentang masa lalunya. Setiap kali Rumansha bertanya tentang cerita-cerita lama, Kakek hanya tersenyum samar dan berkata, "Tidak semua kisah layak diakhiri, Nak."

Rumansha tak tahu, malam ulang tahunnya yang ke-17 akan menjadi titik balik hidupnya. Saat bulan purnama menggantung di langit malam, seekor burung magis bersayap cahaya bak rembulan bernama Baskara hinggap di jendela kamarnya, membawa secarik kertas kosmik dengan pesan yang akan membuka pintu menuju petualangan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.

Langit malam itu berbeda. Bintang-bintang tampak gelisah, berkelip cepat seperti ingin menyampaikan sesuatu. Di kejauhan, Rumansha melihat cahaya aneh menetes dari langit, jatuh tepat di bukit tua di ujung desa.

"Ibu, lihat itu," bisiknya sambil menunjuk. Namun, ibunya hanya menatap singkat, lalu menutup tirai jendela dengan wajah cemas. "Jangan hiraukan, Rumansha. Ada hal-hal yang lebih baik tidak kau kejar." Kata-kata itu justru membuat hatinya semakin resah. Dan malam berikutnya, cahaya itu kembali muncul lebih terang, berdenyut seperti luka langit yang belum sembuh.

Saat ia termenung, Kakek Arsham muncul dengan tongkat kayunya. Matanya berkilau penuh rahasia. "Kau sudah melihatnya, cucuku. Itu bukan sekadar cahaya, itu panggilan. Perpustakaan di ujung bintang mulai terbuka, tapi sekaligus sedang terancam."

Belum sempat Rumansha bertanya, udara bergetar oleh kepakan sayap besar. Seekor burung magis turun dari langit, bulunya memantulkan warna perak kebiruan. Ia memperkenalkan diri dengan suara yang menggema: "Aku Baskara. Perpustakaan tempat segala pengetahuan semesta tersimpan kini diburu oleh bayangan.

Jika terlambat, semua ingatan bintang akan hilang selamanya. Dan hanya kau, Rumansha, yang bisa melindunginya." Dada Rumansha berdegup keras. Ia hanyalah seorang anak, bukan pahlawan. Tapi tatapan mata Baskara begitu dalam, seakan menyalakan api kecil dalam dirinya.

Sejak saat itu, malam-malam Rumansha tidak lagi bercahaya. Cahaya dari bukit terus memanggilnya, seperti janji sekaligus ancaman. Ia sadar, hidupnya baru saja memasuki jalan yang tak pernah ia bayangkan. 

Suatu malam, langkahnya tanpa sadar membawanya mendaki bukit itu. Angin berdesir membawa bisikan asing, dan di puncaknya ia menemukan sesuatu yang tak pernah terlintas dalam mimpinya: sebuah gerbang raksasa yang berdenyut dengan cahaya.

Rumansha berdiri di hadapan gerbang raksasa bercahaya. Pintu itu bergetar, seakan menahan jeritan ribuan suara yang ingin keluar. Baskara mengepakkan sayapnya, sementara bayangan hitam dari langit turun seperti badai. "Cepat, buka gerbangnya!" seru Baskara. "Hanya kau yang bisa!"

Namun, saat tangannya hampir menyentuh ukiran bintang di pintu, tiba-tiba cahaya berubah menjadi merah darah. Dari dalam, muncul wajah-wajah asing, berteriak histeris. "Jangan percayai siapa pun, Rumansha, bahkan dirimu sendiri!" Suara itu berbisik menusuk telinganya. Rumansha terhuyung. Jantungnya berdentum. Ia menoleh ke arah Kakek Arsham, berharap penjelasan.

Tapi kakeknya tersenyum getir. "Sekarang kau tahu rahasia itu," katanya pelan. "Perpustakaan ini bukan hanya menyimpan pengetahuan, tapi juga jiwa-jiwa yang terkurung ribuan tahun. Dan salah satunya adalah jiwa ibumu." Darah Rumansha berdesir. Ibu yang selama ini bersamanya ternyata jiwanya terjebak di balik pintu bintang! Belum sempat ia meresapi, Baskara menjerit keras.

Tubuhnya pecah menjadi pecahan cahaya, berubah wujud menjadi sosok manusia tinggi berjubah hitam. Matanya kosong, suaranya menggema, "Namaku bukan Baskara. Aku adalah Penjaga Bayangan. Aku menggunakan wujud burung agar kau percaya padaku. Sekarang, serahkan kunci bintang, dan kau akan bertemu ibumu. Jika kau menolak, ayahmu akan lenyap untuk selamanya!"

Rumansha terdiam, tubuhnya gemetar. Di satu sisi, ia ingin menyelamatkan ibunya. Di sisi lain, ia tahu menyerahkan kunci berarti membiarkan bayangan menguasai seluruh pengetahuan semesta. Langit bergetar, tanah retak, dan semua cahaya bintang tertarik menuju gerbang.

Pada detik terakhir, Rumansha menutup mata dan berteriak, "Kalau begitu aku akan menghancurkan kunci ini, meski artinya aku kehilangan ibuku!" Tangan Rumansha menyala, kunci bintang bergetar keras, lalu DUAARRR! Ledakan cahaya menelan segalanya.

Ledakan cahaya itu berlangsung hanya beberapa detik, tetapi bagi Rumansha terasa seperti keabadian. Ketika sinar mereda, ia mendapati dirinya berdiri di ruang sunyi: sebuah hamparan putih tak berbatas.

Bayangan yang tadi mengamuk telah lenyap. Gerbang perpustakaan retak, lalu perlahan menutup kembali, seakan tertidur untuk ribuan tahun ke depan. Kunci bintang di tangannya hancur menjadi serpihan debu yang berpendar, lalu menghilang.

Rumansha jatuh berlutut. Air matanya mengalir tanpa henti. Ia tahu keputusan itu berarti ibunya tidak akan pernah kembali. Tapi ia juga sadar, pilihan itu menyelamatkan semesta. Di belakangnya, suara tongkat berderak. Kakek Arsham datang mendekat. Namun kali ini, wajahnya tidak lagi keras, melainkan dipenuhi luka penyesalan.

"Kau melakukan apa yang bahkan aku tidak sanggup lakukan," bisik kakek. "Kau menyelamatkan semua orang dengan mengorbankan seseorang yang paling kau cintai." Rumansha menunduk, bahunya bergetar. "Apakah benar aku melakukan hal yang tepat, Kek? Jika ibu terjebak selamanya, apakah itu adil baginya?"

Kakek Arsham meletakkan tangannya di pundak cucunya. "Kadang, kebenaran bukanlah tentang adil atau tidak adil, melainkan tentang keberanian untuk memilih."

Dari kejauhan, terdengar bisikan halus. Bukan dari bayangan, bukan pula dari kegelapan. Itu adalah suara lembut, hangat, seakan datang dari bintang, "Aku bangga padamu, Rumansha." Rumansha menoleh, dan untuk sepersekian detik, ia melihat bayangan samar seorang wanita tersenyum padanya, ibunya. Lalu cahaya itu lenyap bersama debu bintang.

Sejak malam itu, langit desa kembali tenang. Cahaya aneh di bukit tua tak pernah muncul lagi. Bintang-bintang berkelip seperti biasa, seolah semua rahasia telah terkunci rapat.

Rumansha menjalani hari-harinya dengan hati yang berbeda. Ia tak lagi hanya memandang langit dengan rasa penasaran, melainkan dengan rasa tanggung jawab. Ia tahu, bintang-bintang menyimpan kisah yang tak boleh sembarang disentuh, dan ia pernah menjadi bagian dari penjaganya.



Kakek Arsham sering mendapati Rumansha duduk di teras sambil menatap ke langit malam. Kadang, ia tersenyum kecil, seolah mendengar suara yang tak terdengar oleh siapa pun. Suara ibunya, mungkin. Atau sekadar bisikan bintang yang menemaninya agar tidak merasa sendirian.

Kakek Arsham pun berubah. Ia tak lagi menutup-nutupi rahasia dengan wajah keras. Kini ia lebih sering bercerita, mengajarkan bahwa pengetahuan adalah cahaya, tapi cahaya itu bisa membakar jika tak dijaga dengan bijak.

Dan tentang Baskara... sosok burung magis itu tak pernah muncul lagi. Namun di suatu malam, Rumansha melihat seekor burung berkilau melintas jauh di langit. Ia tidak tahu apakah itu sekadar ilusi, atau pertanda bahwa bahkan dari kegelapan, masih ada kesempatan untuk kembali menjadi cahaya.

Rumansha sering duduk di teras sambil menatap ke langit malam. Ia tidak lagi mencari suara ibunya atau bisikan bintang. Ia hanya duduk sendiri, merasakan kehampaan yang begitu nyata.


Ia telah menyelamatkan semesta, tetapi kehilangan segalanya. Warisan terbesarnya bukanlah keberanian, melainkan kesepian yang tak tersembuhkan. Ia adalah penjaga Perpustakaan di Ujung Bintang, seorang penjaga yang kini sendirian, terkunci dalam kenangan yang menyakitkan.

Penulis  Adalah  Siswa Kelas  XI.1  Unggulan SMA Negeri 1  Lhokseumawe

 

Berita Terkait

Posting Komentar

0 Komentar