Melawan Badai Kehidupan: Kisah Riko dan Pilar Keyakinan yang Tak Terganti

 

Foto: Dokumen  Pribadi

Oleh: M. Khatab Thabari

Hujan deras tak henti-hentinya mengguyur bumi, sejak fajar menyingsing hingga senja menutup hari. Di tengah deru air yang jatuh, terdengar jeritan panjang seorang ibu yang tengah berjuang melahirkan.

Kesakitan merobek suaranya, namun akhirnya tangisan kecil menggema, menandai lahirnya seorang bayi mungil.Kebahagiaan menyelimuti wajah sang ibu ketika menatap putranya yang lahir sehat tanpa cacat. Bayi itu diberi nama Riko.Sepuluh tahun kemudian.

Di sudut kota, di sebuah perkampungan kumuh yang nyaris dilupakan pemerintah, berdirilah gubuk-gubuk reyot. Di sanalah para pengungsi, pengamen, dan pemulung menggantungkan hidup. 

Di sanalah pula Riko dan keluarganya tinggal.Hidup mereka jauh dari kata cukup. Untuk membeli lauk saja sulit, apalagi kebutuhan lain. Ayahnya meninggal ketika Riko berusia 8 tahun. Sejak saat itu, ia hanya punya ibu, seorang kakak yang bekerja di pabrik dengan upah tak sampai Rp10.000 per hari, serta dua adik kecil yang masih balita. 

Ibunya bekerja sebagai tukang bersih di sebuah sekolah menengah.Riko, yang baru 11 tahun, sudah harus berhenti sekolah. Di usia di mana anak-anak lain berseragam SMP, berlari riang menuju gerbang sekolah,

 Riko justru sibuk memikirkan bagaimana caranya mencari uang untuk makan keluarganya.Namun, satu hal yang terus ia genggam adalah pesan almarhum ayahnya:“Nak, apa pun yang terjadi jangan pernah kau meminta-minta. Mengemis bukanlah jalan hidup yang baik.”

pIa mungkin belum benar-benar mengerti makna pesan itu kala kecil, tetapi kini kata-kata itu menjadi pondasi hatinya.Suatu hari di pasar, di tengah riuhnya pedagang dan pembeli, Riko termenung. 

Pandangannya kosong, pikirannya berkelana.“Apakah hidupku akan selalu begini...? Apa aku harus mencuri untuk bisa bertahan?”Ia segera menggeleng.“Tidak. Aku tidak mau keluargaku hidup dari uang haram.”

Namun, bagaimana caranya ia bisa menghasilkan uang dengan jujur? Pikiran itu terus menghantuinya hingga pasar lengang. Saat itulah sebuah ide kecil muncul, membuat matanya berbinar.“Ya! Aku tahu harus apa.”Ia berlari pulang dengan semangat. 

Malam itu ia menuliskan idenya di atas selembar kertas lusuh. Walaupun hanya lulusan SD, sedikit ilmu baca-tulis yang diajarkan ibu dan kakaknya membuatnya mampu menuangkan gagasan. Ia menulis hingga larut malam, sebelum akhirnya tertidur dengan rasa lega.Keesokan pagi, sebelum kota benar-benar terbangun,

 Riko sudah bersiap. Sandal lusuhnya ia rapikan, uang receh terakhir ia selipkan di saku, lalu melangkah keluar. Bukan untuk bermain, tapi untuk bekerja.Ia mendatangi pabrik tempat kakaknya bekerja. 

Kakaknya terkejut melihat bocah kecil itu muncul.“Eh, kecil, ngapain kamu di sini?” tanyanya heran.“Hehe... aku mau bantu Kakak, biar kerja Kakak lebih ringan,” jawab Riko polos.Kakaknya menatapnya lama. “Kamu serius? Angkat barang-barang berat ini?”“Iya, aku kuat kok. Aku tidak bohong lagi. 

Selama ini aku keluar bukan buat main, tapi buat cari uang juga. Aku tidak mau Ibu sama Kakak khawatir.”Kata-kata itu membuat kakaknya tertegun. Ia baru sadar, sebagian makanan di meja makan ternyata hasil jerih payah adiknya. Air matanya nyaris jatuh, namun ia hanya mengangguk.

“Baiklah, kalau begitu kita kerja sama-sama.”Hari itu, untuk pertama kalinya mereka bahu-membahu. Selesai bekerja, mereka menerima upah Rp20.000 per orang.“Yey, berarti hari ini kita bisa makan nasi lagi, kan Kak?” seru Riko dengan wajah berseri.“Iya, kita bisa makan nasi lagi,” balas kakaknya dengan senyum kecil.Namun kebahagiaan itu tak bertahan lama. 

Saat mereka berjalan pulang melewati jalan raya yang lengang, sebuah truk melaju kencang, klakson panjang melengking memekakkan telinga.Brak!Tubuh kakaknya terpental keras ke aspal. 

Darah mengalir deras, orang-orang menjerit panik. Riko berlari, lututnya lemas, air matanya pecah.“Ini tidak nyata... ini pasti mimpi...” pikirnya sambil mengguncang tubuh kakaknya.Namun, semua sudah terlambat. 

Kakaknya pergi menyusul sang ayah.Ibu mereka hanya bisa pasrah. Air mata menetes, namun bibirnya bergetar lirih:“Sudahlah, Riko... ikhlaskan. Kakakmu pasti tenang di alam sana.”Empat tahun setelah tragedi ituCobaan kembali datang. Sang ibu divonis menderita kanker otak stadium akhir. Di ruang operasi rumah sakit, 

Riko menunggu dengan kedua adiknya. Saat dokter keluar, hanya gelengan kepala yang diberikan.Riko berlari masuk ke ruangan operasi. Tubuh ibunya telah tertutup kain putih. 

Dunia runtuh baginya. Dua adiknya menangis memeluk tubuh ibunda, sementara Riko hanya berdiri kaku.“Kenapa harus begini lagi... kenapa semua orang yang kucintai pergi?” bisiknya, sesak.

Namun ia tahu, hidup tak boleh berhenti. Sejak saat itu, ia menjadi satu-satunya penopang keluarga. Ia bekerja di toko kecil, menabung sedikit demi sedikit, mengurus adik-adiknya dengan penuh tanggung jawab.

Hari demi hari, tahun demi tahun, Riko berjuang. Ia rela menahan lapar, menyingkirkan kesenangan masa kecilnya, hanya untuk memastikan kedua adiknya bisa sekolah.Sering kali ia bertanya dalam hati:“Apa rasanya jadi orang kaya? Apa rasanya hidup tanpa harus pusing memikirkan uang?”

Pertanyaan itu menjadi api kecil dalam dadanya. Ia mulai membayangkan masa depan yang berbeda.Waktu bergulir. Dari pekerja toko, Riko berani membuka usaha kecil. Pelanggannya bertambah: dari tetangga, pembeli toko, hingga pesanan lewat media sosial.

 Produk buatannya terkenal murah tapi berkualitas.Permintaan terus meningkat, memaksanya berpikir lebih besar. Ia menyewa tempat produksi, membeli alat yang lebih efisien, merekrut orang, dan belajar mendelegasikan tugas. Gagal, jatuh, bangkit lagi siklus itu ia jalani berkali-kali, namun ia tak pernah menyerah.Usahanya berkembang. 

Dari satu produk, ia menciptakan banyak varian. Dari distribusi kecil, ia merambah warung, kantin, hingga toko-toko besar. Laba yang ia dapat selalu diputar kembali untuk ekspansi. Hingga akhirnya, ia berdiri sebagai pemilik perusahaan yang membawahi banyak unit usaha.Riko kini kaya raya.

 Rumah mewah, mobil mewah, tabungan melimpah, bahkan pesawat pribadi dengan pilot profesional. Tapi di balik semua itu, ia tetap sederhana. Ia tidak lupa pada masa lalunya.Ia membeli tanah luas di pinggiran kota, membangun perumahan bagi orang miskin, mendirikan sekolah gratis untuk anak-anak yang pernah merasakan pahitnya nasib seperti dirinya. 

Semua ia lakukan dengan uang pribadi, tanpa bantuan pemerintah.Dan di titik itulah Riko benar-benar mengerti.Uang memang segalanya, bukan karena ia bisa membeli cinta atau mengganti kehilangan, tapi karena uang memberi pilihan. Uang mengurangi penderitaan nyata, membuka pintu kesempatan, dan memberi manusia daya untuk membantu sesamanya.

Namun ia juga tahu: uang hanyalah alat. Di tangan yang salah, uang merusak. Di tangan yang benar, uang menyelamatkan.Pilihan itu, selalu ada pada pemiliknya.Ya, uang bisa jadi segalanya... tapi ada batas yang tidak akan pernah bisa disentuh oleh uang.

Penulis adalah Siswa Kelas XI-1 Unggul SMA Negeri1 Lhokseumawe 




Berita Terkait

Posting Komentar

0 Komentar