Ketika Angka Tak Lagi Jadi Vonis, TKA dan Upaya Mengobati Luka Pendidikan Kita

 

Foto: Dokumen Pribadi

Oleh: Mukhlis, S.Pd., M.Pd. 

Dunia pendidikan Indonesia kembali menghirup udara segar. Kabar mengenai Tes Kemampuan Akademik (TKA) yang tidak lagi menjadi penentu kelulusan telah resmi berembus. Hal ini  menenangkan riuh rendah kekhawatiran yang selama ini menggantung di benak para siswa, guru, dan seluruh insan pendidikan. 

TKA kini hadir dengan wajah baru, menanggalkan jubah "momok" yang selama ini begitu lekat pada citra Ujian Nasional (UN). Ia bukan lagi palu hakim yang menjatuhkan vonis, melainkan sebuah cermin   yang disodorkan untuk kita semua berkaca.

Kabar ini laksana embun pagi yang menyejukkan. Kepastian bahwa TKA tidak bersifat wajib dan bukan syarat kelulusan adalah jawaban atas pertanyaan yang selama ini menggema di setiap sudut sekolah. 

“Informasi ini yang dinanti-nantikan. Semua (satuan pendidikan) bertanya-tanya terkait TKA. Kini kita sudah lega, karena sifatnya bukan penentu kelulusan seperti UN. Ini  perlu untuk disosialisasikan bersama,” ungkap seorang pemangku kebijakan pendidikan.

Jika TKA kembali menjelma sebagai UN, hantu kecemasan tentu akan kembali bergentayangan, membayangi setiap langkah siswa dan guru. Lega rasanya, sebab TKA memilih jalan yang berbeda, jalan pencerahan, bukan penghakiman.

Mengisi Kekosongan, Mendiagnosis Kelemahan

Harus diakui,  bahwa peniadaan UN beberapa waktu lalu  meninggalkan sebuah ruang hampa. Tak ada lagi standar nilai yang bisa dijadikan tolok ukur bersama untuk memotret kemampuan akademik siswa secara nasional. Di sinilah TKA mengambil perannya yang paling strategis.

Melalui TKA, sekolah kini memiliki alat diagnosis yang presisi. Ia mampu menyingkap "luka-luka kecil" dalam proses belajar yang mungkin tak terlihat oleh mata telanjang. 

Fenomena siswa yang masih keliru dalam perhitungan dasar atau bahkan kurangnya pemahaman terhadap nilai-nilai Pancasila sebagai fondasi kebangsaan adalah kenyataan yang perlu kita hadapi. TKA hadir bukan untuk menghakimi, melainkan untuk menunjukkan di mana letak kelemahan itu agar bisa segera diobati.

Peta Pendidikan Nasional dan Revisi Arah Mengajar

Lebih dari sekadar alat diagnosis individu, TKA berfungsi sebagai kartografer andal yang memetakan lanskap pendidikan nasional. Hasilnya akan menjadi sebuah peta besar yang menunjukkan di mana saja potensi-potensi terbaik siswa bersemi. 

Ini juga  sekaligus di mana ketimpangan dan kesenjangan pendidikan masih menjadi jurang yang menganga. Peta ini krusial untuk merumuskan kebijakan yang lebih adil dan menyentuh akar persoalan.

Penegasan datang langsung dari Kepala Badan Standar Kurikulum dan Asesmen Pendidikan Kemendikdasmen, Prof. Dr. Toni Toharudin, S.Si, M.Sc. Beliau dengan lantang menyuarakan filosofi di balik TKA. “TKA bersifat tidak wajib dan tidak menentukan kelulusan, hanya yang ingin saja,” ungkap Toni.

Beliau menganalogikan TKA sebagai sebuah cermin. Sebuah metafora yang indah dan tepat sasaran. "TKA adalah instrumen yang membantu satuan pendidikan dalam melihat sejauh mana kompetensi siswa telah tercapai. Ibarat sebuah cermin, 

TKA digunakan untuk membantu langkah siswa dalam perbaikan, bukan untuk memperburuk penampilan." Cermin tidak pernah menghakimi, ia hanya memantulkan apa yang ada di hadapannya dengan jujur, agar kita bisa merapikan apa yang kurang pas.

 Simpulan 

Akhirnya, kehadiran TKA dengan paradigma barunya adalah sebuah langkah maju yang patut kita syukuri. Ia menandai pergeseran fundamental dalam cara kita memandang evaluasi pendidikan, dari kultur penghakiman menuju kultur pembinaan; dari tekanan menuju pertumbuhan. 

TKA adalah undangan terbuka bagi siswa, guru, dan sekolah untuk bersama-sama bercermin, berbenah, dan bertumbuh. Sebab, tujuan akhir pendidikan bukanlah sekadar angka kelulusan, melainkan lahirnya generasi pembelajar yang utuh dan berdaya.

Penulis adalah Guru SMA Negeri 1 Lhokseumawe



Berita Terkait

Posting Komentar

0 Komentar