Mengenang dr. Fauziah: Bidadari Perang dari Peudada

 

                                                    Ilustrator : arisnur

Oleh:  Chek Saramaba

Di antara desau angin dan desir daun jati yang gugur di Peudada, masih terpatri luka yang belum reda. Tanggal 25 Mei 1999, hari ketika bumi Bireuen menangis, dan langit Aceh kelam berselimut duka. 

Seorang perempuan, dokter, dan pahlawan kemanusiaan bernama dr. Fauziah, rebah bersimbah darah di tanah kelahirannya. Ia bukan korban biasa, ia adalah cahaya di tengah kelamnya perang, lentera di lorong sunyi perjuangan rakyat.

dr. Fauziah bukan hanya tabib tubuh, ia penyembuh luka batin. Ketika peluru menjadi bahasa, dan senapan lebih nyaring dari doa, ia tetap memilih mendatangi rumah-rumah reot di pinggir ladang dan hutan, membawa perban, vaksin, dan senyum yang tak pernah padam. Tak peduli siapa yang berkuasa Ia hanya tahu satu hal: menyelamatkan nyawa.

Hari-hari itu adalah mimpi buruk yang hidup. Deru pesawat militer, langkah pasukan bersenjata, dan tangis anak-anak yang kehilangan orang tua menjadi simfoni yang menghantui setiap malam. Namun dr. Fauziah tetap teguh. Ia menembus blokade, menolak ketakutan, dan melawan kematian dengan stetoskop di leher dan keberanian di dada.

“Kalau saya mati,” katanya suatu kali kepada seorang warga tua, “semoga kematian saya menyiram benih perdamaian.”

Dan hari itu pun tiba...

Di satu pagi yang muram, mobil yang ia tumpangi dicegat di kawasan Peudada. Kabarnya ia baru saja merawat korban tembak di sebuah kampung yang sunyi. Tapi takdir tak memberinya waktu untuk pulang. Dentuman senjata mengguncang tanah, dan dr. Fauziah tumbang. Tertembak. Gugur sebagai syuhada dalam perang yang tak pernah ia pilih, namun tak pernah pula ia lari darinya.

Hari ini, 25 Mei 2025, genap 22 tahun kepergiannya. Namun namanya terus disebut dalam zikir rakyat. Di tiap klinik yang ia bangun dengan keringat, di tiap anak yang selamat karena tangannya, dan di tiap doa ibu-ibu yang dulu ditolongnya melahirkan.

dr. Fauziah bukan hanya kisah sedih. Ia adalah puisi tentang keberanian. Ia adalah nyanyian sunyi tentang perjuangan perempuan di tengah gelegar senjata. Dalam riwayat Aceh yang penuh luka dan bara, namanya adalah bunga yang tumbuh dari darah, harum dalam ingatan.

Semoga Allah menempatkanmu di surga para syuhada, wahai bidadari Peudada. Allahummaghfirlaha!!!.

Kau telah wafat, tapi perjuanganmu hidup.

Kau telah pergi, tapi kisahmu tak akan pernah selesai.

Editor : HD Mulya




 

Berita Terkait

Posting Komentar

0 Komentar