Sumber: dreamina.capcut.com
Oleh: Muklis Puna
Psikologi sastra merupakan kajian yang memandang karya sastra sebagai ekspresi kejiwaan pengarang. Karya sastra, baik dalam bentuk prosa, drama, atau puisi, dipandang sebagai manifestasi dari perasaan, pemikiran, dan pengalaman batin pengarang yang tergambar dalam tokoh atau simbol.
Dalam konteks ini, pengarang menggunakan cipta, rasa, dan karya untuk menyampaikan pesan-pesan emosional yang mendalam. Salah satu karya yang mencerminkan ekspresi psikologis yang kuat adalah puisi "Hans" karya Heru Antoni.
Puisi ini menggambarkan kedalaman emosi dan pergulatan batin penyair dalam menghadapi kehilangan, dengan menggunakan simbol-simbol yang kaya dan penuh makna.
Gejolak Batin Penyair dalam Puisi “Hans"
Dalam puisi “Hans”, Heru Antoni mengekspresikan perasaan duka yang mendalam melalui larik-larik yang penuh dengan simbolisme.
Salah satu contoh yang menonjol adalah larik "tidurlah yang nyenpuyak Hans", yang memberikan kesan ketenangan dan perpisahan yang damai, meski diselimuti oleh rasa kehilangan. Larik ini mencerminkan sebuah proses penyerahan dan penerimaan terhadap kenyataan yang menyakitkan.
Baca Juga: Sastra di Ruang Publik: Membangun Diskusi Ilmiah dan Kontroversial
Penulis merasa bahwa meskipun ada rasa pilu, penyair memilih untuk mengungkapkan perasaan tersebut dengan cara yang bijaksana dan penuh ketenangan.
Selain itu, dalam larik "mungkin nama-nama itu telah menjepit tubuhmu", penyair menggambarkan perasaan kesedihan yang mendalam namun tetap disampaikan dengan cara yang halus. Diksi yang sederhana namun mengena ini menunjukkan kecermatan penyair dalam memilih kata yang mampu menyentuh emosi pembaca.
Baca Juga : Membebaskan 'Aku' dalam Puisi: Paradigma Baru dalam Mengkaji Sastra
Gejolak batin penyair ini seolah-olah mengajak pembaca untuk merasakan kesedihan yang dialami, namun tanpa membiarkan emosi tersebut menguasai sepenuhnya. Ini menunjukkan kedewasaan penyair dalam mengelola perasaan dan menyampaikan pengalaman batin dengan cara yang terkendali.
Simbolisme dan Diksi dalam Puisi
Heru Antoni juga menunjukkan kemampuan luar biasa dalam menggunakan simbolisme dan diksi yang mendalam dalam puisi “Hans”. Setiap larik puisi ini penuh dengan citraan yang kaya, seperti dalam larik "saat bulan menjadi lebih sabit di ujung keinginan" yang menggambarkan perasaan kerinduan yang mendalam.
Simbol bulan sebagai metafora untuk kerinduan, gelap sebagai ketidakpastian, dan waktu sebagai perjalanan kehidupan yang tak pernah berhenti, semuanya bekerja untuk menghidupkan nuansa emosional yang kuat. Penyair menggabungkan realitas dengan imaji-imaji yang abstrak, membawa pembaca untuk merasakan perasaan yang lebih dalam dari sekadar kata-kata yang ada.
Baca Juga: Ilmu dan Kerendahan Hati: Menggali Makna Belajar dari Saidina Ali
Puisi ini juga menyajikan gambaran tentang perjalanan emosional yang sulit dan penuh dengan kesedihan. Larik "kita telah tergusur oleh gerimis hingga terduduk di atas meja kayu rapuh" menggambarkan ketidakberdayaan dalam menghadapi perasaan dan situasi yang telah terjadi. Penyair menggunakan diksi yang lugas namun sarat makna untuk menyampaikan perasaan yang sangat pribadi, namun tetap dapat dipahami oleh pembaca secara universal.
Simpulan
Puisi “Hans” karya Heru Antoni mencerminkan kedalaman psikologi penyair dalam menghadapi kehilangan dan perpisahan. Melalui penggunaan simbolisme, diksi yang tepat, dan pengolahan gejolak batin yang matang, penyair berhasil menyampaikan perasaan duka dengan cara yang bijaksana dan penuh makna.
Puisi ini menunjukkan betapa besar kekuatan sastra untuk menggambarkan pengalaman emosional manusia secara universal, sehingga dapat menyentuh hati pembaca. Dalam hal ini, puisi menjadi sarana untuk mengekspresikan perasaan dan pengalaman batin yang tidak hanya bersifat pribadi, tetapi juga dapat dirasakan oleh orang lain yang membacanya. Puisi ini mengajarkan kita bagaimana menghadapi kesedihan dengan ketenangan dan kebijaksanaan.
HANS
Heru Antoni
mungkin nama-nama itu telah menjepit tubuhmu
menjadi hamparan tanah di kakiku.
di ujung keinginan.
saat gelap menuju kisi jalan yang tak pernah usai.
saat waktu adalah irama di tubuh kita.begitu liar
yang membuat kita tak lagi dapat menghapal huruf dan angka-angka.
udara telah mendesahkan detak jantung pada setiap dindingnya
bintang-bintang berputar.
sedang kita telah tergusur oleh gerimis
hingga terduduk di atas meja kayu rapuh
hingga muntah berhamburan.
lalu kita sama memaki bau apek di tubuh
kita.membuka pakaian.
seperti bayi.merangkak dan berdiri pulang di atas kaki sendiri.
kpngswh'25'11'17
Penulis adalah Pemimpin Redaksi Jurnal Aceh Edukasi dan Guru SMA Negeri 1 Lhokseumawe
0 Komentar