Oleh Mukhlis, S.Pd.,M.Pd.
Karya sastra dan karya ilmiah memiliki perbedaan mendalam, khususnya dari segi sumber kelahirannya. Secara umum, karya sastra cenderung lebih berfokus pada ekspresi batin atau perasaan, sementara karya ilmiah lebih mengedepankan rasio dan logika. Namun, sulit untuk menentukan dengan tepat apa yang dimaksud dengan "batin" dan bagaimana posisinya dalam konteks perdebatan ini.
Jika mengacu pada otak, banyak konsep yang dapat digunakan untuk membedakan sastra dan ilmu pengetahuan. Beberapa orang beranggapan bahwa batin terletak di hati, secara fisik ada di dada. Ketika seseorang merasa sakit hati, mereka cenderung menunjuk pada area dada sebelah kanan.
Baca Juga: Ilmu dan Kerendahan Hati: Menggali Makna Belajar dari Saidina Ali
Dalam ilmu biologi, hati memiliki definisi khusus dalam sistem anatomi tubuh manusia, sehingga konsep "batin" pun sebaiknya dibiarkan berkembang sesuai pemahaman seiring berjalannya waktu.
Mengapa Sastra Perlu Diperdebatkan?
Isu utama yang menjadi pertanyaan adalah mengapa sastra perlu diperdebatkan. Banyak orang berpendapat bahwa sastra muncul dari perasaan yang mendalam terhadap masalah yang dialami oleh sang pencipta. Namun, apakah memperdebatkan sastra berarti memperdebatkan perasaan seseorang? Untuk menjawab pertanyaan ini, penulis mengajak kita untuk melihat kembali teori-teori sastra yang dipelajari pada tingkat pendidikan tinggi, di sana memperlihatkan bahwa, sastra bukan hanya tentang perasaan penyair, tetapi juga tentang ide-ide dan refleksi kehidupan.
Baca Juga: Membebaskan 'Aku' dalam Puisi: Paradigma Baru dalam Mengkaji Sastra
Jakop Sumardjo dalam bukunya Apresiasi Kesusastraan mengemukakan bahwa sastra adalah usaha untuk merekam isi jiwa penulis dengan menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi. Sastra adalah bentuk rekaman yang bertujuan untuk disampaikan kepada orang lain.
Namun, pandangan ini masih berada pada tahap dasar dalam dunia keilmuan, dan seringkali karya sastra yang mengangkat tema kontroversial menimbulkan perdebatan di kalangan sastrawan.
Perdebatan dalam dunia sastra seringkali berakhir pada kesimpulan yang mencerminkan idealisme para ahli. Meskipun demikian, ini seringkali membuat para penggemar sastra merasa bingung karena sulitnya mencapai kesepakatan di antara kritikus dan esais. Pandangan mereka beragam berdasarkan aliran sastra yang dianut membuat kesepahaman sulit tercapai.
Sastra adalah refleksi dari kehidupan manusia, mencakup budaya, adat, dan berbagai masalah sosial. Sebagai contoh, novel Ronggeng Dukuh Paruh menggambarkan budaya masyarakat melalui karya sastra. Jika karya sastra lahir dari pemikiran rasional, maka perdebatan mengenai sastra di ruang publik menjadi wajar. Saat ini, sastra telah merambah ke berbagai disiplin ilmu dan berkembang pesat, dengan bentuk dan isi yang semakin kompleks.
Sastra Sebagai Topik Perdebatan Publik
Sastra bukan lagi hanya milik para akademisi, tetapi juga dapat dijelajahi oleh orang-orang dari berbagai latar belakang. Jika sastra dianggap hanya sebagai ungkapan perasaan penyair, maka sastra akan terperangkap dalam dunia pendidikan tinggi. Berbeda dengan politik yang sering kali mendapat perhatian publik, sastra di Indonesia bisa lebih menarik minat jika berani mengangkat tema-tema kontroversial.
Sastra, dalam perkembangannya tidak hanya menjadi domain para pengamat budaya atau akademisi, melainkan juga telah menjadi ruang bagi masyarakat luas untuk berdiskusi dan berinteraksi. Melalui karya sastra, pembaca dapat menjelajahi pandangan dunia yang berbeda, menyuarakan pengalaman hidup, serta menyampaikan kritik terhadap struktur sosial yang ada.
Hal ini menjadikan sastra sebuah medium yang sangat potensial untuk menciptakan perdebatan publik. Ketika tema-tema sosial, politik, atau bahkan ideologi ditulis dengan cara yang memikat, sastra bisa membuka ruang dialog yang lebih inklusif, memberikan perspektif baru, dan mengajak masyarakat untuk merefleksikan realitas yang ada.
Baca Juga: Menggali Asal Usul dan Filosofi di Balik 'Menyala Abangku'
Di Indonesia, peran sastra dalam perdebatan publik masih terbilang terbatas karena sering kali dianggap sebagai kegiatan yang terpisah dari dinamika politik. Namun, dengan mengangkat tema-tema yang kontroversial atau mengkritik isu-isu yang sensitif, sastra bisa memiliki daya tarik yang lebih besar dan relevansi yang lebih kuat dalam kehidupan masyarakat.
Sastra yang berani menantang pandangan dominan atau mencermati ketidakadilan sosial, misalnya, dapat memancing reaksi dan diskusi yang luas, sehingga bukan hanya sekadar seni untuk dihargai, tetapi juga sebagai alat untuk menggerakkan perubahan sosial. Dengan demikian, sastra bukan hanya menjadi milik individu atau kelompok tertentu, tetapi bagian dari percakapan kolektif yang dapat membentuk dan mengubah masyarakat.
Simpulan
Perdebatan mengenai sastra seharusnya melibatkan banyak disiplin ilmu dan dipandang dari berbagai sudut pandang. Mengingat generasi milenial yang semakin tertarik dengan sastra, sudah saatnya kita mengarahkan sastra untuk lebih mengedepankan kajian ilmiah dalam penciptaannya.
Sastra harus bisa menjadi topik utama dalam forum ilmiah, bahkan talk show dan acara bergengsi. Dengan demikian, sastra tidak hanya akan menjadi bahan diskusi di ruang akademis, tetapi juga menjadi bagian dari percakapan publik yang lebih luas.
Penulis adalah Pemimpin Redaksi Jurnal Aceh Edukasi dan Guru SMA Negeri 1 Lhokseumawe
0 Komentar