Foto: Dokumen Pribadi
Oleh: Mukhlis, S.Pd., M.Pd
"Cuma kita ya berserah diri kepada Allah, tidak berserah diri kepada manusia. Kalau kita bergantung pada manusia kita kecewa, tapi kalau kita beragntung kepada Allah ya kita terima semua apa adanya gitu, Kita akan terima apa adanya.
Karena pun kitakan sebagai umat Islam juga telah diberi seperti wasiat ya kalau kita bersyukur setiap musibah ya pasti kita akan ditambah nikmatnya. Tapi kalau kita kufur dan kita ingkar, tunggulah azab daripada Allah yang lebih pedih lagi". Mualem
Itulah kalimat-kalimat indah penuh khidmat yang diucapkan oleh Gubernur Aceh, Muzakir Manaf—atau lebih dikenal dengan Mualem melalui wawancara yang dilakukan oleh Najwa Shihab, sang jurnalis terkenal yang dimiliki oleh negeri ini. Wawancara menyentuh itu disiarkan melalui kanal YouTube milik sang jurnalis hebat tersebut.
Sastra Sebagai Cermin Retak Masyarakat, Sebuah Dialektika Sosiologi Sastra dan Kritik Sosial
Kalimat-kalimat indah yang diucapkan oleh sang Panglima tersebut merupakan satu pukulan telak terhadap Pemerintah Indonesia dalam menangani banjir besar yang melanda negeri ini. Bahkan versi Mualem, ini adalah musibah terbesar dan dijuluki sebagai tsunami jilid II yang melanda Serambi Mekkah.
Dalam wawancara tersebut, ketika ditanyakan oleh Najwa tentang tanggapan Mualem saat Pemerintah Indonesia tidak menetapkan status bencana Aceh sebagai bencana nasional, beliau merespons dengan mendalam.
Dengan nada dan gayanya yang lembut serta penuh santun, beliau menjawab dengan terbata-bata bahwa, "Tidak boleh berharap kepada manusia, yang ada hanyalah menuai kecewa." Tanpa terasa, suara yang keluar dari mulutnya seolah tertahan dan tersangkut di tenggorokan.
Air matanya begitu deras mengalir dari pelupuk mata, bahkan banjir air mata yang ia keluarkan sama derasnya seperti banjir yang menerjang masyarakat yang ia pimpin saat ini. Air mata penuh keikhlasan mengalir melewati jenggot dan jambangnya yang lebat, membasahi luka dan duka yang menerjang dadanya dalam menghadapi musibah ini.
Apapun cerita yang ditulis dan diriwayatkan oleh pemerintah pusat, ia tetap tegar dan bersahaja. Ia menyaksikan sendiri dari udara dan darat pada saat mengantar bantuan kepada korban yang dihantam banjir bandang ke berbagai daerah akibat hujan deras dalam sepekan.
Sang Mualem ini ternyata telah menyita perhatian masyarakat Indonesia dan dunia saat ini. Hampir di berbagai media sosial, terutama TikTok, setiap lima menit sekali peristiwa wawancara dengan Najwa Shihab itu wara-wiri di beranda para pengguna dan platform media sosial ekstrem lainnya.
Kembali ke Mualem, sang Panglima yang dibanggakan masyarakat Aceh hari ini. Masih terbayang di telinga dan pikiran penulis bagaimana kisah-kisah hinaan ditabalkan pada dirinya ketika ia di awal-awal terpilih sebagai Gubernur Aceh.
Pidato-pidatonya diedit kemudian diviralkan untuk mencari cuan lewat media. Foto-fotonya diedit sedemikian rupa hingga mengundang gelak tawa para netizen. Belum lagi hinaan yang luar biasa dari lawan-lawan politik di luar negeri karena dianggap berseberangan dengan mereka yang telah memilih jalur damai sebagai solusi penyelesaian masalah Aceh dengan Republik Indonesia.
Begitu deras hinaan dan cercaan dari berbagai unsur yang diterima. Namun, yang lebih mengejutkan adalah tidak ada satu video pun atau postingan apa pun yang bersifat membalas terhadap hinaan tersebut.
Islamisasi Aceh dan Jawanisasi Islam
Ia memilih diam. Dalam sebuah postingan, ia menyatakan, "Biarlah mereka berbuat, yang terpenting di sini adalah bahwa saya selaku gubernur sangat menyayangi masyarakat saya."
Dalam konteks itu, sang Mualem menjadikan dirinya seperti elang yang sedang mengawasi hamparan luas. Ketika ada gagak mengoak di atas punggungnya, ia bukan takut tapi malah terbang begitu tinggi. Begitu kepakan sayap mengembang tinggi, membuat para gagak kehabisan udara dan menyerah, harus mengakui kehebatan sang elang.
Kini, orang-orang yang menghina beliau di media sosial dan alam nyata, tanpa sadar telah mengakui kehebatan beliau.
Berkeliling Daerah Bencana Mengantar Bantuan
Sebuah fenomena menarik di tengah bencana hebat yang melanda negeri, seorang gubernur dengan pakaian sederhana dan dengan langkah yang terbata-bata mau menumpang pesawat darurat mengantar logistik kepada rakyatnya. Dari berbagai pelosok bencana ia tapaki, memantau dan mengawasi setiap bantuan yang datang.
Setiap tenda, setiap tempat terisolasi, ia turun sendiri membawa bantuan; tidak dengan melempar dari udara seperti para pemimpin lain yang juga sempat viral pada saat musibah melanda.
Hampir semua daerah Aceh yang mengalami musibah banjir Dia datangi dengan membawa bekal bantuan. Sang Panglima juga bermalam bersama pengungsi di tempat-tempat musibah. Ini bukan pencitraan yang dibuat-buat. Sang Panglima bukan gubernur yang mengutamakan konten setiap kunjungan, akan tetapi ini adalah pengabdian yang harus diberikan kepada rakyat yang telah memilihnya.
Selama banjir melanda Aceh, hatinya remuk redam bagai kayu gelondongan yang turun dari gunung-gunung menghantam rumah masyarakatnya. Begitu deras bandang menghadang jalannya, tapi lebih deras lagi niatnya untuk membantu masyarakat dalam menghadapi musibah.
Informasi yang penulis dapatkan dari orang dekat yang sering bersama beliau selama musibah, bahwa beliau tidak pernah tidur cukup selama masa tersebut. Bahkan tampak dari bentuk fisiknya yang amburadul, seperti itulah amburadul pikirannya memikirkan nasib warga.
Dulu, ketika memimpin pemberontakan melawan pemerintah, beliau begitu tegap dan gagah. Tak pernah takut menghadapi lawan. Begitu lama peperangan yang dialami selama konflik dan darurat militer, tapi beliau sangat kuat.
Seingat penulis, dulu ketika penulis menjadi montir pada saat konflik, beliau pernah hadir di tempat kerja penulis dalam rangka memperbaiki sepeda motornya.
Dengan pengawasan ketat dari pengawal, beliau kelihatan sangat sigap dan bersahaja, tidak banyak berbicara. Bahkan sempat penulis berceloteh pada teman-teman waktu itu bahwa, "Ialah laki-laki ganteng yang pernah penulis lihat saat itu. Dengan postur tubuh yang sesuai dengan wajah yang luar biasa. Wajar kalau banyak perempuan yang mengagumi kegantengan beliau."
Akan tetapi, bencana besar ini telah membuat beliau tampak lemah dan tidak berdaya karena empati. Apalagi sang gubernur ini seperti ditinggalkan sendiri oleh pembantu-pembantunya seperti bupati dan wali kota. "Kalau memang tidak mau mempedulikan masyarakat selama musibah, silakan letakkan saja jabatannya. Masih banyak orang lain yang mau," begitu ungkapan geram yang diungkapkan dalam nada bahasa Melayu.
Ribuan peluru membusur menyusur keberadaannya bersama pasukan sejak konflik, tapi beliau tak gentar. Itulah sang Mualem yang dikenal hari ini lebih peduli kepada rakyatnya daripada dirinya sendiri. Kemampuan bergerilya puluhan tahun telah mengasah mentalnya untuk menghadapi berbagai kondisi dalam memimpin negeri ini.
"Jeut lon sidroe mantong nyang jak, nak le jeut ba bantuan" (Biar saya sendiri saja yang berangkat, biar lebih banyak muat barang yang dibawa).
Subhanallah... luar biasa. Ini sebuah pernyataan yang tidak dibuat-buat. Ada bayangan masyarakat yang belum mendapat bantuan sekalipun selama banjir melalang buana dalam pikirannya.
Apalagi ia melihat dari udara betapa hampir semua daratan Aceh menjadi lautan dalam sesaat. Remuk hatinya, meracau jiwanya. Tidak terbesit di pikirannya bahwa tindakan dan ucapan yang ia lakukan akan menjadi berbagai uraian dan konten viral hari ini.
Gubernur Aceh sang Mualem, yang pernah menjadi pengawal Presiden Libya, kini telah menjadikan dirinya sebagai sosok pemimpin teladan yang hadir di tengah bencana melanda. Terbukti sekali bahwa ia memimpin dengan hati dan bertindak dengan iman. Hari ini jutaan masyarakat Aceh menunggu kehadiran sang Panglima, terutama masyarakat korban banjir.
Sepatu Berlumpur Jadi Sorotan
Pada saat melakukan penjemputan Presiden Prabowo Subianto yang datang untuk kedua kalinya selama musibah, beliau dijemput oleh sang Gubernur kebanggaan rakyat Aceh di Bandara Sultan Iskandar Muda, Banda Aceh. Waktu itu Mualem menggunakan pakaian lapangan layaknya orang biasa yang mengalami banjir. Dengan sepatu berlumpur dan baju sederhana, beliau menjemput sang Presiden.
Sepatu berlumpur yang digunakan Mualem adalah bukti kepedulian beliau terhadap rakyat. Dari lumpur yang ada pada sepatu Mualem, orang banyak belajar bahwa untuk menjemput penguasa tidak harus menggunakan baju berdasi dengan sepatu mengkilap; dengan sepatu berlumpur pun boleh dilakukan. Artinya, kepentingan dan kepedulian terhadap rakyat lebih utama daripada ke penguasa. Sepatu berlumpur adalah bukti kerja dan peduli, bukan bukti menjilat dan membeo.
Begitu kuatnya Mualem membela rakyatnya di tengah bencana ini. Beliau tidak segan-segan melawan pihak Jakarta yang tidak memberikan izin kepada pihak asing untuk memberikan bantuan terhadap Aceh.
"Apabila ada orang yang ingin memberikan bantuan dalam keadaan musibah dahsyat ini kepada kita, lalu kita tolak, berartikan bodoh," begitu kira-kira ungkapan yang diberikan.
Ada pesan yang ingin disampaikan kepada pihak Jakarta dan tepat di ulu jantungnya para pemangku kebijakan. Sudah tidak mau ditetapkan sebagai bencana nasional, lalu tidak diizinkan menerima bantuan asing. INI TINDAKAN GILA dari Pemerintah. Atau mungkin mereka mau membiarkan masyarakat ini mati pelan-pelan dengan kelaparan yang memanjang? Sudah tidak ada rumah, hidup di pengungsian, lalu tidak ada bantuan yang memadai.
Katanya Pemerintah sanggup dan mampu menangani sendiri. Buktinya masih banyak daerah terisolir dan belum terjamah lewat jalan darat.
Semoga kepada Gubernur Aceh, Muzakir Manaf, diberikan kesehatan dan umur panjang. Mewakili rakyat Aceh yang telah memilih Bapak sebagai Gubernur, kami ikut merasa bangga, dan kali ini betul dan tepat pilihan kami.
Sejatinya seperti itulah seorang gubernur dipilih rakyat: hidup bersama rakyat dan berjuang bersama rakyat dalam berbagai kondisi.
Sehat selalu, Panglima.
Penulis adalah Mahasiswa Doktoral Program Studi Islam UINSUNA dan Guru SMA Negeri 1Lhokseumawe

0 Komentar