Sastra Sebagai Cermin Retak Masyarakat, Sebuah Dialektika Sosiologi Sastra dan Kritik Sosial

  

 Foto: Tangkapan Layar

Oleh: Mukhlis, S.Pd., M.Pd.

Sahabat sastra yang budiman, sering kali kita terjebak pada stigma bahwa karya sastra hanyalah sebuah "khayalan" pengarang yang lahir dari ruang sunyi. Padahal, jika kita telisik lebih dalam, sastra tidak pernah benar-benar lahir dari kekosongan (vacuum). Ia adalah anak kandung zamannya. 

Sastra dan masyarakat memiliki hubungan dialektis yang tak terpisahkan. Sastra dipengaruhi oleh lingkungan sosial, dan sebaliknya, sastra mampu memberi pengaruh, bahkan guncangan bagi tatanan masyarakat.

Dalam khazanah ilmu sastra, fenomena ini memunculkan urgensi kajian sosiologi sastra. Mengapa kita perlu membacanya? Karena melalui sastra, kita tidak hanya menikmati keindahan kata, tetapi juga menelusuri rekam jejak peradaban dan kegelisahan sosial manusia. Berikut adalah uraian mendalam mengenai irisan antara sosiologi sastra, kritik sastra, dan fungsinya sebagai kontrol sosial.

1. Hakikat Sosiologi Sastra, Membaca Teks, dan  Memahami Konteks

Secara etimologis, sosiologi sastra lahir dari perkawinan dua disiplin ilmu, yaitu  sosiologi dan sastra. Ratna (2009) menguraikan bahwa sosiologi (dari kata socius dan logos) adalah ilmu yang mempelajari jaringan hubungan antarmanusia secara objektif dan empiris. 

Sementara sastra (dari akar kata sas dan tra) adalah alat untuk mengajar atau memberi petunjuk. Ketika keduanya bersatu, sosiologi sastra menjadi pisau analisis untuk membedah karya sastra dengan mempertimbangkan aspek-aspek kemasyarakatannya.





Paradigma ini menegaskan bahwa tidak ada karya sastra tanpa masyarakat. Sastrawan adalah anggota masyarakat yang terikat status sosial, ideologi, dan budaya tertentu. Apa yang ditulisnya adalah respons terhadap realitas yang ia hadapi.

Senada dengan pemikiran Damono (2002), sosiologi sastra adalah pendekatan yang menggunakan analisis teks untuk mengetahui strukturnya, namun muaranya adalah memahami gejala sosial di luar sastra. Dalam perkembangannya yang terbaru, Endraswara (2021) juga menegaskan bahwa sosiologi sastra kini tidak hanya melihat cerminan masyarakat, tetapi juga bagaimana sastra menjadi dokumen sosiokultural yang merekam pergeseran nilai di era digital. Jadi, saat kita membaca novel atau cerpen, kita sejatinya sedang membaca "laporan sosiologis" yang dikemas dengan estetika bahasa.

2. Kritik Sastra, Menimbang Mutu, dan Bukan Sekadar Menghakimi

Sering kali kata "kritik" dimaknai negatif sebagai upaya mencari kesalahan. Padahal, dalam ilmu sastra, kritik adalah sebuah seni penilaian yang mulia. Merujuk pada Pradopo (2011) dan Yudiono (2009), kritik sastra adalah ilmu untuk menghakimi karya sastra guna memberikan penilaian baik-buruknya secara objektif maupun subjektif.

Kritik sastra bekerja dengan menimbang kompleksitas, koherensi, dan integritas sebuah karya. Seorang kritikus sastra tidak bekerja dengan "perasaan" semata, melainkan dengan kaidah keilmuan. Tujuannya bukan untuk menjatuhkan penulis, melainkan mendorong sastrawan mencapai penciptaan tertinggi dan membantu pembaca mengapresiasi karya dengan lebih baik.

Dalam konteks sosial, kritik sastra berfungsi sebagai jembatan. Ketika sebuah karya sastra mengangkat isu kemiskinan atau ketidakadilan, kritikuslah yang membedah apakah isu tersebut disampaikan dengan kedalaman makna yang filosofis atau hanya sekadar tempelan slogan semata. Kehadiran kritik sastra memastikan bahwa sastra yang beredar di masyarakat memiliki "gizi" intelektual yang layak konsumsi.

3. Sastra sebagai Kritik Sosial, Suara di Tengah Kebisuan

Poin paling krusial dalam pembahasan ini adalah peran sastra sebagai kritik sosial. Sastra bukan hanya tentang keindahan (estetika), tetapi juga tentang kebenaran (etika). Pradopo (2010) menyatakan bahwa karya sastra lahir sebagai refleksi pengarang terhadap gejala sosial di sekitarnya.

Ketika hukum tumpul dan politik membungkam suara, sastra sering kali hadir sebagai "parlemen" alternatif. Pengarang menangkap kegelisahan, konflik, dan ketimpangan sosial, lalu menyuarakannya melalui tokoh-tokoh fiktif. Seperti yang diungkapkan Nyoman Kutha Ratna (2010), masyarakatlah yang mengondisikan karya sastra.

Di era kontemporer, di mana media sosial mendominasi, peran kritik sosial dalam sastra semakin vital. Faruk (2020) dalam kajian terbarunya mengenai kebudayaan, menyebutkan bahwa sastra kini menjadi medan perebutan makna yang dinamis. 

Sastra menjadi medium untuk melakukan check and balance terhadap kekuasaan dan penyimpangan norma. Melalui kritik sosial dalam sastra, diharapkan terjadi inovasi sosial yang berujung pada harmonisasi kehidupan bermasyarakat. Sastra mengingatkan kita bahwa di balik angka-angka statistik kemiskinan atau kejahatan, ada kisah manusia yang perlu didengar.

Penutup

Dari pemaparan di atas, dapat kita simpulkan bahwa sosiologi sastra, kritik sastra, dan kritik sosial adalah tiga elemen yang saling menjalin kelindan. Sastra adalah cermin masyarakat. Jika cermin itu menampakkan wajah yang bopeng dan retak, maka janganlah cerminnya yang dipecahkan. Sebaliknya, kita harus berterima kasih kepada sastra karena ia telah jujur memperlihatkan realitas yang mungkin selama ini kita abaikan.

Mari kita jadikan kegiatan membaca dan mengkritik sastra sebagai upaya intelektual untuk memahami manusia dan memanusiakan masyarakat. Teruslah berkarya, teruslah kritis, dan salam literasi!

Penulis adalah Mahasiswa  Doktoral Program Studi Islam UINSUNA dan Guru SMA Negeri 1 Lhokseumawe








Berita Terkait

Posting Komentar

0 Komentar