Cerpen: Perahu dari Papan Tulis

 


Foto: Dokumen  Pribadi 

Karya Hamdani Mulya

Hujan deras yang mengguyur Aceh Utara selama beberapa hari telah menyebabkan Sungai Krueng Pase meluap, membanjiri desa-desa di sekitarnya. Salah satu desa yang terkena dampak parah adalah Geudong, sebuah desa kecil yang terletak di tepi sungai. Sekolah Dasar Geudong, yang berdiri kokoh selama puluhan tahun, kini terancam tenggelam.

Pak Ahmad, guru senior yang telah mengabdikan diri selama 20 tahun, berdiri di tengah halaman sekolah yang mulai terendam air. Dia melihat murid-muridnya yang berlari ke sana-sini, mencari tempat yang lebih tinggi. Bu Muslimah, guru kelas 3, sibuk mengumpulkan buku-buku dan peralatan sekolah, berusaha menyelamatkan apa yang bisa diselamatkan.

"Bu, cepat! Kita harus menyelamatkan murid-murid!" seru Pak Ahmad, suaranya nyaris tenggelam oleh suara gemuruh air.

Bu Muslimah mengangkat kepala, wajahnya penuh kekhawatiran. "Pak, airnya semakin deras! Apa yang bisa kita lakukan?"

Pak Ahmad melihat sekeliling, mencari ide. Matanya berhenti pada papan tulis yang copot dari dinding kelas. "Aha! Itu bisa jadi perahu kita!"

Dengan cepat, Pak Ahmad dan Bu Muslimah menarik papan tulis itu ke tepi air. Mereka membantu siswa-siswa naik ke atasnya, satu per satu. Fitri, Rasya, Budi dan beberapa siswa lainnya sudah berada di atas papan tulis, wajah mereka penuh ketakutan.

"Pak, saya takut!" seru Fitri, suaranya bergetar.

Pak Ahmad tersenyum, mencoba menenangkan. "Jangan takut, anak-anak. Kita akan selamat. Allah akan menjaga kita."

Pak Ali, penjaga sekolah, datang berlari. "Pak, Pak! Airnya semakin naik! Kita harus pergi sekarang juga!"

Pak Ahmad mengangguk. "Baik, Pak Ali. Bantu kami!"

Mereka semua naik ke atas papan tulis, yang mulai terombang-ambing. Pak Ahmad sendiri naik terakhir, memegang erat ujung papan tulis.

"Pegang erat, anak-anak! Kita akan selamat!" serunya, sambil mengarahkan perahu darurat itu ke arah yang lebih aman.

Air banjir deras membawa mereka melaju ke tengah kota, melewati rumah-rumah yang terendam, pepohonan yang tumbang, dan kendaraan yang terhanyut. Pak Ahmad dan Bu Muslimah terus berdoa, berharap agar murid-murid mereka selamat.

Setelah beberapa jam berlayar, mereka akhirnya mencapai tempat yang lebih tinggi, di dekat Masjid Raya Geudong. Warga desa yang sudah berkumpul di sana menyambut mereka dengan gembira.

Pak Ahmad turun dari perahu darurat itu, merangkul murid-muridnya yang sudah aman. "Alhamdulillah, kita selamat, anak-anak. Kita harus kuat, seperti sungai Aceh yang tak pernah berhenti mengalir."

Bu Muslimah menangis, menatap haru ke arah Pak Ahmad. "Terima kasih, Pak. Anda benar-benar pahlawan kami."

Pak Ahmad tersenyum, mata berkaca-kaca. "Tidak, Bu. Kita semua adalah pahlawan, karena kita bersama-sama menghadapi musibah ini."

Warga desa mulai membantu, membagikan makanan dan minuman kepada mereka yang selamat. Pak Ahmad dan Bu Muslimah terus memantau murid-muridnya, memastikan mereka semua aman.

"Fitri, Rasya, apa kalian baik-baik saja?" tanya Pak Ahmad, memeriksa murid-muridnya satu per satu.

Fitri dan Rasya mengangguk, masih terlihat ketakutan. "Iya, Pak. Kami baik-baik saja."

Pak Ahmad tersenyum, lega. "Alhamdulillah. Kita akan melalui ini bersama, anak-anak."

Dan di tengah-tengah kekacauan, Pak Ahmad dan murid-muridnya menemukan kekuatan dalam kesabaran dan keimanan. Mereka tahu bahwa mereka tidak sendirian, bahwa Allah selalu ada bersama mereka, menjaga dan melindungi mereka dari bahaya.

Lhokseumawe, 12 Desember 2025

Riwayat Penulis

Hamdani Mulya adalah Guru SMAN 1 Lhokseumawe. Lahir di desa Paya Bili, Kec. Meurah Mulia, Kab. Aceh Utara 10 Mai 1979. Alumni Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, Universitas Syiah Kuala (USK). Karya Hamdani Mulya dipublikasikan di harian Serambi Indonesia, Kutaradja, Waspada, Haba Rakyat, Majalah Fakta, Santunan Jadid, Seumangat BRR, Meutuah Diklat, dan Jurnal Al-Huda.

Puisinya juga terkumpul bersama penyair Indonesia dalam buku antologi puisi Dalam Beku Waktu (2003), Paru Dunia (2016), Yogja dalam Nafasku (2016), Aceh 5:03 6,4 SR (FAM 2017), dan Gempa Pidie Jaya (2017). Selain menulis puisi dan cerpen Hamdani juga menulis artikel pendidikan, sejarah, dan esai bertema lingkungan.

Hamdani Mulya telah berhasil menulis beberapa buku diantaranya berjudul Jejak Dakwah Sultan Malikussaleh dan Wajah Aceh dalam Puisi yang diterbitkan oleh Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Aceh tahun 2020.


Berita Terkait

Posting Komentar

0 Komentar