Foto: Dokumen Pribadi
Oleh: Naila Syifa
Hujan turun sejak subuh, deras tanpa jeda. Awan hitam menggantung rendah di atas lereng Gunung Seulawah. Sungai Krueng Aceh yang biasanya tenang, hari itu bergemuruh seperti sedang menyimpan amarah. Rahma, seorang ibu di sebuah desa kecil Aceh Besar, duduk gelisah di beranda rumahnya.
“Mak, air di sungai cepat naik!” teriak Hasan, putranya yang berusia sepuluh tahun.
Rahma bangkit. Beberapa hari terakhir, berita lokal sudah menyinggung tingginya curah hujan dan potensi banjir bandang. Namun tak ada yang menyangka hari ini adalah harinya bencana itu benar-benar datang.
Setelah Ayah Menikah Lagi
---
Menjelang sore, suara gemuruh besar terdengar dari arah pegunungan. Suara itu bukan petir—lebih dalam, lebih panjang, seperti tanah yang pecah. Warga berlarian ke luar rumah.
“Air! Dari gunung turun! Banjir bandang!” teriak seseorang.
Rahma segera menggenggam tangan Hasan dan berlari. Dari kejauhan, mereka melihat dinding air bercampur lumpur dan puing-puing pohon menghantam desa. Arusnya ganas, seolah ingin menelan apa pun yang dilaluinya.
Air naik drastis. Dalam hitungan detik, kedalaman sepinggang berubah menjadi setinggi dada. Rahma dan Hasan berpegangan pada pagar masjid desa.
“Mak… aku takut…” Hasan terisak.
“Pegang Mak kuat-kuat, Nak…”
Namun sebuah batang pohon besar terseret arus menghantam pagar dengan keras. Pegangan Rahma terlepas. Air menyeret tubuhnya beberapa meter. Ia mengulurkan tangan, mencoba meraih Hasan yang terbawa arus.
“Hasaaaan!!”
Jeritannya pecah, tertelan suara gemuruh air yang mengamuk.
---
Fajar datang membawa kesunyian yang mengerikan. Desa itu porak-poranda. Lumpur menutup jalanan, rumah-rumah roboh, dan sungai masih membawa sisa-sisa kehancuran. Tim SAR datang terbatas karena jalan utama menuju desa terputus total. Truk bantuan tidak bisa masuk. Beberapa jembatan ambruk dihantam arus.
Kenangan yang Tak Terlupakan
Tidak ada listrik. Tidak ada internet. Pesan ke keluarga di luar desa tak dapat dikirim. Semua orang terputus dari dunia luar.
Persediaan makanan hampir habis. Warung-warung terseret banjir, ladang rusak, dan warga hanya punya mi instan basah yang tersisa dari dapur-dapur yang masih berdiri. Anak-anak menangis kelaparan, sementara orang dewasa mencoba tetap kuat.
Rahma duduk di samping puing rumahnya, tubuhnya gemetar. Di tangannya, ia menggenggam sandal kecil Hasan yang ditemukan tim SAR tidak jauh dari sungai.
“Bu… mohon sabar. Kami masih mencari di sekitar tebing sungai. Banyak korban banjir Aceh yang ditemukan beberapa hari setelah kejadian,” kata seorang relawan lembut.
Tak ada internet untuk memberi kabar. Tak ada jalan untuk mencari bantuan lebih besar. Hanya harapan tipis yang tersisa.
Rahma mengusap sandal itu, seolah membelai kaki kecil Hasan.
“Hasan… pulanglah, Nak… meski hanya sekali lagi…” bisiknya sambil menangis.
---
Malam-malam berikutnya, desa hanya diterangi cahaya lilin dan lampu minyak. Hujan masih turun kecil-kecil, menambah resah. Perut warga perih karena lapar. Anak-anak meringkuk dalam kedinginan. Dunia seolah lupa bahwa di sudut Aceh, ada desa yang sekarat menunggu pertolongan.
Di tengah kesedihan itu, Rahma tetap duduk setiap pagi di dekat sungai, menunggu kabar. Entah kabar tentang anaknya… atau tentang bantuan yang bisa menembus jalur terputus itu.
Aceh kembali menangis hari itu. Dan Rahma, seperti banyak ibu Aceh lainnya, hanya berharap air yang merenggut segalanya suatu hari membawa pulang apa yang hilang darinya.
Editor : Hamdani Mulya

0 Komentar