Ketika Anjing Berilmu Lebih Mulia dari Manusia, Sebuah Refleksi Pendidikan Tinggi

 

Foto: Dokumen  Pribadi

Oleh: Mukhlis, S.Pd.  M.Pd.

Sebuah pertanyaan bergelayut dalam benak, berdenyut tak henti sejak penulis dinyatakan lulus sebagai mahasiswa Program Doktoral di sebuah Universitas Islam di Aceh. Pertanyaan itu sederhana, namun maknanya bagai tamparan keras, laksana dengungan tawon yang riuh mengiringi ratu yang berpindah sarang.

Penulis menyadari, pertanyaan itu meluncur begitu saja, tanpa evaluasi mendalam melalui kacamata keilmuan, tanpa mempertimbangkan kebutuhan pengetahuan, apalagi tuntutan zaman. Ia melesat seperti anak panah lepas dari busur, tak tahu objek mana yang akan disasar.

Sebagai pengantar dari pertanyaan tersebut, perlu diketahui bahwa penulis adalah seorang guru yang telah mengabdi selama 20 tahun di sebuah SMA favorit di kota yang kaya akan kisah heroik dan legenda Aceh. Sebagai insan yang sadar betul akan pentingnya ilmu pengetahuan, penulis mencoba melanjutkan studi ke jenjang S3.

Seorang sahabat kental, dengan nada syahdu, melontarkan pertanyaan itu di sela-sela kami menyeruput kopi. Penulis tak tahu apakah ia bercanda, atau ada ganjalan yang mengendap di pikirannya. 

Tiba-tiba, ia bertanya, "Untuk apa melanjutkan kuliah S3 lagi? Bukankah S2 sudah lebih dari cukup, apalagi kita mengajar di tingkat SMA?" Belum sempat jawaban diberikan, ia menimpali dengan pertanyaan lain yang menusuk ulu jantung, "Apa korelasinya pendidikan guru strata tiga dengan pembelajaran yang ada di SMA?"

Berhari-hari, bahkan berminggu-minggu, pertanyaan itu penulis simpan dalam kantung pikiran. Penulis mencari solusi dari kegelisahan tersebut. Hingga akhirnya, jawaban itu perlahan terkuak dari ceramah seorang Syekh asal Mesir yang diundang untuk memberikan kuliah umum kepada calon mahasiswa S2 dan S3 di kampus tersebut.

Tulisan ini bertujuan untuk menegaskan bahwa menuntut ilmu adalah suatu kewajiban yang melekat pada diri manusia. Penulis akan mengulasnya dalam beberapa ide dan sub-ide secara lebih detail.

Keutamaan Menuntut Ilmu dalam Islam

Sudah menjadi pengetahuan umum tentang keutamaan menuntut ilmu dalam kehidupan manusia, khususnya dalam konteks agama Islam. Rasulullah Muhammad SAW, sebagai penghulu nabi dan sumber utama penciptaan bumi ini, adalah sosok yang pertama kali diperintahkan Allah untuk menerima wahyu di Gua Hira, yaitu tentang "Iqra'".

Dalam konteks keilmuan, "Iqra'" berarti membaca. Membaca bukan sekadar melafalkan lambang bunyi. Namun, "membaca" dalam konteks universal wahyu pertama yang diterima Rasulullah SAW adalah membaca yang melibatkan seluruh elemen berpikir tentang segala sesuatu yang ada dan merupakan ciptaan Allah SWT Yang Maha Kuasa.

Melalui pelibatan semua elemen berpikir, akan timbul banyak pertanyaan yang harus dicari jawabannya. Jawaban-jawaban yang dicari dari setiap pertanyaan tersebut tentu saja ditemukan melalui ilmu.

Tanpa pengetahuan yang cukup, manusia tidak akan mengetahui berapa jarak bulan dan matahari. Mereka tidak akan memahami apa dan siapa yang berputar di antariksa bumi ini. 

Mereka juga tidak akan memahami bagaimana air laut dengan dua rasa dan perbedaan warna tidak pernah bercampur pada lautan yang sama (Masya Allah).

Selanjutnya, ilmu yang dipelajari merupakan kewajiban bagi setiap manusia, sebagaimana hadis Rasulullah, "طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ" (Menuntut ilmu itu wajib atas setiap Muslim). Berbicara tentang kewajiban dalam kehidupan amaliah berarti memunculkan ganjaran yang luar biasa dari Sang Pencipta apabila hal itu tidak dilakukan.

Kemudian, untuk menguatkan hal yang sudah dipaparkan di atas, adalah janji Allah bahwa orang-orang yang menuntut ilmu akan diberikan derajat yang tinggi dibandingkan orang lain. Artinya, orang yang berilmu akan diberikan kemudahan dalam hidup, baik dari segi kemuliaan maupun rezeki yang melimpah.

Jika diurutkan dengan pemikiran logis dan sistematis tentang peran ilmu dalam meningkatkan derajat bagi setiap orang yang memiliki ilmu, misalnya, orang yang menuntut ilmu akan mendapatkan kehormatan dan empati dari orang lain karena mereka dianggap sebagai orang mulia di sisi Allah. 

Selanjutnya, orang-orang yang memiliki ilmu akan memiliki posisi strategis pada tempat-tempat tertentu, sehingga dengan posisi tersebut mereka akan mendapatkan kenikmatan rezeki dari Allah SWT.

Selanjutnya, orang-orang yang berilmu lebih mulia dari ahli ibadah. Ini membuktikan bahwa setiap amaliah yang dilakukan, baik ibadah maupun ilmu, merupakan hal yang tak terhindarkan. 

Bagaimana ia bisa salat dengan baik dan benar jika dilakukan tanpa mengetahui unsur syarat sah salat yang termaktub dalam hukum fikih? Sementara itu, orang yang ahli ibadah yang hanya melakukan pemujaan kepada Allah tanpa melibatkan ilmu, maka akan terjadi malapetaka besar dalam kehidupan beragama.

Anjing Berilmu Lebih Mulia daripada Manusia?

Subjudul ini menarik untuk dicermati, bahwa seekor binatang yang sangat hina sekalipun akan dianggap mulia dari manusia apabila ia mempunyai ilmu. Hal ini sesuai dengan Surat Al-Maidah ayat 4:

Katakanlah: “Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatihnya untuk berburu; kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu. Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepaskannya). Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat cepat hisab-Nya.” (QS. Al-Maidah: 4).

Konsep yang dapat dipahami dari ayat di atas adalah Allah menghalalkan makanan yang dibawa pulang oleh buruan yang dilakukan oleh anjing. Padahal, secara umum anjing itu binatang yang bernajis. 

Namun, karena anjing yang dimaksud dalam konsep di atas adalah anjing yang cerdas dengan memiliki pengetahuan tentang berburu dan sudah dilatih sedemikian rupa, maka Allah mengizinkan manusia untuk memakan hasil buruan tersebut.

Penutup

Penulis merasa tulisan ini membutuhkan penegasan penutup. Mengingat masalah yang dibahas berakar dari dua pertanyaan fenomenal tentang keutamaan menuntut ilmu, perlu ditegaskan bahwa menuntut ilmu bersifat tanpa batas (unlimited). 

Artinya, menuntut ilmu tidak mengenal batas ruang dan waktu, batas usia, golongan, atau status sosial. Semua itu bukanlah batasan dan halangan dalam melakukan kewajiban utama sebagai manusia yang ada di dunia ini.

Penulis adalah  Mahasiswa  Doktoral   Studi Islam  UINSUNA    dan Guru SMAN1  Lhokseumawe 

Berita Terkait

Posting Komentar

0 Komentar