Foto: Dokumen Pribadi
Oleh : Farhan Al Fathyan
Sejak kecil aku selalu ingin membuat orang tuaku bangga. Aku iri pada teman-teman yang sering dipanggil ke depan kelas untuk menerima penghargaan atas prestasi mereka. Sementara aku hanya bisa menonton dari bangku belakang, bertanya-tanya: apa yang bisa kulakukan agar aku bisa seperti mereka?Pertanyaan itu terus berputar di kepalaku, hingga akhirnya terjawab ketika aku memasuki SMA.
Saat masa MPLS, aku melihat berbagai pertunjukan dari ekskul yang ada di SMA 1 Lhokseumawe. Satu per satu tampil dengan semangat, tapi tak ada yang menarik perhatianku. Sampai akhirnya, ekskul terakhir menuju ke lapangan : Paskibra. Suara hentakan kaki mereka begitu keras, membuat para penonton terdiam. Pandanganku terpaku, mataku hanya tertuju pada mereka. Hatiku bergetar, seakan berkata: “Aku juga ingin seperti mereka.”
Sepulang sekolah, aku mencari tahu lebih banyak tentang paskibra. Saat itu aku baru tahu bahwa ada yang lebih besar dari sekadar paskibra sekolah, yaitu Paskibraka, pasukan pengibar bendera pusaka di tingkat kota, provinsi, hingga nasional. Hati kecilku semakin yakin: inilah jalanku.
Malamnya, Aku memberanikan diri bertanya kepada ibu.
“Bu, bolehkah Aku ikut paskibra?”
Ibu terdiam sesaat, lalu menjawab dengan ragu, “Tapi Ibu ingin kamu ikut olimpiade matematika…”
Aku tahu ibu menginginkan yang terbaik untukku, tapi aku juga tahu di mana letak mimpiku. Dengan penuh keyakinan aku berkata, “Aku janji tetap ikut olimpiade, tapi izinkan aku juga mengikuti paskibra.”Akhirnya, dengan pasrah, ibu mengizinkan. Namun syarat itu tetap melekat: aku harus menjalani keduanya.
Hari seleksi paskibra sekolah tiba. Aku sempat minder melihat teman-teman lain yang lebih tinggi dan sudah berpengalaman. Berbeda denganku yang baru tahu tentang paskibra beberapa hari sebelumnya. Tapi aku menolak menyerah. Aku mengikuti seleksi dengan semangat, meski langkahku kaku dan nafasku terbata.
Ketika pengumuman keluar, aku hampir tak percaya membaca namaku di daftar kelulusan. Aku lolos! Sejak hari itu, mimpiku tumbuh semakin besar: aku ingin menjadi Paskibraka Kota Lhokseumawe.
Hari pertama latihan aku tidak tahu harus berbuat apa. Semua terasa asing, langkah-langkah yang bagi orang lain terlihat sederhana justru membuatku kaku. Nafasku terengah-engah ketika harus berlari mengelilingi lapangan, tanganku gemetar saat push up, dan kakiku terasa kaku ketika harus baris berbaris.
Namun di balik rasa lelah itu, ada api kecil yang terus menyala. Setiap kali keringat menetes, aku selalu ingat satu hal: wajah orang tuaku. Aku ingin suatu hari nanti mereka menyaksikan aku berdiri tegak, dengan seragam kebanggaan, mengibarkan bendera merah putih di hadapan banyak orang.
Hari-hari latihan berikutnya tidak mudah. Ada saat ketika Aku hampir menyerah, tubuh terasa remuk, dan suara pelatih yang keras membuatku ingin mundur. Tapi setiap malam, aku selalu berkata pada diriku sendiri: “Aku tidak boleh kalah. Aku sudah memilih jalan ini, aku harus menuntaskannya.”
Sedikit demi sedikit, aku mulai terbiasa. Napasku tidak lagi sesak saat berlari, tubuhku menjadi lebih kuat, langkahku semakin tegap. Bahkan, aku mulai merasakan kebersamaan yang luar biasa bersama teman-teman seperjuangan. Kami jatuh bersama, bangkit bersama, dan saling menyemangati ketika ada yang hampir menyerah.
Sampai pada suatu sore, pelatih berkata dengan suara lantang, "SIAPAPUN DIANTARA KALIAN YANG BERTAHAN AKAN DIPILIH UNTUK MENGIKUTI SELEKSI PASKIBRAKA"
Jantungku berdegup kencang. Inilah saat yang kutunggu. Impian kecil yang dulu hanya sebatas kagum kini mulai berubah menjadi kenyataan. Aku tahu jalan ini masih panjang, penuh ujian dan pengorbanan, tetapi aku percaya inilah perjalanan yang akan membuatku bukan hanya membanggakan orang tuaku, tapi juga mengharumkan nama sekolah, bahkan kota ini.
Dan sejak hari itu, setiap langkah kakiku bukan lagi sekadar langkah untuk mengikuti latihan tapi langkah menuju sebuah kehormatan.
Hari-hari latihan di sekolah terus berjalan. Setiap kali pelatih menyebut kata “seleksi paskibraka kota”, hatiku bergetar. Aku sadar, peluang ini tidak datang dua kali.
Tibalah hari seleksi Paskibraka Kota. Aku berdiri di lapangan bersama puluhan siswa terbaik dari berbagai SMA. Seleksi dimulai bukan dengan fisik, melainkan dengan tes wawasan kebangsaan dan tes intelegensi umum.
Di dalam aula, suasana hening. Lembar soal dibagikan. Pertanyaan-pertanyaan seputar sejarah, UUD 1945, Pancasila, hingga pahlawan nasional membuatku berpikir keras. Setelah itu, tes logika dan hitungan cepat menguras tenagaku. Tangan gemetar, tapi aku terus berusaha.
Selesai tes tertulis, kami langsung diarahkan ke lapangan untuk tes fisik. Lari 12 menit tanpa berhenti membuat nafasku hampir habis. Kakiku kaku, keringat mengalir deras, tapi aku terus berlari. “Aku harus bertahan,” bisikku.
Kemudian, baris-berbaris. Suara komandan menggema, hentakan kaki peserta membuat tanah bergetar. Aku berusaha mengikuti ritme, Hari itu benar-benar menguras pikiran, tenaga, bahkan emosi.
Malamnya aku sulit tidur. Bayangan soal yang terlewat dan rasa lelah membuatku cemas. Namun aku mencoba menenangkan diri: “Kalau ini memang jalanku, pasti tidak akan kemana.”
Keesokan harinya, pengumuman dibacakan. Saat namaku berada di pengumuman kelulusan, aku terdiam. Rasanya seperti mimpi. Aku lolos sebagai calon anggota Paskibraka Kota Lhokseumawe.
Hari-hari karantina setelah itu adalah ujian terberat. Bangun pukul lima pagi, kami langsung lari keliling lapangan. Siangnya latihan fisik dan formasi, malamnya pembekalan kebangsaan. Tubuhku sering remuk, kakiku lecet, suaraku serak. Ada saat ketika aku hampir menyerah.
Namun aku ingat wajah ibu, dan janji kecilku untuk membuatnya bangga. Itu yang membuatku bertahan.
Di tengah rasa lelah, aku menemukan hal yang tak kalah berharga: kebersamaan. Kami jatuh bersama, bangkit bersama, dan saling menguatkan. Aku belajar bahwa menjadi paskibraka bukan hanya soal berdiri tegak, tapi juga soal mengibarkan semangat persatuan.
Hingga akhirnya, tanggal 17 Agustus pun tiba.
Pagi itu, lapangan kota Lhokseumawe penuh sesak, ribuan orang hadir. Aku berdiri tegak dengan seragam putih, dada berdebar kencang.
Saat aba-aba diberikan, kami mulai melangkah. Suara hentakan kaki menggema, tegas dan penuh wibawa. Aku melangkah dengan keyakinan penuh, seakan setiap hentakan adalah doa untuk negeri ini.
Momen paling sakral akhirnya tiba: pengibaran sang merah putih. Aku menatap bendera itu perlahan naik, berkibar gagah di langit biru. Suara lagu kebangsaan bergema, dan ribuan orang berdiri hormat. Dadaku bergemuruh, air mata hampir jatuh.
“Inilah tujuan semua perjuanganku. Inilah caraku membuat orang tuaku bangga.”
Kini, setiap kali aku menatap langit dan melihat sang merah putih berkibar, hatiku selalu tergetar. Aku teringat pada keringat yang jatuh di lapangan, pada rasa sakit di tubuh, pada malam-malam penuh keraguan yang akhirnya terbayar tuntas oleh sebuah kehormatan.
Aku belajar satu hal dari perjalanan ini: mimpi tidak datang begitu saja. Ia harus diperjuangkan dengan air mata, kesabaran, dan keyakinan yang tak pernah padam.
Menjadi paskibraka bukanlah akhir dari perjalanan, melainkan awal dari langkah yang lebih besar. Langkah untuk terus menjaga nilai kedisiplinan, kebersamaan, dan rasa cinta tanah air di setiap detak kehidupan.
Satu hal yang kini kupegang erat dalam hidupku: “Janganlah ragu untuk mencapai sesuatu, karena jika sesuatu itu sudah ditunjukkan kepadamu, maka ia akan tetap menjadi milikmu.”
Penulis adalah Siswa Kelas XI -2 Progrma Unggulan SMA Negeri 1 Lhokseumawe
0 Komentar