Foto Dokumen Pribadi
Oleh: Alya Zafira
Pagi itu, aroma masakan ibu menyebar ke seluruh penjuru rumah, mengalahkan kenikmatan restoran bintang lima mana pun. Aku menyantapnya dengan lahap, tak pernah tersisa sedikit pun.
“Masakan Ibu memang tak pernah gagal, apalagi hari ini Ibu memasak udang tumis kesukaanku,”
Celetukku spontan. Ibu tersenyum tipis, tawanya renyah. Senyum hangatnya selalu teduh, menjadi tempatku bersandar kala sedih, gelisah, gundah, dan wadah untuk segala cerita.
Bagaimana jadinya jika aku hidup tanpa sosoknya? Ibu Sari, sapaan akrab para tetangga, dikenal karena kedermawanannya, sering berbagi masakan lezat kepada warga desa.
Tentu saja, hampa rasanya kini ruang keluarga tanpa celotehan dan lelucon ibu.
Ibu pernah berujar, “Nak, kamu harus jadi orang sukses ya, banggakan ibu, ayah, dan orang-orang sekitar. Belajar yang tekun, ibu akan dukung apa pun keputusan yang kamu ambil.” Mendengar itu, perasaanku campur aduk.
Aku memimpikan kuliah di luar kota dan bekerja di sana sejak kecil. Namun, di sisi lain, aku tak ingin berjauhan dengan ibu. Dilema ini sungguh berat. Impianku besar, dan ibu mendukungnya. Aku segera bangkit dari ranjang, menghampiri ibu di ruang tamu
“Ibu, bolehkah aku izin merantau ke luar kota untuk kuliah dan bekerja? Peluang di sana besar, Bu, banyak orang-orang hebat. Tapi, di satu sisi, aku tidak mau berpisah dengan
Ibu...” Ibu menepuk pelan bahuku.
“Nak, kamu tahu kan bagaimana caranya membuat ibu senang? Gapailah semua yang kamu inginkan, Lia. Ibu akan dukung apa pun itu, ibu tak mau jadi penghalang cita-citamu.”
Hatiku tersentuh, ingin rasanya mendekap ibu erat-erat. Kembali ke kamar, aku membulatkan tekad untuk menyusun rencana kuliah di luar kota, walau ada sedikit berat karena harus berjarak jauh dengan ibu.
Lima bulan berlalu, aku tekun belajar, senantiasa memohon doa dari ibu. Seminggu lagi ujian masuk perkuliahan tiba. Aku menyiapkan segala peralatan dan memperketat latihan soal.
Setelah pengumuman kelulusan, aku tercengang melihat namaku masuk kategori "LULUS”. Ibu sangat senang dan terharu melihat putrinya berhasil bersaing dan berkesempatan kuliah di luar kota.
Setibanya di kota baru, aku merasa asing. Gedung-gedung tinggi, perumahan rapi, orangorang dengan kesibukan masing-masing. Dan kini, aku adalah bagian dari kota ini.
Cerita Pendek: Warisan Tak Terduga
Hari demi hari berlalu tanpa kehadiran ibu. Dulu, sepulang sekolah, selalu ada makanan tersaji di meja makan. Kini, hanya bermodalkan layar ponsel untuk mendengar suaranya.
Rindu rasanya bersua di ruang tamu, mengenang hangatnya senda gurau kami, membuat hatiku remuk. Ibu rutin mengirimkan pesan,
“Jangan lupa makan anakku sayang,”
“Lia jangan terlalu kecapean ya... kalau kamu capek, telepon ibu saja,”
“Jangan lupa salat, Li, doakan untuk ibu juga.” Rindu melekat dari segala arah.
Lima semester telah berlalu. Kehidupan kota terkadang menjenuhkan, tetapi aku sudah terbiasa. Tugas kuliah menumpuk, organisasi menuntut banyak waktu, dan aku harus membagi waktu lagi untuk kerja sampingan.
Aku bekerja di sebuah swalayan tempat temanku, berpenghasilan lumayan. Sering kali aku merasa dua puluh empat jam sehari masih kurang.
Karena itu, aku mulai sering mengabaikan notifikasi pesan dan dering telepon dari kampung halaman.
Notifikasi ibu selalu bermunculan di layar, tetapi aku lebih sering menekan tombol “nanti” atau mengirim pesan singkat, “Maaf ya, Bu, Lia lagi sibuk.” Rasa
jenuh dan lelah terus menghantuiku. Aku selalu berpikir, nanti pasti ada waktunya untuk bercerita panjang. Namun kenyataannya, itu hanya omongan semata.
Jam menunjukkan pukul 00.57. Malam sunyi, hanya ada suara jarum jam.
Aku masih berkutat dengan laptop dan kertas-kertas berantakan di atas meja, harus menyelesaikan tenggat waktu tugas.
“Ddrrr...”
Dering telepon berbunyi. Nomor yang masuk adalah telepon rumah. “Ini pasti dari Ibu,” pikirku sejenak. “Kenapa tengah malam begini? Bukankah Ibu biasanya tidur lebih cepat?”
Aku hampir menolak panggilan itu, tetapi entah mengapa jari-jariku justru menyentuh tombol hijau.
“ Assalamualaikum, Nak...”
Suara ibu terdengar serak dan agak parau.
“Waalaikumsalam, Bu... Kenapa? Tumben telepon malam-malam begini?” tanyaku sedikit panik. Ada jeda beberapa detik sebelum ibu menjawab.
“Ibu Cuma... kangen kamu, Lia. Takut kamu tidak sempat mengangkat telepon siang-siang, jadi ibu coba malam ini... Ibu rindu suara kamu...”
Dadaku terasa penuh dan sesak. Aku menoleh ke meja yang masih berantakan dan laptop.
Semua itu tiba-tiba terasa tidak sepenting suara di layar ponselku. Suara ibu terdengar bergetar, melanjutkan,
“Kamu sibuk sekali, Nak, ibu kadang takut mengganggu. Lia, setiap ibu melihat kursi kosong di meja makan, ibu selalu teringat kamu, senyum manis dan ocehan-ocehan kamu.
Hampa rasanya kamu tidak mengisi rumah di kampung lagi.” Aku terdiam. Air mataku tak bisa dibendung dan seketika mengalir deras. Semua kesibukan yang kupikir penting mendadak tak ada artinya dibanding kerinduan ibu.
“Bu... maaf...” Suaraku bergetar hebat.
“Aku terlalu sibuk mengejar hal-hal di sini sampai lupa kalau ada yang menungguku di ujung sana.”
Ibu tertawa kecil, meski aku tahu suaranya ditahan agar tak pecah. “Tidak apa-apa, Nak... Ibu hanya ingin mendengar suara lembutmu, itu sudah cukup.”
Hatiku rasanya seperti diremas. Betapa sibuknya aku di luar sana, bahkan ingin menolak dering telepon dari ibu.
“Lia juga kangen Ibu... Nanti kalau sudah waktunya pulang, masakin Lia yang banyak ya,
Bu. Lia kangen banget masakan Ibu, Lia rindu udang tumis buatan Ibu,” isak tangisku mulai terdengar jelas.
Malam itu aku berbicara lama dengan ibu, lebih lama dari perbincangan di ruang tamu dulu, meluapkan semuanya. Kami bercerita banyak hal, dari pengalaman ibu di kampung, kesibukanku, sampai kenangan masa kecilku.
Setelah telepon ditutup, ruang kamar langsung terasa hampa. Aku kembali menatap layar ponselku yang gelap, dan untuk pertama kalinya, aku merasa lega dan tenang. Rinduku sudah terobati.
Penulis adalah Siswa Kelas XI-1 Program Unggulan SMAN 1 Lhokseumawe
0 Komentar