Lebih Berharga dari Pertualangan

 

Foto: Dokumn  Pribadi

Oleh: Fayyadh Arda

Di sebuah desa yang amat tenang bernama Kampung Luwesu, anak-anak muda sedang bersantai dan berbincang-bincang di warung Emak Devi. Dengan nyanyian burung pada pagi hari dan suara gemericik sungai di pinggir warung, mereka bercakap-cakap santai sambil memikirkan rencana masa depan.

“Woi, lihat itu si Udin, belum apa-apa sudah kepedasan!” kata Andi dengan nada nyeleneh.

“Yaelah, makanan ini sudah biasa gue makan,” balas Udin dengan nada tak mau kalah.

Baca Juga

Pagi untuk Ibu, Langkah untuk Masa Depan

“Ya sudahlah...” Andi menyerah sambil menyeruput mi yang masih mengepul.

By the way, kalian ada rencana tidak ke depannya?” tanya Nicholas kepada Andi dan Udin.

Of cos, eh of ces, eh... maksudku Oscarrrr!” Andi berusaha menyebutkan kalimat itu dengan gaya lucu.

“Hahaha!”

“Nah, lihat itu... akibat sering bolos pelajaran Bahasa Inggris, ya,” Udin tertawa terbahak-bahak.

Of course, Andi... of course...” Nicholas menanggapi dengan nada lembut.

Ketiganya tetap serius berdiskusi soal masa depan, meskipun kepedasan dan bercucuran keringat.

“Hei, jadi... bagaimana rencana kita ke depan? Kira-kira mau ke mana ini?” tanya Nicholas lagi.

“Gue ada usul, nih, bagaimana kalau kita naik gunung saja?” jawab Udin penuh semangat.

“Tidak! Gue tidak setuju. Lu saja buang air lama, Din. Bagaimana nanti naik gunung? Pasti lu tersesat!” seru Andi sambil menepuk meja warung.

“Rencana gue begini... bagaimana kalau kita pergi saja ke Kota Dingin,” kata Andi pelan.

“Hah? Kota Dingin? Apa itu?” Udin dan Nicholas berseru serempak.

“Iya... Kota Dingin,” jawab Andi mantap.

Udin dan Nicholas terdiam. Nama “Kota Dingin” terdengar asing di telinga mereka. Kota? Dingin? Apakah ada salju? Atau hanya sekadar kota yang hawanya dingin? 

Pikiran mereka mulai dihantui rasa penasaran. Istilah “Kota Dingin” membuat tubuh mereka ikut-ikutan berkeringat dingin. Mereka tahu, perjalanan itu butuh persiapan matang.

Udin dan Andi beranjak dari warung Emak Devi, sementara Nicholas menyusul dari belakang.

“Woi! Sembarangan saja! Sudah bayar belum?!” seru Emak Devi

Suatu Pagi di Madrasah Sang Juara

Udin dan Andi langsung kaget sambil menggeleng.

“O, iya, hehe... belum bayar, Bu!” Andi mengorek saku dan mentraktir Udin, lalu membayar kepada Emak Devi. Nicholas juga ikut membayar.

Mereka bertiga pun keluar dari warung dengan senyum lebar.

Mereka melanjutkan langkah ke rumah Nicholas.

“Mewah banget rumah lu, ya, Nicholas,” komentar Udin sambil melongo.

Of course! This house can transform into a robot if you want!” jawab Nicholas sambil menutup mulut, tertawa.

“Wuih, keren banget!” Udin langsung percaya.

Nicholas mempersilakan mereka masuk. Tanpa basa-basi, Andi dan Udin langsung rebahan di sofa. Mereka tertawa bersama, meski sebenarnya menertawakan diri sendiri.

Nicholas datang membawa dua gelas teh hangat.

“Wah, terima kasih, ya, kawan baik, hehe,” kata Andi sambil menyeruput teh.

“Jadi... bagaimana rencana kita ke Kota Dingin itu?” tanya Nicholas.

Baca Juga

Setelah Ayah Menikah Lagi

Andi menaruh gelasnya dan berbicara serius.

“Kita perlu persiapan matang. Kota itu bukan sembarang kota. Makanan, perlengkapan, bahkan kita mungkin butuh senjata kalau perlu.”

“Wih, bahaya banget, ya, rencana lu,” celetuk Udin.

“Kira-kira apa saja yang perlu kita bawa ke sana?” tanya Nicholas.

Teh hangat habis. Diskusi menjadi makin serius.

Udin mulai ketakutan.

“Andi, bagaimana kalau kita tidak usah saja ke sana? Soalnya bahaya. Nanti lu dimakan harimau bagaimana?”

“Tidak bisa! Otak gue sudah lelah memikirkan rencana ini dari awal!” bentak Andi.

Udin kaget.

“Andi, lu tidak percaya sama gue?” seru Udin.

Andi berdiri, menarik kerah baju Udin.

“Lu mau melawan gue?”

“Gue tidak setuju dengan idemu, ANDI!” balas Udin dengan emosi.

Tanpa banyak kata, Andi memukul Udin. Udin mencoba menghindar, tetapi gagal. Tinju Andi mendarat tepat di hidung Udin.

Nicholas, si tuan rumah yang elegan, mencoba melerai. Namun, usahanya sia-sia.

Baca Juga


Tanpa pikir panjang, Nicholas membuka lemari, mengambil pistol, dan menodongkannya ke arah mereka.

“Kalian berdua selesai sekarang, ha!”

Andi dan Udin langsung diam, berdiri tegak seperti patung.

“Tembak saja aku kalau kau berani!” teriak Andi.

Jari Nicholas sudah di ujung pelatuk. Satu sentuhan saja, timah panas bisa melesat ke wajah Andi.

“Aku... tidak bisa. Sudahlah. Menyerah saja kalian. Aku tidak akan bisa membunuh teman masa kecilku sendiri...” ucap Nicholas lirih, air matanya jatuh.

“Kota Dingin, persiapan, bla-bla... lupakan saja.”

Nicholas meletakkan pistolnya perlahan.

“Kalian selalu saja membuat masalah kecil menjadi besar.”

Andi dan Udin menunduk, wajah mereka menunjukkan penyesalan.

Situasi yang menegang pun mereda. Nicholas menarik napas dalam-dalam.

“Kalian belum tahu apa-apa tentang Kota Dingin itu!” ujarnya.

Andi dan Udin kembali duduk di sofa, meski amarah belum sepenuhnya padam.

“Memangnya lu tahu apa soal kota itu?” tanya Andi.

“Aku... sudah pernah ke kota itu. Dua tahun yang lalu,” jawab Nicholas.

Andi dan Udin terkejut. Mereka tak menyangka, tempat yang mereka kira misterius itu sudah pernah dikunjungi sahabatnya sendiri.

Awan mulai berwarna merah. Sore menjelang. Namun, mereka masih ingin mendengar cerita Nicholas.

“Bagaimana perjalanan lu ke Kota Dingin? Menggigil tidak?” tanya Udin sambil tertawa gugup.

“Jangan menertawakan orang lain dulu, Din. Mau hidung lu patah?” ancam Andi.

Udin cepat-cepat minta maaf. “Iya, maaf. Ampun, Bang!”

Nicholas menatap tajam keduanya.

“Dua tahun lalu, gue nekat pergi ke Kota Dingin. But I don’t know apa yang membuat gue ingin ke sana,” ucap Nicholas sambil mengangkat tangan, bingung.

“Kota itu... menyeramkan.”

Kata “menyeramkan” mulai meresap ke hati Andi dan Udin. Mereka mulai memahami bahwa kata “dingin” bukan hanya tentang suhu.

“Kota itu sangat dingin. Gedung-gedung tinggi tertutup kabut tebal. Hawa aneh muncul di sana,” ujar Nicholas.

“Penduduknya juga aneh. Banyak pencuri, penculik, dan penjahat muncul pada malam hari.”

Nicholas diam sejenak, lalu berkata, “Saat gue di sana, gue merasa seperti berkhayal. Bahkan berpikir, 'Apa gue benar-benar ada di kota itu?'”

“Tidak banyak yang gue ingat... Seperti pikiran gue dicuci di sana.”

Andi dan Udin makin serius mendengar cerita itu. Mereka saling bertatapan.

Andi mengusap kepala. “Ternyata, Din... saran lu bagus juga.”

“Tidak semua hal harus gue paksakan demi bersenang-senang. Toh, di sana juga berbahaya.

“Yeh, mulai, nih, klarifikasinya,” Udin mengolok Andi.

“Gue mau minta maaf atas perbuatan gue tadi, Din...” ucap Andi tulus.

“Iya, deh... Tapi ada syaratnya: ikan gabus ketemu lele, traktir gue lagi, ya, haha...” Udin mengeluarkan pantun sambil tertawa.

Akhirnya mereka berpelukan, saling meminta maaf.

Kota Dingin masih menyimpan misteri yang belum terpecahkan. Namun, kisah ketiga anak muda ini bisa membuka mata kita tentang arti penting persahabatan.

Kota itu mungkin penuh hawa menyeramkan, penduduk yang mencurigakan, dan aura yang membuat merinding. Tapi yang lebih penting dari semua itu...

Sahabat sejati lebih berharga daripada petualangan apa pun.


Penulis adalah Siswa Kelas XI.2 Program Unggulan SMAN 1Lhokseumawe 



Berita Terkait

Posting Komentar

0 Komentar