Foto: Dokumen Pribadi
Oleh: Muklis Puna
Pagi masih ranum di halaman Madrasah Aliyah Negeri itu, sebuah madrasah yang oleh orang-orang sekabupaten dijuluki sebagai ‘Madrasah Sang Juara’.
Mentari baru saja menumpahkan emas cairnya ke pucuk-pucuk pohon mahoni, menebarkan kehangatan yang merayap lembut di kulit. Embun-embun terakhir di helai rumput jepang berkilauan seperti serpihan berlian yang pasrah untuk segera menguap ke angkasa
.
Di teras utama, di bawah tatapan kaligrafi ayat-ayat suci yang terukir di dinding, sekelompok siswa tengah khusyuk dalam sebuah latihan.
Mereka adalah para jawara, tunas-tunas terbaik yang akan diutus mewakili kabupaten juang ke arena kompetisi sastra tingkat provinsi.
Udara yang tadinya tenang dan penuh konsentrasi itu tiba-tiba beriak, terusik oleh langkah kaki yang tergesa dan berirama ketukan sepatu pantofel yang angkuh.
Seorang guru perempuan, dengan kerudung yang disetrika kaku dan riasan wajah yang terlalu tebal untuk kesederhanaan pagi, berhenti beberapa meter dari mereka.
Namanya Bu Fatimah, seorang guru yang baru dimutasi dari kabupaten X, membawa serta segudang sertifikat dan reputasi yang selalu ia gembar-gemborkan di setiap kesempatan.
Matanya yang sipit menatap tajam, memindai para siswa dari ujung rambut hingga ujung kaki, seolah mencari-cari cacat pada sebuah mahakarya.
Salah seorang siswa, Fauzan namanya, sedang berada di puncak deklamasinya. Suaranya meliuk, kadang menggelegar seperti guntur, kadang berdesir lirih laksana bisikan angin.
Setiap jeda dan intonasinya adalah hasil gemblengan berbulan-bulan, sebuah persembahan totalitas pada bait-bait puisi di tangannya.
Namun, saat ia baru saja akan menutup penampilannya dengan kalimat pamungkas yang menyentuh jiwa, suara sumbang itu membelah keheningan.
"Begini cara Kalian baca puisi? Siapa yang seleksi?"
Pertanyaan itu meluncur bukan sebagai sebuah keingintahuan, melainkan sebagai belati yang sengaja dilemparkan untuk merobek kepercayaan diri. Tajam, dingin, dan menghakimi.
Fauzan tertegun, napasnya tertahan di kerongkongan. Teman-temannya yang semula menyimak dengan saksama, kini saling berpandangan.
Baca Juga:
Kenangan yang Tak Terlupakan
Wajah-wajah muda yang tadi memancarkan semangat itu kini meredup, terbalut kabut kebingungan dan risih. Ada jeda sejenak, jeda yang terasa lebih panjang dari yang seharusnya, di mana hanya suara jangkrik pagi yang berani mengisi kekosongan.
Lalu, seolah tersadar dari mantra keterkejutan, mereka menjawab dengan serentak. Suara mereka padu, tegas, dan mengandung getar kebanggaan yang tak bisa ditutupi.
"Pak Muklis Puna, Bu!"
Nama itu. Nama yang mereka sebut dengan penuh hormat itu, terdengar seperti bara api yang disiramkan ke telinga Bu Fatimah. Mendengar nama itu, Bu guru yang merasa dirinya paling profesional di seantero negeri itu seketika merasa berang dan alergi.
Wajahnya yang tadi hanya mengeras, kini memerah padam seolah disiram lahar kemarahan dari kawah hatinya sendiri. Ia merasakan kerongkongannya kerontang, dibakar oleh api iri yang telah lama ia pendam sejak pertama kali menginjakkan kaki di madrasah ini dan mendengar nama itu selalu disebut-sebut dengan decak kagum.
"Pak Muklis Puna?" desisnya, nama itu keluar dari bibirnya seperti racun. Lalu ia pun berkomentar. Suaranya naik turun seperti gelombang badai. "Pak Muklis Puna itu gak tau apa-apa tentang puisi! Ia tak pernah tahu event Porseni tingkat nasional! FLS3N itu makanannya apa, dia tidak paham!"
Dengan membusungkan dada, mulutnya berbuih-buih memuncratkan pengalaman tentang prestasi yang pernah diraihnya. Ia seperti membuka sebuah album usang yang dipaksakan untuk dilihat semua orang. "
Saya ini juri tetap tingkat provinsi! Saya yang membawa siswa dari sekolah lama saya sampai ke Istana Negara, bertemu langsung dengan menteri! Kalian tahu apa? Kalian hanya dilatih oleh orang yang dunianya sebatas kabupaten ini saja!"
Suara-suara prestasi yang ia pekikkan semakin lama semakin bising, menjadi polusi audio yang mengganggu pendengaran dan merusak ketenangan pagi.
Ia terus nyerocos, memuntahkan setiap medali dan piala dalam bentuk kata-kata, membangun sebuah monumen keangkuhan di tengah teras madrasah.
Baca Juga;
Terdakwa Jalanan
Para siswa terdiam, namun diam mereka bukanlah diam karena takut atau setuju. Itu adalah diam yang menimbang, diam yang mengumpulkan kekuatan.
Tiba-tiba, Fauzan, siswa yang tadi deklamasinya dipotong tanpa adab, melangkah maju selangkah. Matanya yang jernih menatap lurus ke arah Bu Fatimah.
Dengan nada yang terkendali namun sarat dengan geram yang tertahan, ia menyela di tengah hiruk-pikuk arogansi itu. Ia menerobos batas usianya, berbicara sebagai seorang seniman yang karyanya baru saja dinistakan.
"Maaf, Bu!"
Suara Fauzan tidak keras, tapi cukup tajam untuk memotong rentetan kalimat Bu Fatimah. Sang guru terdiam, kaget karena keberanian anak kemarin sore itu.
"Dengan segala hormat atas semua prestasi Ibu," lanjut Fauzan, "izinkan saya bertanya. Ibu sudah pernah cipta puisi untuk dibukukan lalu dibaca orang lain? Dibaca bukan karena tugas sekolah, tapi karena mereka menemukan jiwa mereka di dalamnya?"
Pertanyaan pertama itu menghunjam tepat di ulu hati Bu Fatimah. Ia terkesiap. Selama ini, puisinya hanya sebatas materi ajar dan contoh soal di ujian. Tak pernah ada penerbit yang sudi meliriknya.
Fauzan tidak memberinya waktu untuk pulih. Ia melancarkan serangan kedua, lebih menusuk dan lebih telak.
"Coba deh, Bu. Coba Ibu baca sekali saja puisi di depan kami. Puisi apa saja. Sebagai motivasi bagi kami yang akan berangkat ke provinsi. Tunjukkan pada kami bagaimana seharusnya membaca puisi yang benar menurut standar nasional Ibu itu!"
Ujar Fauzan dengan kening berkerut, sebuah kerutan yang bukan hanya menunjukkan keheranan, tetapi juga tantangan.
Dua pertanyaan itu, yang dilontarkan oleh seorang remaja yang akan melaju ke tingkat provinsi mewakili kabupaten juang, bagaikan dua godam tak terlihat yang menghantam Bu Fatimah.
Sang ibu, yang sedang berjuang menghadang masa pensiun dengan usia buncit dan kulit yang mulai keriput, ia tersentak! Panggung megah yang ia bangun dengan bualan-bualannya tadi runtuh seketika, menimpa dirinya sendiri.
Dunia di sekelilingnya terasa berputar. Ia merasa seolah matahari yang hangat tadi kini berlari melawan halaunya, menarik kembali cahayanya dan meninggalkan dirinya dalam kegelapan yang dingin.
Bara panas menggantung di pelupuk mata, siap tumpah menjadi air mata malu dan marah. Rasa amarah yang menggelegak tadi kini berbalik arah, bukan lagi pada Pak Muklis Puna atau para siswa, melainkan pada dirinya sendiri. Amarah itu menggerus dadanya, menciptakan lubang kehampaan yang perih.
Kakinya serasa terpasak di ubin teras madrasah. Dinginnya keramik menjalar naik, membekukan sendi-sendinya. Ia ingin membalas, ingin berteriak, ingin menunjukkan bahwa ia bisa.
Tapi mulutnya terkunci. Tenggorokannya yang tadi kering karena iri, kini tersekat oleh ketidakmampuan. Ia sadar, ia adalah seorang teknisi lomba, bukan seorang seniman. Ia tahu cara menilai, tapi ia lupa cara merasa. Ia tahu cara mengkritik, tapi ia lupa cara mencipta.
Dengan muka yang telah dilumuri adonan dendam dan malu, dengan katupan bibir yang dipasung rapat oleh kekalahan telak, ia akhirnya berhasil menggerakkan kakinya.
Ia membalikkan badan, tanpa sepatah kata pun. Setiap langkahnya terasa berat, seolah menyeret beban kekecewaan yang tak terhingga dalam balutan kerudung penutup uban. Kerudung kaku itu kini tampak layu, tak mampu lagi menyembunyikan getar di bahunya.
Ia berlalu, meninggalkan keheningan yang lebih pekat dari sebelumnya. Para siswa menatap kepergiannya, bukan dengan sorak kemenangan, melainkan dengan napas lega yang panjang. Mereka, para juara sejati, tahu bahwa kemenangan barusan bukanlah untuk dirayakan.
Fauzan kembali ke tengah lingkaran teman-temannya. Ia memungut kembali kertas puisi yang tadi sempat terjatuh. Ia menatap teman-temannya, dan sebuah senyum tipis terukir di bibirnya.
"Kita lanjutkan," bisiknya.
Dan di pagi yang mulai beranjak siang itu, suara deklamasi puisi kembali mengalun. Kali ini lebih syahdu, lebih bertenaga, lebih hidup.
Suara mereka adalah bukti bahwa seni sejati tidak lahir dari sertifikat dan piala, melainkan dari hati yang tulus dan bimbingan guru yang mengajarkan cara merasa, bukan sekadar cara berlomba.
Nama Muklis Puna seolah ikut bergetar dalam setiap bait yang mereka ucapkan, menjadi roh yang tak terlihat di teras madrasah sang juara.
Penulis adalah Guru SMAN 1Lhokseumawe
0 Komentar