Foto: Pixel.com
Oleh: Mukhlis, S.Pd., M Pd.
“Jangan sering membalas Budi, karena belum tentu Budi yang bersalah.”
Pelesetan getir itu mungkin masih relevan untuk mengenang tragedi yang menimpa Ahmad Budi Cahyanto, seorang guru honorer di Madura yang meninggal dunia di tangan muridnya sendiri pada awal Februari 2018.
Kasus tersebut menampar keras wajah pendidikan Indonesia. Mata publik terbelalak, bertanya-tanya mencari kambing hitam: siapa yang harus disalahkan?
Sayangnya, banyak yang berhenti pada reaksi sesaat, hanya melihat dampak tragisnya tanpa mau menyelami akar penyebab masalah yang jauh lebih dalam.
Meski sudah bertahun-tahun berlalu, luka itu masih terasa dan persoalannya kian kompleks. Dalih Hak Asasi Manusia (HAM) dan perlindungan anak sering kali menjadi semacam perisai yang membuat guru serbasalah.
Setiap tindakan disipliner sekecil apa pun seperti cubitan, jeweran, atau teguran keras untuk meluruskan perilaku siswa yang menyimpang, kini rawan dianggap pelanggaran.
Akibatnya, ribuan guru di seluruh negeri merasa terintimidasi. Tidak jarang mereka harus menanggung konsekuensi pahit: membayar denda, mendekam di penjara, bahkan kehilangan nyawa di tempat mereka seharusnya menebar ilmu.
Ketika seorang guru mencoba memberikan "motivasi ekstrinsik", para pegiat perlindungan anak tak jarang meradang, dengan retorika berapi-api menuding guru sebagai pelaku kekerasan.
Di tengah situasi ini, Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) sebagai organisasi profesi terbesar seolah terdiam, tak mampu berbuat banyak. Undang-Undang Guru dan Dosen No. 14 Tahun 2005 yang seharusnya menjadi payung hukum terasa belum cukup kokoh melindungi guru dari badai yang menerpa profesinya.
Organisasi ini terkadang lebih sibuk dengan formalitas ketimbang melakukan langkah-langkah pencegahan yang nyata. Kasus di atas adalah cermin retak dunia pendidikan kita.
Seorang guru honorer yang tulus mengabdi demi anak bangsa, dengan keyakinan bahwa pendidikan adalah rahim yang melahirkan semua profesi hebat di negeri ini.
Pertanyaan besar pun menggema: di mana suara para pegiat HAM, aktivis kemanusiaan, dan puluhan organisasi guru saat profesi ini dilecehkan?
Mengapa banyak yang bungkam saat guru menjadi korban? Syukurlah, kepekaan masih tersisa, seperti yang ditunjukkan oleh para penyair yang menyuarakan keprihatinan mereka lewat karya sastra.
Dunia pendidikan kita, dalam pandangan penulis, ibarat orang buang angin: baunya menyebar ke mana-mana, tapi wujudnya tak terlihat. Semua orang ikut berkomentar, sering kali hanya reaktif.
Padahal, pendidikan tak bisa dipisahkan dari guru. Guru adalah agen perubahan, pembentuk pola pikir dan karakter manusia seutuhnya, sesuai amanat tujuan pendidikan nasional yang ingin mencerdaskan kehidupan bangsa secara komprehensif.
Puisi di Media Sosial, Mencari Jati Diri di Tengah Riuh Rendah Kritik dan Keunikan yang Terabaikan
Lalu, mari kita lihat kurikulumnya. Kurikulum, yang silih berganti nama dan konsep dari K-13 hingga Kurikulum Merdeka.
Tampaknya belum sepenuhnya berhasil membentuk karakter peserta didik. Tantangan zaman yang semakin keras, terutama di era digital, belum terjawab tuntas lewat implementasi di kelas. Kebutuhan dunia kerja sering kali tak sejalan dengan lulusan yang dihasilkan, membuat tenaga kerja asing terus mengintai di setiap lowongan.
Meminjam filosofi almarhum Gubernur Aceh, Ibrahim Hasan: "Jaroe bak cangkôi, mata u pasè" (Tangan di cangkul, mata ke pasar). Artinya, seorang petani saat mencangkul sawah harus sudah memikirkan apa yang dibutuhkan pasar beberapa bulan ke depan.
Nah, kurikulum kita sering kali belum sampai pada visi seperti itu. Kita masih gagap membaca kebutuhan masa depan, dan ironisnya, latah mengubah sistem setiap kali menteri berganti. Mau dibawa ke mana sebenarnya arah pendidikan ini?
Guru, sebagai sutradara pembelajaran, justru kalang kabut oleh beban administrasi yang rumit dan menumpuk.
Penulis teringat sebuah kiasan dari peristiwa Isra' Mi'raj: seorang perempuan yang kepayahan mengangkat seikat kayu bakar. Alih-alih menguranginya, ia justru menambah beban itu. Inilah analogi yang pas untuk guru kita.
Kurikulum lama belum tuntas dipahami, kurikulum baru sudah datang tergopoh-gopoh membawa setumpuk aturan baru. Hadeehh!
Padahal, esensi kurikulum adalah membentuk karakter. Siswa diharapkan mengenal Tuhannya, memiliki akhlak mulia, dan menghargai sesama. Hubungan sosial yang humanis, rasa hormat pada guru dan orang tua, adalah muara dari semua proses belajar
Pertanyaannya, apakah semua itu sudah terwujud? Kasus Pak Budi dan guru lainnya serta rentetan kekerasan lain terhadap guru adalah bukti nyata bahwa kita masih jauh dari tujuan itu.
Akibatnya, banyak guru memilih "bermain aman". Mereka diam di sudut kelas, tak mau mengambil risiko yang mengancam karier dan keselamatan. Sudah menjadi rahasia umum: jika siswa sukses menembus perguruan tinggi ternama, yang ditanya adalah, "Anak siapa itu?" Akan tetapi jika siswa melakukan kesalahan fatal, pertanyaan sinis pun terlontar, "Siapa gurunya?"
Guru dan Profesinya yang Kian Tersisih
Saat penulis mengajar di sebuah kelas XII di sekolah unggulan, penulis iseng bertanya tentang cita-cita mereka. Dari 36 siswa dengan IQ di atas rata-rata, hanya empat orang yang ingin menjadi guru.
Selebihnya bermimpi menjadi dokter, pengacara, atau profesi lain yang dianggap lebih menjanjikan secara finansial. Ketika penulis mencoba menjelaskan bahwa profesi guru kini juga sejahtera berkat tunjangan sertifikasi, seorang siswa menimpali, "Jadi guru itu repot, Pak. Di depan dikerjain siswa, di belakang diomongin orang tua."
Dialog singkat itu membuat penulis terenyak. Bayangkan jika bibit-bibit unggul ini mau menjadi agen perubahan di dunia pendidikan. Mungkin kita bisa mengejar ketertinggalan, bahkan meniru Finlandia, di mana profesi guru begitu bergengsi hingga satu kursi di fakultas keguruan diperebutkan oleh sepuluh calon terbaik. Harus diakui, profesi guru di negeri kita sering kali masih menjadi "pilihan kedua".
Idealnya, guru adalah individu yang ditempa di lembaga pendidikan terakreditasi ketat, dibekali kompetensi pedagogik, profesional, sosial, dan kepribadian. Namun, realitas di lapangan, terutama di daerah terpencil, menunjukkan kekurangan guru yang masif.
Hal ini membuka pintu bagi "naturalisasi"—mereka yang bukan dari latar belakang pendidikan keguruan ikut mengajar. Meski niatnya baik, ini memunculkan tantangan baru dalam pembinaan karakter siswa. Begitu rumitnya benang kusut pendidikan kita, seolah membangun kembali rumah yang porak-poranda diterjang badai.
Dari rentetan analisis ini, apa yang bisa kita harapkan jika pembangunan pendidikan belum menemukan wujud yang sesuai dengan karakter bangsa?
Secara kolektif, kita belum sepenuhnya memandang guru sebagai rahim peradaban. Kebijakan yang ada sering kali belum tulus berpihak pada guru. Saat guru mendapat sedikit kesejahteraan lewat program sertifikasi, profesi lain ramai-ramai menuntut keadilan serupa.
Padahal, pekerjaan guru adalah pergulatan harian untuk membentuk manusia, bukan sekadar berhadapan dengan kertas yang jika salah bisa disobek dan diganti. Mungkinkah seorang guru "merobek" siswanya jika ia salah terbentuk?
Menanggapi judul tulisan ini, jika alur ceritanya terus begini, apakah kita harus heran jika ada siswa yang "membalas Budi" dengan cara yang paling tragis? Menjadikan guru sebagai tumbal dari masalah pendidikan yang multikompleks?
Jayalah Indonesiaku! Guru adalah segalanya. Tanpa guru, kita bukan siapa-siapa.
Penulis adalah Guru SMAN 1Lhokseumawe
0 Komentar