Pagi untuk Ibu, Langkah untuk Masa Depan

 

                Foro: Dokumen  Pribadi

Oleh: Fahrur Reza

Arif terbangun sebelum ayam berkokok. Udara masih gelap, dingin, dan sunyi. Jam dinding menunjukkan pukul 04.20 Wib. Dari celah papan rumah, angin lembap laut masuk perlahan, membawa aroma asin yang samar. 

Rumah mereka berdiri di pinggiran salah satu kota di Nanggroe Aceh Darussalam, rumah warisan dari sang nenek. Lokasinya tak jauh dari pesisir, sekitar satu kilometer dari laut, cukup untuk mendengar deburan ombak di malam hari.

Ia duduk di tikar lusuh itu sambil mengusap matanya. Suara dari dapur terdengar jelas, tus, tus, tus, suara butiran kacang yang menari di atas danau minyak panas, menyebarkan aroma harum yang membangunkan pagi.

“Rif, bangun, ya. Kita harus berjualan, Nak. Nanti kamu telat sekolah,” kata Ibu dari dapur.

“Iya, Bu.”

Dengan mata setengah terbuka, ia langsung berjalan ke kamar mandi di belakang rumah. Air sumur yang dingin menyapa wajahnya, mengusir rasa kantuk karena sejuknya udara pagi itu. 

Setelah itu, Arif langsung melaksanakan kewajibannya sebagai seorang Muslim, yaitu shalat. Ia pun langsung melaksanakan shalat Subuh di sudut rumahnya yang beralaskan sajadah yang sudah lusuh dan lantai semen yang dingin. 

Namun, di situlah dia selalu berdoa yang sama setiap paginya.

"Ya Allah, beri Ibu kesehatan. Biar aku bisa membantunya lebih banyak."

Arif baru kelas 7 SMP. Ia adalah anak bungsu dari tiga bersaudara: Abang Andi, kelas 12 SMA; Kakak Annissa, saudara perempuannya, kelas 10 SMA dan sudah sering ikut ibunya berjualan atau menjaga dagangan. 

Tapi Arif... dia yang paling kecil. Kadang merasa lemah. Ia terkadang hanya ingin sekolah seperti anak-anak lainnya, tapi ibu selalu berkata kepadanya, "Nak, kalau kita kuat dari kecil, pasti akan tumbuh besar dengan hati yang sabar.

Jadi, Arif harus terus semangat. Jangan pantang menyerah. Menyerah hanya berlaku untuk mereka yang lemah."

Di dapur, suasana sudah sibuk. Ibu mengaduk bumbu kacang, Bang Andi melipat daun pisang, dan Kak Nissa memotong lontong serta merebus mi. Arif langsung membantu tanpa banyak bicara.

Ibu mereka, Bu Marni, adalah penjual pecel dan mi caluk di pinggir jalan depan ruko temannya. Sejak bercerai dengan suaminya beberapa tahun lalu, ia berjuang sendirian untuk menghidupi anak-anaknya. 

Baca Juga: 

Ayah mereka tak pernah kembali. Tak ada uang kiriman, tak ada kabar, hanya ada kenangan satu lembar surat cerai yang tersimpan di lemari pakaian.

Mereka bukan orang yang sangat miskin, tetapi hidupnya pas-pasan. Cukup untuk makan, cukup untuk kebutuhan sekolah, asal hemat dan semua ikut bekerja membantu Ibu.

Arif merapikan kerupuk ke dalam kantong plastik. Tangan kecilnya sudah terbiasa dengan rutinitas ini. Saat anak-anak lain masih tidur di rumah yang hangat, ia sudah menghitung berapa gorengan yang dijual pagi ini.

Setelah semua selesai dikemas, mereka bertiga mendorong gerobak jualan tersebut ke tempat biasa. Jalanan kampung masih gelap, lampu jalan redup, dan hanya langkah kaki mereka yang terdengar. 

Bang Andi mendorong dari belakang, Kak Nissa menarik dari depan. Arif berjalan di samping Ibu sembari memegangi termos berisi air panas.

Lapak jualan mereka berada di sudut jalan, dekat dengan pohon besar dan warung kopi. Di situlah mereka membuka dagangan setiap pagi, dari pukul 06.00 sampai 09.00 atau 10.00.

Pecel Bu Marni ini memiliki beberapa pelanggan seperti tukang becak, guru sekolah, ASN, dan para ibu rumah tangga. 

Baca Juga: 

Mereka sangat suka bumbu atau sambal Bu Marni yang kental dan tidak pelit bumbu. Arif sudah tahu siapa yang membeli gorengan dan siapa yang sering meminta kerupuk lebih.

"Bu, seperti biasa, ya. Dua bungkus. Bumbunya pedas sedang saja ya, Bu."

"Kerupuk jangan banyak-banyak ya, Bu. Kolesterol, nih," "Hahaha, tapi enak bumbunya, Bu."

Pagi-pagi seperti ini, suara tawa dan obrolan pelanggan menjadi penyemangat. Tapi waktu Arif terbatas. Tepat pukul 06.15, ia harus lari pulang, mandi cepat, dan memakai seragam karena harus pergi ke sekolah pada pukul 07.00.

Ibu selalu mencium keningnya sebelum ia pergi ke sekolah. "Jangan malu, ya, Rif..., Ibu tahu kamu harus bantu Ibu terlebih dahulu sebelum sekolah."

"Enggak, Bu... Arif bangga."

Ia memang tidak punya sepatu baru. Seragamnya bekas dari abangnya yang warnanya sudah mulai menguning. 

Tapi setiap langkah ke sekolah, ia bawa semangat. Di balik tasnya yang berat, ia memikul harapan keluarga. Ia ingin jadi orang yang membuat Ibu beristirahat suatu hari nanti.

Jalan menuju sekolah berdebu. Arif berlari kecil melewati warung dan rumah-rumah warga. Jam sudah menunjukkan pukul 06.45, seragam SMP-nya yang kebesaran berkibar-kibar, tas yang penuh dengan buku, dan bekal nasi pecel dagangan ibu yang masih hangat dan terbungkus daun pisang.

Sekolah Arif tidak terlalu jauh dari rumahnya, berjarak kurang dari satu kilometer, melewati lapangan atau halaman masjid yang biasanya ramai saat sore oleh anak-anak yang bermain. Akhirnya, Arif sampai di sekolah dan masuk sebelum bel berbunyi.

Beberapa temannya sudah duduk di bangku depan, tertawa sambil bermain gim di ponsel mereka. Arif hanya tersenyum kecil dan duduk di pojok. 

Ia tidak punya ponsel, bahkan buku tulisnya saja banyak yang disampul ulang supaya tidak kelihatan bekasnya. Ia terbiasa duduk diam dan mencatat materi yang diberikan guru dengan rapi.

Namun, Eko, anak yang selalu diantar naik motor oleh orang tuanya, menyenggol pundak Arif dengan sengaja saat jam istirahat. 

"Eh, anak penjual pecel. Pagi-pagi sudah bau sambal kacang, ya?" ejeknya sambil tertawa, dan beberapa anak lain ikut tertawa. "Kamu bantu jualan dulu, ya, sebelum sekolah? Hahaha, kasihan banget."

Arif hanya diam. Ini bukan pertama kali dia diejek seperti itu. Tapi Arif masih mengingat nasihat sang Ibu. "Jika kamu membalas ejekan orang dengan marah, itu tandanya kamu kalah."

Arif melangkah pergi ke belakang kelas dan duduk di pojok, lalu membuka bekalnya. Nasi pecel buatan Ibu rasanya tetap juara. 

Sekalipun ada ejekan, dia tahu siapa dirinya. Ia punya keluarga yang kerja keras dan saling membantu. Itu sudah cukup dan membuat Arif bahagia.

Pada saat pelajaran Bahasa Indonesia, Pak Agus memberi tugas membuat karangan tentang "Impianmu di Masa Depan".

Anak-anak lain menulis ingin menjadi dokter, polisi, pengusaha, bahkan ada yang ingin menjadi artis media sosial atau influencer. Tetapi, Arif berbeda. Ia menulis:

"Saya ingin jadi guru karena saya ingin mengajar anak-anak dari keluarga susah seperti saya. Saya ingin Ibu saya duduk di rumah, minum teh saat pagi, tanpa harus bangun pagi-pagi buta untuk mengaduk sambal kacang dan bersiap-siap berjualan."

Tulisan itu membuat Pak Agus menatapnya lama setelah dikumpulkan. Pak Agus tidak bilang apa-apa saat itu. Namun, esok harinya, Arif dipanggil oleh Pak Agus ke ruang dewan guru.

"Arif, tulisan kamu kemarin bagus sekali. Bapak suka kamu anak yang kuat, ya?"

Arif hanya mengangguk. "Saya hanya ingin Ibu saya senang, Pak."

"Boleh Bapak bantu sedikit? Bapak punya sepatu bekas, masih bagus. Mau kamu pakai?"

"Boleh, Pak. Tapi jangan beri tahu teman-teman, ya, Pak."

Mereka berdua tertawa kecil. Hari itu Arif pulang dengan sepatu yang lebih layak dari biasanya, dan semangat yang bertambah satu tingkat lagi.

Hari-hari berlalu. Musim hujan mulai datang. Pagi-pagi saat Arif dan keluarganya mendorong gerobak, hujan gerimis mengguyur mereka di jalanan tanah. 

Sepatu pemberian Pak Agus kini mulai usang, tetapi tetap dipakai dengan bangga. Lapak pecel mereka dilindungi dengan terpal plastik sederhana. Tetapi, pelanggan tetap datang, meski jumlahnya berkurang karena hujan.

Suatu pagi, saat hujan datang lebih deras dari biasanya, seorang laki-laki paruh baya datang ke lapak. Pakaiannya rapi, rambutnya sudah memutih, tatapannya tajam namun hangat. Ia memesan sepiring pecel, lalu duduk di bangku kayu kecil.

"Bu, ini pecelnya enak sekali. Saya dulu pernah makan pecel yang rasanya mirip sekali seperti ini di tempat teman saya di Jogja," katanya sambil mengunyah perlahan.

Ibu hanya tersenyum sopan, "Bumbu saya ini resep dari almarhumah Ibu saya, Pak."

Bapak itu mengangguk. Ia menatap Arif yang sedang menyusun gorengan. "Kamu sekolah di mana, Nak?"

"SMP 2, Pak," jawab Arif.

Ternyata, Bapak itu adalah Pak Surya, seorang pensiunan dosen dan penggiat pendidikan kampung yang sedang mendata anak-anak berprestasi dari keluarga kurang mampu.

Beberapa hari kemudian, Pak Agus datang ke rumah Arif bersama Pak Surya. Mereka membawa kabar baik, Arif akan diberi beasiswa penuh hingga SMA. Bahkan, jika terus berprestasi, ia bisa dibantu sampai ke perguruan tinggi.

Ibu menangis malam itu. Bukan karena kecewa atau kelelahan, tetapi karena haru dan syukur. Arif hanya menggenggam tangan Ibunya.

"Ibu jangan lelah lagi, ya, nanti. Kalau Arif sudah sukses, Arif mau buka warung pecel yang besar buat Ibu, pakai atap bagus, pakai kursi empuk, dan enggak kehujanan lagi."

Ibu tertawa di sela tangisnya, "Ibu tidak butuh warung besar, Nak. Ibu hanya butuh lihat kalian bahagia dan menjadi orang baik."

Waktu terus berjalan. Dua tahun telah berlalu. Bang Andi kini telah melanjutkan pendidikan dan mengambil kursus di bidang pelayaran. Kak Annissa kini telah lulus SMA dan bekerja di balai desa di bidang koperasi sambil melanjutkan kuliah di bidang Ekonomi di universitas negeri dengan bantuan beasiswa dari pemerintah.

Arif kini duduk di bangku kelas 9 SMP. Nilainya selalu masuk peringkat lima besar. Ia menjadi ketua kelas dan pernah memenangkan lomba menulis cerita pendek tingkat kabupaten/kota. Tapi ia tetap bangun pagi, tetap membantu ibu berjualan, dan tetap shalat sebelum memulai hari.

Pagi itu, sebelum ujian semester, ia berdiri dan bercermin di depan cermin kecil di kamarnya. Dengan seragam rapi, rambut disisir, dan tatapan yang penuh semangat. Di kantongnya, ada selembar kertas kecil tulisan dari sang ibu:

"Nak... jangan takut jadi besar, dan jangan pernah lupa menjadi orang yang rendah hati."

Ia mencium tangan Ibunya sebelum pergi ke sekolah. Lapak pecel masih buka seperti biasa. Tapi kini, pelanggan mereka semakin ramai dan ada kursi tambahan dari hasil kerja keras mereka sendiri.

Di ujung jalan, saat matahari mulai muncul di atas langit, Arif melangkah seperti biasanya. Jalan hidupnya mungkin masih panjang, mungkin tetap berat. Tapi kini, ia tahu ke mana harus melangkah.

Ia bukan anak penjual pecel. Ia adalah harapan.

Dan harapan itu kini telah mempunyai pijakan yang kokoh.


Penulis adalah  Siswa kelas .XII. 1  Program Unggulan  SMA  N 1 Lhokseumawe 


Berita Terkait

Posting Komentar

0 Komentar