Oleh: Mukhlis, S.Pd., M.Pd.
Di zaman sekarang, masihkah relevan bertanya, "Kamu pilih jurusan apa?" Saat siswa naik kelas di jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA), ada satu fenomena menarik yang terus berkembang seiring laju zaman. Fenomena ini ditandai dengan pergeseran bakat dan minat siswa ketika mereka berada di SMA.
Dulu, saat penulis masih belajar di tingkat SMA, ada sebuah kebanggaan tersendiri, ketika berhasil masuk dan belajar di jurusan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA).
Rival sejati dari jurusan tersebut adalah siswa yang memilih atau, lebih tepatnya, ditempatkan di jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Ada kebanggaan khusus bagi siswa yang berhasil masuk di jurusan IPA.
Baca Juga:
Feature, Merajut Fakta, Menyentuh Jiwa Seni Bertutur dalam Jurnalisme
Mengapa penulis menggunakan kata "ditempatkan" pada jurusan IPS? Sebab, kala itu ada paradigma berpikir yang terasa dangkal terhadap jurusan IPS. Siswa yang cenderung dianggap agak nakal dan tidak mengerti apa-apa biasanya akan ditempatkan di kelas IPS.
Menyakitkan memang, jika para siswa yang waktu itu bercita-cita menjadi dokter harus dimasukkan ke kelas IPS hanya karena kuota nilai tidak memenuhi syarat.
Akibatnya, siswa-siswa cerdas di bidang eksakta merasa seolah-olah dunia telah berpaling kepadanya. Mereka mendapat perlakuan istimewa dari guru dan pihak sekolah. Bahkan, untuk menjadi wali kelas saja, harus dipilih dari guru-guru yang berlatar belakang pendidikan dari disiplin ilmu IPA.
Tulisan ini bertujuan menunjukkan perbedaan signifikan antara paradigma pemilihan jurusan pada masa lalu dan masa kini, sebagaimana pengamatan penulis selaku guru yang mengajar di tingkat SMA.
Tentu saja, fenomena ini tidak berdiri sendiri, tetapi selalu bersinggungan dengan faktor-faktor lain yang sejalan dengan perkembangan terkini.
Anggapan Dunia Kerja Hanya Memihak pada Lulusan Jurusan IPA
Sebagian orang tua mengarahkan anaknya untuk memilih jurusan bukan berdasarkan bakat yang dimiliki. Mereka cenderung mendorong anaknya untuk memilih jurusan IPA, padahal jika dikaji dari profil nilainya, anak tersebut lebih cocok masuk ke jurusan IPS. Namun, dunia memang berkata lain, fenomena dunia IPA pada saat itu memang dianggap lebih menjanjikan.
Secara kasat mata, jika kita melakukan observasi secara cermat dan detail, orang-orang yang dulunya memilih jurusan IPS saat di SMA justru lebih mudah dan nyaman dalam bekerja.
Orang-orang yang melayani publik dan menjalankan kebijakan, misalnya yang bekerja di bank, kantor kejaksaan, ahli politik, ahli pendidikan, bahkan para programmer, ternyata rata-rata berasal dari kelompok IPS.
Lalu, mengapa orang-orang lebih memilih jurusan IPA? Hal ini didasari oleh beberapa faktor. Dalam amatan penulis yang berdisiplin ilmu IPS, orang yang memahami ilmu eksakta dengan baik cenderung lebih mudah dalam mengaplikasikan ilmu IPS.
Baca Juga:
Puisi di Media Sosial, Mencari Jati Diri di Tengah Riuh Rendah Kritik dan Keunikan yang Terabaikan
Dari uraian tersebut, jika kita mengacu pada contoh kehidupan sehari-hari, berapa banyak siswa berlatar belakang IPA yang akhirnya mengikuti perkuliahan di jurusan IPS, seperti fakultas ekonomi? Ini adalah sesuatu yang sangat kentara dalam kehidupan siswa saat ini.
Penulis sering sekali ditanyai oleh siswa-siswa yang memiliki kemampuan lebih untuk dimasukkan ke kelas-kelas eksak. Bahkan, di kelas tersebut, ia termasuk siswa yang paling mendominasi dalam pembelajaran IPA.
Namun, ketika pertanyaan disasarkan di akhir kelas XII, dengan santainya ia menjawab, “Pak, nanti waktu kuliah saya mau pilih jurusan ekonomi.” Bagaimana kita menghadapinya?
Uraian dan contoh yang sudah dikemukakan secara gamblang di atas menunjukkan bahwa dalam menentukan bakat dan minat. Orang tua sering kali mendominasi untuk mengarahkan siswa sesuai selera mereka, tanpa menghiraukan kemampuan yang dimiliki siswa.
Rendahnya sosialisasi mengenai penjurusan kepada orang tua menjadi faktor penentu mengapa hal ini bisa terjadi dan muncul bagai bola salju dalam dunia pendidikan Indonesia saat ini.
Selanjutnya, ada fenomena menarik yang terjadi di negeri ini jika dikaitkan dengan bakat minat yang dimiliki anak dan yang diinginkan oleh orang tua.
Ketika ditanya tentang cita-cita pada anak berusia di atas lima tahun atau yang duduk di Sekolah Dasar (SD), hampir 50% dari mereka menjawab ingin menjadi dokter dan insinyur saat dewasa nanti.
Ini adalah sebuah fakta bahwa minat terhadap mata pelajaran IPA seakan sudah tertanam secara alamiah.
Fenomena ini diperparah oleh dukungan orang tua yang menganggap profesi dokter dan insinyur adalah profesi yang menghasilkan finansial luar biasa. Dukungan ini juga diperkuat oleh kisah-kisah keberhasilan anak-anak yang mampu mewujudkan cita-cita tersebut.
Anehnya, cita-cita menjadi dokter dan insinyur kebanyakan dimiliki oleh anak-anak dari keluarga yang orang tuanya sangat mumpuni secara ekonomi. Hal ini berbanding terbalik dengan anak-anak dari orang tua berpenghasilan rendah.
Sudah menjadi pemahaman umum bahwa profesi tersebut membutuhkan banyak "cuan" dan materi untuk mencapainya. Bagi anak yang orang tuanya tidak berkecukupan, cita-cita menjadi dokter sering kali hanya berfungsi sebagai inspirasi seremonial dalam imajinasi.
Pengaruh Teknologi dan Media Komunikasi terhadap Pemilihan Bakat Minat
Saat ini, teknologi semakin maju, ruang-ruang seakan hilang tak lagi bersekat. Informasi berkembang bagai kilat di musim penghujan.
Sebentar muncul, lalu menghilang disertai angin kencang dan puting beliung informasi. Sangat sulit membedakan antara fakta dan ilusi, antara kebenaran dan berita hoaks.
Media teknologi telah merambah semua ranah tanpa memandang kelas, status sosial, dan tempat. Di mana saja dan kapan saja, peristiwa bisa diakses dalam waktu cepat berkat arus teknologi yang begitu canggih.
Seiring perjalanan waktu, media teknologi menjadi pegangan bagi semua kalangan, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa. Dalam kondisi seperti ini, banyak pekerjaan yang dulunya dikerjakan secara manual dengan waktu lama, kini dapat diselesaikan dalam waktu singkat dan sering kali tanpa biaya.
Aplikasi-aplikasi robotik telah memberikan kemudahan bagi manusia, baik sebagai pekerja maupun sebagai pengguna jasa.
Berkaca dari sini, cukup banyak profesi yang dijalani manusia berabad-abad lamanya kini hilang begitu saja, digantikan oleh mesin yang bekerja tanpa butuh jaminan kesehatan dan asuransi jiwa.
Munculnya Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligence atau AI) telah memporak-porandakan tatanan berpikir, dunia pendidikan, dan semua lini kehidupan.
Paradigma baru ini justru telah menciptakan lowongan-lowongan kerja baru melalui berbagai platform media sosial. Munculnya platform seperti YouTube, TikTok, dan X telah melahirkan kreator konten, sebuah jenis pekerjaan baru yang menghasilkan cuan luar biasa.
Jika pertanyaan di awal tulisan ini kita ulangi lagi kepada anak-anak milenial dan Generasi Z, "Nak, kalau besar nanti cita-citamu apa?" kita tidak akan lagi mendengar jawaban mau jadi dokter, insinyur, apalagi guru.
Menurut mereka, itu adalah cita-cita orang zaman dulu yang untuk mewujudkannya butuh proses terlalu lama, panjang, dan melelahkan. Sebaliknya, mereka akan menjawab ingin menjadi kreator konten, YouTuber, atau programmer. Ini dianggap lebih menjanjikan dan seakan menjadi jalan pintas untuk menjadi miliarder.
Pekerjaan-pekerjaan baru seperti itu telah menggeser minat anak-anak dari mempelajari eksakta menjadi mempelajari IPS dan teknologi.
Ada lagi kisah menarik yang bisa menjadi penguatan bagi pembaca, betapa jurusan-jurusan yang bersifat eksakta semakin menjauh dari kehidupan anak-anak masa kini.
Baca Juga:
Mengurai Benang Kusut Puisi, Problematika Definisi, Identitas Penyair, dan Metodologi Kajiannya
Di sekolah tempat penulis bertugas, dibentuk dua kelas unggul. Agar terkesan tidak menzalimi Kurikulum Merdeka yang melarang adanya kelas unggul, pihak sekolah mengganti nomenklaturnya menjadi "Kelas Program".
Siswa yang menempatinya telah melewati uji kelayakan yang ketat, mulai dari prestasi, tes akademik, hingga tes psikologi. Setelah pembelajaran berlangsung selama satu tahun akademik.
Saat siswa akan naik ke kelas XI, ada sekitar 10 siswa dari dua rombongan belajar tersebut yang notabene peraih peringkat 1 sampai 5, memutuskan untuk "hijrah" ke kelas yang lebih dominan mata pelajaran IPS dan IT.
Alasan mereka sederhana: ingin fokus pada cita-cita yang sudah diidam-idamkan. Bahkan, ada yang ingin melanjutkan studi ke perguruan tinggi untuk menjadi ahli filsafat, programmer, atau kuliah di jurusan Hubungan Internasional.
Sekilas tampak aneh, anak-anak dengan multitalenta tiba-tiba berpindah haluan. Artinya, mereka lebih jeli membaca perkembangan zaman dan memegang prinsip "harga masa depan ditentukan hari ini" mulai menjalar dalam pikiran generasi tersebut.
Simpulan
Ke depan, dikotomi kaku antara jurusan IPA dan IPS diprediksi akan semakin runtuh. Lembaga pendidikan, khususnya di tingkat menengah, akan dipaksa untuk merancang kurikulum yang lebih hibrida dan fleksibel.
Kita mungkin akan melihat lebih banyak program peminatan yang mengintegrasikan ilmu data (IPA), keterampilan komunikasi dan sosial (IPS), serta literasi digital (IT) menjadi satu kesatuan.
Sekolah yang tidak mampu beradaptasi dengan model pembelajaran interdisipliner ini akan tertinggal, karena mereka tidak lagi menghasilkan lulusan yang relevan dengan tuntutan zaman yang cair dan dinamis.
Pada akhirnya, tolok ukur kesuksesan di mata generasi mendatang juga akan bergeser secara fundamental. Prestise tidak lagi semata-mata diukur dari gelar profesi tradisional seperti dokter atau insinyur, melainkan dari kemampuan beradaptasi, kreativitas, dan kecepatan dalam memanfaatkan peluang di dunia digital.
Pengaruh (influence), personalia digital (digital branding), dan kemampuan memecahkan masalah dengan teknologi akan menjadi "gelar" baru yang lebih bernilai.
Dengan demikian, "perang" antara jurusan IPA dan IPS telah usai, bukan karena ada pemenangnya, melainkan karena medan pertempurannya sendiri telah lenyap, digantikan oleh arena baru yang menuntut kolaborasi semua disiplin ilmu.
Wallahuaklambissawab...
Penulis adalah Pemimpin Redaksi Jurnal Aceh Edukasi dan Guru SMA Negeri 1Lhokseumawe
0 Komentar