Sumber: dreamina.capcut.com
Oleh: Muklis Puna
Pucuk pinus terkulai di ujung dahan,
menyimpan sunyi dari desir angin semalam.
Gelombang pasang gemulai memeluk pantai,
lalu mundur, meninggalkan jejak di pasir yang letih.
Desiran angin menerpa ranting-ranting negeri,
ranting tua, yang pernah memayungi kisah-kisah kecilmu.
Pasir di pantai tampak lesu digusur rindu,
rindu yang kini tidak lagi tahu harus mengarah ke mana
Baca Juga:
Pagi ini,
wajah-wajah kecil itu, kini menua dalam kenangan.
Melepas kehangatan dalam pelukan pagi terakhir.
Pondok rapuh beratap rumbia menjerit lirih,
menyanyikan elegi tentang kisah yang tak lagi utuh.
Tiang-tiang penyangga tak kuasa menopang rindu,
tiang-tiang itu, yang dulu kokoh menopang semangatmu.
Puluhan kuncup kehidupan meratap pada asa,
berharap pada langit yang tak selalu cerah.
Hai... tunas belia!
Tiga tahun lalu, kalian tergopoh-gopoh menyapa,
tangan lunak mengapit harapan dalam map lusuh,
mata berbinar- binar tampak polos,
Lalu menantang dunia yang belum kalian kenal.
Jemari mungil gemetar saat namamu kau tabalkan
pada selembar kertas kotak-kotak:
"Ini aku, Bu Guru. Aku muridmu."
Hai... tunas belia!
Saat telapak kakimu mencium halaman sekolah,
Kau datang seperti badai kecil,
Penuh tawa, ribut, dan ribuan tanya.
Kalian paling sulit digugu,
Belagu di setiap ruang waktu,
Merobek aturan seperti daun gugur.
Tangan kecilmu mencoret papan tulis
Dengan ide, mimpi, dan ulah-ulah jenaka.
Ah, manusia mungil... terlalu kau mungil!
Saban hari,
kalian ngorok di kursi lapuk taman bacaan,
buku tak lagi dibaca,
tapi jadi bantal pengantar mimpi.
Satu-dua petuah dariku,
Kau bantah dengan beribu dalih dan tawa.
Namaku kau ubah sesuai musim hatimu,
Baca Juga:
Hai... tunas belia!
Bumi terus berputar dalam diamnya,
dan tanpa sadar,
kalian telah tumbuh.
Tumbuh menjadi makhluk kecil yang mulai bercahaya.
Pagi ini, bola matamu menggantungkan embun kesedihan,
Tatapanmu menghentikan debar jantung,
Senyummu menularkan luka manis,
dan candamu mengendap menjadi kenangan paling kental.
Nakalmu...
itulah bahagia kami yang tersembunyi.
Hai... matahari kecil!
Katupkan bola matamu,
katupkan bibir mungilmu,
jauhilah warna-warna hitam putih,
berteduhlah sejenak di bawah kenangan.
Biarkan dada kami tidak melebar menahan duka,
biarkan tenggorokan kami tetap mengalun tenang,
biarkan ludah kami tak tertahan di pangkal lidah.
Berikan kami ruang untuk berbenah.
Untuk melepasmu... dengan seluruh kasih dan rindu.
Hai... Tunas Belia!]
Pagi ini telah waktunya menutup kisah,
pantai ini membisu dalam deburan,
kita tak lagi berlenggang bersama
di ruang-ruang kusam yang dulu jadi rumah.
Hukum alam selalu jadi pemenang dalam hidup:
yang tumbuh, akan menjauh,
yang dewasa, akan mencari jalan sendiri.
Hai... tunas kehidupan!
Coba kau arungi lautan air mata yang mengambang,
berenanglah dalam kolam rasa ibumu,
bungkukkan punggungmu dengan rendah hati,
biar keningmu menyentuh lututnya.
Mohon ampun atas khilafmu,
atas semua luka kecil yang kau beri tanpa sadar.
Hai... Tunas Belia!
Lepaskan segala kesah,
tumpahkan seluruh hasrat,
rajutlah kisah yang sempat terputus,
sulamlah semua yang pernah koyak.
Rangkailah langkah-langkah baru,
di luar gerbang ini, tempat kau dulu belajar berjalan.
Hai... cahaya kecil!
Bibirku hanya ingin membusur satu untaian melelahkan:
Selamat berpisah, tunas penuh warna.
Terima kasih... telah menjadikan aku.
Menjadikan aku rumah, tempat cerita masa kecilmu bersandar.
Menjadikan aku jalan, tempat langkah kecilmu berani menapak.
Terima kasih... telah menjadikan aku seorang guru.
Lhokseumawe, 8 Mei 2025
0 Komentar