Kampung Maut



Foto: Ilustrasi  AI

Karya Hamdani Mulya

Hujan yang Tak Berhenti

Langit Aceh pada bulan November 2025 seakan menyimpan dendam purba. Sejak awal bulan, hujan turun tanpa jeda, deras, mengguyur sawah, kebun, dan rumah-rumah kayu di kampung kecil bernama Blang Meurandeh. Angin membawa aroma tanah basah bercampur lumpur, dan suara deras air sungai Krueng Pase yang meluap terdengar seperti raungan makhluk buas yang lapar.

Di kampung itu, orang-orang mulai gelisah. Mereka mengenang banjir besar yang pernah menelan kampung tetangga bertahun lalu. Namun kali ini, hujan terasa lebih panjang, lebih berat, seakan langit benar-benar ingin menumpahkan seluruh isi perutnya ke bumi.

Abuwa Hasan, seorang lelaki tua berusia enam puluh tahun, duduk di beranda rumah panggungnya. Matanya menatap ke arah sungai yang semakin liar. “Ini bukan hujan biasa,” gumamnya lirih. Istrinya, Cut Aisyah, menyalakan lampu minyak, meski siang masih terang. “Aku takut, Bang,” katanya dengan suara bergetar.

Air yang Menelan Jalan

Menjelang malam, air mulai merayap ke jalan kampung. Anak-anak berlarian, sebagian menangis, sebagian tertawa tanpa mengerti bahaya. Para lelaki berusaha membuat tanggul darurat dengan karung pasir, namun sungai yang meluap tak bisa ditahan.

Safrina, gadis muda berusia tujuh belas tahun, menatap dari jendela rumahnya. Ia melihat ayahnya, Teungku Ibrahim, ikut menumpuk karung pasir di tepi jalan. “Ayah, masuklah. Air sudah tinggi,” teriaknya. Tapi Teungku Ibrahim hanya menggeleng. “Kampung ini harus bertahan. Kalau kita diam saja, semua akan hanyut.”

Safrina menggenggam tas sekolahnya. Ia baru saja lulus ujian akhir, bercita-cita kuliah di Banda Aceh. Namun malam itu, cita-cita terasa jauh, tertutup oleh suara air yang semakin mencekam.

Malam Gelap, Malam Panik

Ketika malam turun, listrik padam. Kampung hanya diterangi lampu minyak dan cahaya kilat yang sesekali membelah langit. Hujan tak berhenti, derasnya seperti cambuk yang menghantam bumi.

Air sudah masuk ke pekarangan rumah. Orang-orang berteriak, memanggil anak-anak mereka, mengangkat barang-barang ke tempat tinggi. Abuwa Hasan dan Cut Aisyah berusaha menyelamatkan kitab-kitab tua peninggalan ayah Abuwa Hasan, ulama kampung. “Jangan sampai hanyut,” kata Abuwa Hasan, matanya berkaca-kaca.

Di surau kecil kampung, beberapa orang berkumpul, berdoa, membaca ayat-ayat suci  Al-Qur'an dengan suara bergetar. Namun doa mereka tenggelam dalam gemuruh air yang semakin menggila.

Kampung Maut

Menjelang tengah malam, tanggul darurat jebol. Air sungai melompat masuk ke kampung, menghantam rumah-rumah kayu, merobohkan dinding, menyeret perabotan. Jeritan terdengar di mana-mana.

Safrina berlari bersama ibunya, mencoba menyelamatkan diri. Ayahnya masih di tepi sungai, berusaha menahan arus dengan tubuhnya yang renta. “Ayah!” teriak Safrina. Tapi suara itu tenggelam dalam deras air.

Abuwa Hasan dan Cut Aisyah terjebak di rumah panggung. Air sudah mencapai lantai rumah. Abuwa Hasan memeluk istrinya erat. “Kalau ini takdir, kita hadapi bersama,” katanya.

Kampung Blang Meurandeh berubah menjadi lautan hitam. Pohon kelapa tumbang, perahu nelayan hanyut, dan suara azan yang biasanya menenangkan kini tak terdengar lagi. Orang-orang menyebutnya malam itu sebagai Kampung Maut.

Pertarungan dengan Air

Safrina berusaha berenang, menggenggam tangan ibunya. Namun arus terlalu kuat. Mereka terpisah. Safrina menjerit, matanya mencari sosok ibunya di antara gelap dan deras air. Ia hanya melihat bayangan putih kain panjang yang hanyut terbawa arus.

Abuwa Hasan mencoba menurunkan perahu kecil yang terikat di samping rumah. Dengan susah payah, ia dan istrinya naik ke perahu itu. Namun arus menghantam, perahu terbalik. Abuwa Hasan berusaha meraih istrinya, tapi tangan mereka terlepas.

Di kampung itu, banyak yang kehilangan. Anak-anak hanyut, orang tua terjebak, rumah-rumah roboh. Air menjadi bencana, menelan segalanya tanpa belas kasihan.

Fajar yang Kelabu

Ketika fajar tiba, hujan mulai reda. Namun kampung sudah tak berbentuk. Hanya sisa-sisa rumah yang hancur, pohon tumbang, dan mayat-mayat yang terdampar di lumpur.

Safrina ditemukan oleh tim penyelamat, tubuhnya lemah, matanya kosong. Ia tak lagi melihat ibunya. Ayahnya pun hilang, tak ada kabar. Abuwa Hasan ditemukan tergeletak di tepi sungai, tubuhnya kaku, tangannya masih menggenggam kitab tua yang basah.

Orang-orang berkumpul di tanah lapang yang masih kering. Mereka menangis, meratap, menyebut nama-nama yang hilang. Kampung Blang Meurandeh seakan kehilangan jiwa.

Haru yang Tertinggal

Hari-hari berikutnya, bantuan datang. Namun luka batin orang kampung tak bisa disembuhkan dengan makanan atau obat. Mereka kehilangan keluarga, sahabat, rumah, dan kenangan.

Safrina duduk di tepi sungai, menatap air yang kini tenang. Ia menggenggam tas sekolahnya yang basah, satu-satunya benda yang tersisa. “Aku akan tetap kuliah,” bisiknya. “Aku akan membawa nama kampung ini, agar orang tahu bahwa kami pernah ada.”

Di sampingnya, seorang anak kecil menangis mencari ibunya. Safrina memeluk anak itu, seakan menemukan alasan baru untuk bertahan.

Kampung Maut bukan hanya tentang banjir yang menelan segalanya. Ia adalah kisah tentang kehilangan, tentang cinta yang terputus oleh arus, tentang doa yang tenggelam dalam deras hujan. Namun di balik itu, ada harapan kecil yang masih menyala, meski redup.

Langit Aceh kembali cerah Burung-burung mulai terbang di atas reruntuhan kampung. Orang-orang perlahan membangun kembali rumah mereka, meski dengan air mata.

Safrina berdiri di tanah lapang, menatap ke arah sungai. Ia tahu, kampungnya tak akan pernah sama. Namun ia juga tahu, kenangan orang-orang yang hilang akan tetap hidup dalam dirinya.

“Kampung Maut,” bisiknya. “Kampung yang mengajarkan kami arti kehilangan, dan arti bertahan.”

Sumbok Rayeuk, Aceh Utara, 11 Desember 2025


Riwayat Penulis

Hamdani Mulya adalah Guru SMAN 1 Lhokseumawe. Lahir di desa Paya Bili, Kec. Meurah Mulia, Kab. Aceh Utara 10 Mai 1979. Alumni Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, Universitas Syiah Kuala (USK). Karya Hamdani Mulya dipublikasikan di harian Serambi Indonesia, Kutaradja, Waspada, Haba Rakyat, Majalah Fakta, Santunan Jadid, Seumangat BRR, Meutuah Diklat, dan Jurnal Al-Huda.

Puisinya juga terkumpul bersama penyair Indonesia dalam buku antologi puisi Dalam Beku Waktu (2003), Paru Dunia (2016), Yogja dalam Nafasku (2016), Aceh 5:03 6,4 SR (FAM 2017), dan Gempa Pidie Jaya (2017). Selain menulis puisi dan cerpen Hamdani juga menulis artikel pendidikan, sejarah, dan esai bertema lingkungan.

Hamdani Mulya telah berhasil menulis beberapa buku diantaranya berjudul Jejak Dakwah Sultan Malikussaleh dan Wajah Aceh dalam Puisi yang diterbitkan oleh Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Aceh tahun 2020.

Berita Terkait

Posting Komentar

0 Komentar