Di Balik Topeng Keren "Zaman Now", Kegelisahan Mendalam akan Rapuhnya Karakter Warisan "Zaman Old"

  


  

  

 Oleh: Mukhlis, S.Pd., M.Pd. 

Bicara soal pemuda, kita ini sejatinya sedang mengintip detak jantung sebuah bangsa. Kalimat ini mungkin seringkali terdengar klise, nyaris seperti mantra usang yang diulang-ulang. Tapi, coba kita renungkan sejenak, adakah yang lebih pas untuk menggambarkan posisi vital mereka? 

Dari dulu hingga kini, narasi yang sama terus bergema, maju mundurnya sebuah peradaban, konon katanya, ada di genggaman generasi mudanya. Estafet kepemimpinan, sebuah amanah berat yang tak main-main, juga disebut-sebut bakal berpindah ke pundak mereka. 

Apalagi di era digital yang serba terkoneksi ini, zaman yang oleh anak-anak muda sendiri dilabeli sebagai "zaman now", peran dan eksistensi mereka jelas kian sentral, tak terbantahkan.

Akan tetapi, di tengah riuh rendah modernisasi yang membius dan kemilau teknologi yang acapkali membuat kita terlena, bahkan lupa diri, ada satu pertanyaan fundamental yang menggelitik, yang barangkali sering kita pendam, nilai-nilai luhur, karakter-karakter   santun yang dulu begitu lekat dengan sosok pemuda "zaman old". Apakah masih tersisa, masih punya tempat terhormat di relung hati generasi sekarang? Atau jangan-jangan, semua itu tinggal cerita pengantar tidur, dongeng indah yang tak lagi relevan dengan denyut kehidupan mereka?

 Pemuda dan Generasi Pendahulu

Sebenarnya, perbincangan soal pemuda dan segala dinamikanya ini adalah sebuah epos panjang, cerita lama yang babaknya selalu berulang, hanya saja dengan aktor dan latar yang berbeda. Setiap generasi muda, tanpa kecuali, pasti punya "episode"-nya sendiri, punya pergulatannya sendiri saat berhadapan, atau mungkin lebih tepatnya, saat mencoba memahami generasi yang lebih tua.

Ini bukan fenomena aneh, bukan pula aib yang harus ditutupi. Anggap saja ini bagian dari proses alami pendewasaan, sebuah keniscayaan untuk beradaptasi dengan hal-hal baru yang mungkin terasa asing, dan tentu saja, impian universal untuk meraih kehidupan yang – setidaknya – sedikit lebih baik dari apa yang telah diraih oleh orang tua mereka.

Idealnya, transisi ini berjalan mulus, pelan-pelan namun pasti, seperti air sungai yang mengalir menuju muara. Generasi muda sekarang, kita patut bersyukur, banyak yang dianugerahi kesempatan mengenyam pendidikan yang jauh lebih tinggi dan akses informasi yang lebih luas ketimbang generasi orang tua mereka. Nah, di sinilah peran krusial orang tua dan lingkungan sekitar menjadi taruhan.

Bukan sekadar sebagai pemberi perintah atau larangan, melainkan sebagai teman diskusi yang setara, sebagai kompas pemberi arah yang bijaksana, yang dengan sabar dan telaten mengenalkan nilai-nilai kebajikan, norma-norma luhur yang berlaku di masyarakat. Semua itu, sejatinya, adalah bekal tak ternilai untuk mengarungi samudra kehidupan yang penuh ombak dan badai.

 Pemuda di Persimpangan Jalan yang Krisis

Ada sebagian dari kita  mungkin masih terjebak dalam pandangan sempit bahwa tugas utama anak muda itu ya cuma tiga,  sekolah yang benar sampai dapat ijazah, cari kerja yang mapan, lalu segera menikah dan membangun keluarga. Sederhana, bukan? Tapi, tunggu dulu. Apa iya kehidupan ini sesederhana itu? Bisakah kita, yang mengaku sebagai pemuda, sebagai agen perubahan, menutup mata dan telinga rapat-rapat terhadap apa yang sesungguhnya terjadi di sekeliling kita?

Krisis moral yang katanya kian mengkhawatirkan, dengan berita-berita kekerasan dan ketidakjujuran yang seliweran setiap hari. Ekonomi yang naik turunnya kadang bikin kepala pening tujuh keliling. Belum lagi seabrek masalah sosial, politik, dan lingkungan yang seolah tak ada habisnya mengepung bangsa ini. 

Apalagi kita hidup di Indonesia, sebuah negeri yang luar biasa kaya akan budaya dan sumber daya alam, namun sekaligus juga menyimpan kompleksitas permasalahan yang tak kalah luar biasa. Lantas, apa kita mau hanya duduk manis menjadi penonton setia di tribun kehancuran? Tentu saja tidak!

Sebagai generasi yang disebut-sebut penerus, ada sebuah tanggung jawab moral dan historis yang tak bisa ditawar-tawar lagi, yang melekat erat di pundak kita. Tanggung jawab untuk ikut ambil bagian secara aktif, untuk berani bersuara dan bertindak, melanjutkan estafet kepemimpinan dengan gagasan-gagasan segar dan energi yang membara. 

Hal ini dilakukan demi terwujudnya sebuah bangsa yang lebih adil, lebih beradab, dan masyarakat yang lebih sejahtera. Ini bukan lagi sekadar pilihan, kawan, tapi sebuah panggilan jiwa, sebuah amanah peradaban.

 Di Manakah Sejatinya Pemuda Berpijak?

Mau dilihat dari sudut pandang manapun, dari kacamata teori sosial seberat apapun, pemuda itu adalah aset bangsa yang tak ternilai harganya. Mereka adalah bibit harapan, suluh penerang di tengah kegelapan, pewaris cita-cita luhur para pendiri bangsa, dan sumber energi kreatif yang tak pernah kering untuk terus membangun negeri ini.

Ada sebuah pepatah lawas yang hingga kini masih relevan, "Siapa yang bisa merebut hati dan pikiran pemuda, dialah yang sejatinya akan menggenggam masa depan." Sebuah pernyataan yang singkat, namun sarat makna.

Taufik Abdullah (1994), seorang begawan ilmu sosial, pernah mengidentifikasi beberapa karakteristik yang membuat posisi pemuda itu begitu istimewa dan strategis. Sebut saja idealisme mereka yang seringkali masih murni, belum terkontaminasi oleh kepentingan pragmatis sesaat. Keberanian mereka untuk menyerap hal-hal baru, bahkan yang menantang kemapanan sekalipun. 

Semangat pengabdian mereka yang tulus, yang kadang kala justru luput dari perhatian kita. Gerak langkah mereka yang cepat dan dinamis, kreativitas mereka yang seolah tak mengenal batas, keinginan kuat untuk segera mewujudkan ide-ide brilian menjadi kenyataan, keteguhan mereka dalam memegang janji dan prinsip, serta hasrat membara untuk menunjukkan kemandirian.

Meskipun, tak bisa dipungkiri, pengalaman mereka kadang masih terbatas, jam terbangnya belum setinggi generasi senior. Tapi, justru di situlah letak tantangan sekaligus peluangnya: untuk terus belajar, menempa diri, dan membuktikan bahwa usia muda bukanlah halangan untuk berbuat besar.

Pemuda Sebagai Cermin Bangsa,  Bukan Isapan Jempol Belaka

Kuat atau lemahnya sebuah bangsa, mau tidak mau, suka tidak suka, akan tercermin dari bagaimana kualitas dan karakter generasi mudanya. Merekalah yang berdiri di garda terdepan, yang menampilkan wajah dan kehormatan bangsa di panggung dunia. 

Coba bayangkan, jika mayoritas pemudanya terjerumus dalam kubangan kerusakan moral, narkoba, atau perilaku destruktif lainnya, alamat buramlah masa depan bangsa tersebut. Inilah mengapa pendidikan karakter menjadi sesuatu yang urgen, sesuatu yang tak bisa ditawar lagi, dari Sabang sampai Merauke, dari bangku sekolah dasar hingga perguruan tinggi.

Pendidikan karakter di sini bukan hanya soal mengajarkan mana yang baik dan mana yang buruk secara teoritis di dalam kelas. Lebih dari itu, ia adalah soal pembentukan mental yang tangguh, kepekaan sosial yang tinggi, bahkan kesadaran politik yang kritis dan konstruktif. 

Sistem pendidikan kita, dari kurikulum hingga metode pengajaran, harus benar-benar dirancang untuk memikirkan dan mempersiapkan masa depan pemuda secara holistik, jangan sampai malah menjerumuskan mereka ke arah yang salah. Sebab, potret pemuda yang cerdas secara intelektual, matang secara emosional, sejahtera secara ekonomi, dan luhur budi pekertinya, itulah sejatinya potret wajah bangsa yang kita dambakan, sebagaimana diungkapkan oleh Abu Ahmadi (2003).

Memahat Jiwa Pemimpin

Setiap anak muda, tanpa terkecuali, perlu menanamkan dalam benaknya kesadaran bahwa masa depan bangsa ini, nasib kepemimpinan negeri ini, pada akhirnya akan berada di tangan mereka. Kunci utamanya apa? Kesadaran akan tanggung jawab dan kemauan yang membaja untuk terus belajar dan memperbaiki diri.

Menurut Ahmad Syahir Syarani (2005), seorang pemimpin yang ideal itu setidaknya memiliki beberapa ciri: ia harus berilmu dan terus haus akan pengetahuan, berakhlak mulia sebagai landasan integritas, profesional dalam setiap tindakannya.  Cerdas dalam membaca situasi, berani mengambil keputusan sulit dan bertanggung jawab penuh atas konsekuensinya. 

Mereka selalu teguh berpihak pada kebenaran dan keadilan, mampu mempengaruhi secara positif bukan malah mudah dipengaruhi untuk hal negatif.  Bersedia mendengar kritik dan masukan dengan lapang dada, piawai dalam membangkitkan semangat dan motivasi. Mampu menjadi teladan dalam perkataan dan perbuatan, serta berani menjadi pelopor bagi pemikiran dan tindakan yang progresif.

 Untuk menjawab tantangan tersebut pemuda perlu membekali diri dengan ilmu kepemimpinan. Ahmad Azam Abdul Rahman (2005) bahkan merinci lebih jauh bahwa seorang pemimpin itu haruslah sosok yang pandai mengurus dirinya sendiri sebelum mengurus orang lain dan organisasi, termasuk dalam hal manajemen waktu. 

Seorang pemimpin sejati, katanya, tak cukup hanya bermodal semangat membara; ia dituntut menjadi pendengar ulung yang menghargai ragam perspektif, sekaligus pemburu informasi akurat yang tak kenal lelah. Kemampuannya tak berhenti di situ, ia juga harus berotak tajam dalam mengurai benang kusut masalah hingga melahirkan keputusan strategis, serta piawai merajut mufakat dalam setiap perdebatan sengit. 

Lebih jauh, ia dituntut arif mengelola pundi-pundi, fasih merangkai kata dalam komunikasi yang mengena, dan tak gentar berselancar di atas gelombang teknologi yang terus berubah. Kepercayaan diri saat tampil di muka umum dan kelihaian menuangkan gagasan dalam tulisan pun menjadi atribut wajib yang melengkapi sosoknya. Daftar tuntutan ini memang tampak mengintimidasi, namun itulah mahar yang tak bisa ditawar untuk menyandang predikat pemimpin sejati yang tak lekang oleh zaman.

Jejak "Zaman Old" di Simpang Jalan "Zaman Now": Sebuah Refleksi Kritis

Karakter, etika, tingkah laku , inilah elemen-elemen fundamental yang akan merajut citra sebuah bangsa melalui sosok-sosok mudanya. Setiap generasi, kita tahu, mengarungi samudra tantangannya sendiri-sendiri. 

Di era "zaman now" ini, ancaman yang paling kasat mata dan meresahkan bagi generasi muda kita apa? Mungkin kita semua sepakat: narkoba yang daya rusaknya luar biasa dan candu akut terhadap gawai (gadget) yang seringkali mengisolasi mereka dari dunia nyata. 

Ini bukan lagi masalah personal atau keluarga semata, ini sudah menjadi persoalan bangsa yang bisa merontokkan sendi-sendi masa depan kita semua. Oleh karena itu, penanganannya pun harus menjadi tanggung jawab kita bersama, bahu-membahu.

 Akan tetapi, nun di balik riuh rendah perdebatan soal kemajuan zaman, terselip sebuah pertanyaan yang jauh lebih fundamental, barangkali lebih menusuk kesadaran kita,  karakter-karakter baik, kebajikan-kebajikan yang dulu begitu sakral dan dijunjung tinggi oleh generasi "zaman old" kita bicara soal sopan santun yang tak dibuat-buat,. 

Rasa hormat yang tulus kepada mereka yang lebih dulu mengecap asam garam kehidupan, semangat gotong royong yang murni tanpa embel-embel pamrih, serta kejujuran yang menjadi kompas moral tak tergoyahkan. Apakah sisa-sisa jejaknya masih bisa kita endus, masih bisa kita temukan wujudnya di era  sekarang  ini? Ataukah, jangan-jangan, semua itu hanya tinggal fosil peradaban, telah terkikis habis, luntur warnanya, bahkan lenyap ditelan gelombang zaman yang bergerak serba instan, bermental serba materialistis, dan kian condong pada egoisme individualistis yang mengkhawatirkan ini?

Memang, jika kita mencoba melakukan perbandingan yang jujur, nilai-nilai yang kerap diasosiasikan dengan "zaman old" itu begitu kental dengan nuansa kebersamaan, spiritualitas yang mengakar, dan kepatuhan yang tulus terhadap norma-norma sosial. 

Sebaliknya, "zaman now" menyuguhkan sebuah realitas di mana batas-batas etika seringkali terasa begitu lentur, begitu cair, bahkan kabur. Banjir informasi dan derasnya pengaruh budaya global melalui internet dan media sosial, tak bisa dipungkiri, membawa serta banyak hal baru yang berpotensi menggerus karakter-karakter positif itu. Sesuatu yang dulu dianggap sakral dan fundamental, kini bisa jadi dianggap kuno, tidak relevan, atau bahkan sekadar bahan candaan yang tak perlu dijunjung tinggi.

Bahaya terbesar akan mengintai ketika generasi "zaman now" ini dilepas begitu saja untuk menghadapi rimba belantara dunia tanpa dibekali dengan fondasi agama yang kokoh dan budi pekerti yang luhur, yang seharusnya pertama dan utama ditanamkan di lingkungan keluarga.

Pendidikan karakter di rumah, melalui keteladanan dan dialog yang hangat, adalah benteng pertahanan pertama dan utama yang tak tergantikan. Jika nilai-nilai dasar seperti kejujuran, tanggung jawab, disiplin, etos kerja keras, dan empati terhadap sesama merupakan esensi dari karakter "zaman old"  tidak lagi terinternalisasi secara mendalam dalam diri mereka. 

Oleh karena itu  jangan pernah kaget jika kita semakin sering menyaksikan berbagai bentuk penyimpangan perilaku dan degradasi moral di tengah masyarakat.

Harapan Itu Masih Ada, Perjuangan Harus Terus Menyala

Lalu, apakah ini berarti karakter luhur generasi "zaman old" itu benar-benar telah musnah dari jiwa pemuda "zaman now"? Penulis secara  pribadi menolak untuk pesimis. penulis  percaya, semangat untuk berbuat baik, keinginan tulus untuk belajar dan mengembangkan diri, serta mimpi besar untuk menciptakan perubahan positif bagi lingkungan dan bangsanya.

Semua itu masih bersemayam, masih menyala, di dalam dada banyak anak muda Indonesia. Mungkin bentuk ekspresinya berbeda, mungkin  juga tantangan yang mereka hadapi jauh lebih kompleks dan multidimensional. Di tengah gempuran teknologi yang kadang tak ramah dan perubahan sosial yang super cepat ini, karakter-karakter baik itu memang sedang diuji ketahanannya habis-habisan.

Oleh karena itulah,  semua kita  tanpa kecuali, mulai dari keluarga sebagai unit terkecil, institusi pendidikan di semua tingkatan, komunitas masyarakat, hingga pemerintah sebagai pemegang kebijakan harus bergandengan tangan, merapatkan barisan. 

Kita perlu menghidupkan kembali, menanamkan kembali, dan merawat nilai-nilai luhur itu dengan sungguh-sungguh. Pendidikan karakter yang komprehensif dan berkelanjutan, bukan sekadar seremonial. Keteladanan yang nyata dari generasi yang lebih tua, bukan hanya retorika. Serta penciptaan lingkungan sosial yang kondusif dan suportif, itu semua adalah kunci.

Tujuannya satu agar pemuda "zaman now" ini tidak hanya tumbuh menjadi generasi yang jago teknologi, cerdas otaknya, dan lihai berargumentasi, tetapi juga matang emosinya, kuat spiritualitasnya, dan mulia akhlaknya. 

Jika sudah begitu, barulah kita bisa dengan optimis mengatakan bahwa mereka benar-benar siap menjadi penerus bangsa yang tangguh, pemimpin yang berintegritas, dan agen perubahan yang mampu membawa Indonesia terbang lebih tinggi, sambil tetap memegang erat warisan kebajikan dari generasi-generasi sebelumnya. Ini bukan sekadar harapan kosong, kawan, ini adalah sebuah keharusan, sebuah perjuangan yang tak boleh berhenti.

Simpulan:

Menatap ke depan, jika arus deras modernisasi dan gempuran teknologi ini terus melaju tanpa diimbangi dengan penanaman karakter yang kokoh sejak dini, maka bukan tidak mungkin kita akan menyaksikan generasi "zaman now" yang semakin tercerabut dari akar budayanya. 
Mereka mungkin akan menjelma menjadi individu-individu yang piawai secara teknis, namun rapuh secara moral; lihai berdebat di dunia maya, namun gagap dalam membangun relasi sosial yang tulus di dunia nyata. 

Tanpa benteng nilai-nilai luhur "zaman old" yang terinternalisasi, prediksi suramnya adalah lahirnya masyarakat yang semakin individualistis, apatis terhadap persoalan bersama, dan mudah terombang-ambing oleh setiap tren sesaat yang belum tentu membawa kebaikan. Jika ini yang terjadi, maka pertanyaan tentang siapa yang akan mewarisi dan menjaga marwah bangsa ini dengan integritas, akan menjadi sebuah ironi yang menyakitkan.

Namun, secercah harapan itu sejatinya masih berpendar. Jika kesadaran kolektif untuk merevitalisasi pendidikan karakter ini benar-benar tumbuh subur, dimulai dari bilik-bilik keluarga, diperkuat di ruang-ruang kelas, dan didukung oleh kebijakan publik yang visioner, maka kita boleh berharap akan lahirnya sebuah sintesis yang indah. 
Generasi "zaman now" yang tidak hanya melek teknologi dan berwawasan global, tetapi juga memiliki kedalaman spiritual, keluhuran budi pekerti, dan kepekaan sosial sebagaimana yang diwariskan oleh generasi "zaman old". 

Mereka akan menjadi nakhoda-nakhoda tangguh yang mampu mengarungi samudra perubahan tanpa kehilangan kompas moral, membawa peradaban bangsa ini menuju dermaga kemajuan yang berkeadilan dan beradab. Sebuah prediksi yang menuntut kerja keras, tentu saja, namun bukan sebuah utopia jika kita semua mau bergotong-royong mewujudkannya.

Penulis adalah Pemimpin Redaksi Jurnal Aceh Edukasi dan Guru SMA Negeri 1 Lhokseumawe






Berita Terkait

Posting Komentar

0 Komentar