Sumber Dokumen Pribadi
Oleh: Mukhlis, S.Pd., M.Pd.
Seiring dengan perubahan sosial dan filsafat yang menempatkan manusia sebagai makhluk otonom. Artinya, setiap individu memiliki kebebasan dalam berkarya. Pada saat itu karya manusia dipandang sebagai kreativitas yang lahir dari pengalaman dan pengucapan secara mandiri.
Dalam hal ini Warren dan Wellek (Yapi Taum 1995:20) menyebutkan bahwa studi ini berlangsung sistematis berhubungan dengan psikologi pengarang dan proses kreativitas.
Hal yang paling menonjol dalam adalah manusia sebagai studi pencipta. Selain itu, teori ini dianggap sebagai tonggak baru dalam sejarah yang membebaskan pengetahuan sastra dari gagasan lama. Gagasan terlalu mengekang bahwa hanya Tuhan sebagai sang pencipta dan manusia sebagai peniru belaka.
Uraian di atas menarik untuk dicermati dengan menghubungkan penyair sebagai studi pencipta. Perkembangan sastra terus mengalami degradasi ke arah yang lebih maju dengan segala konsekuenksi yang harus ditanggung oleh penyair. Melalui pendekatan ekspresive atau biografi hal yang dikemukan di atas dapat dibongkar secara jelas. Akan tetapai seiring waktu berjalan pada awal abad Ke -19 munculnya pendekatan lain seperti pragmatis, struktural, mimesis dan feminisme. Walaupun hanya dipandang sebagai pendekatan lama dan mulai ditinggalkan oleh penganut sastra dunia saat ini.
Memahami karya sastra (puisi) berdasarkan pendekatan ekspresif, berarti pembaca telah menyelami dan memahami semua pengalaman imajinasi yang dimiliki penyair. Pemahaman seperti ini hanya mengantar pembaca pada simpulan tentang cara menghakimi penyair. Dalam pendekatan ini pembaca menganggap penyairlah sebagai tuan dari sebuahkarya. Umumnya pembaca atau pengkaji sebuah sastra mereka sering berburu biografi penyair dan seaching melalui google sebagai bantuan utama dalam memahami karya sastra.
Fenonomena di atas telah menghadirkan paradigma baru dalam mengkaji karya sastra dengan alasan "Hanya penyairlah yang memahami makna dari sebuah puisi" Paradigma semacam ini telah menggiring penyair pada egoistis tingkat dewa. Bukankah setiap karya sastra yang diposting di media sosial atau dimuat di media cetak itu sudah menjadi milik masyarakat? Ketika karya sastra sudah menjadi milik umum (Tuannya) berarti pembaca atau penikmat boleh memaknai sebuah karya sesuai dengan pengetahuan sastra yang dimiliki.
Selanjutnya, penyair merupakan makhluk sosial yang sama dengan manusia lain di kolong langit ini. Artinya, jika ada perubahan sikap, tindakan, emosional, dan pengalaman itu hanya berada pada taraf standar. Misalnya, dalam puisi lirik kata "Aku" lebih dominan muncul dalam balutan rima dan nada. Pertanyaannya apakah itu "Akunya" penyair? Inilah yang perlu dipahami oleh pembaca. Dalam puisi lirik tidak setiap "Aku" mengarah pada penyair. Mungkin inilah yang membedakan dengan "Aku" dalam teks naratif.
Selanjutnya, hal ini pada awal abad 20 study sastra seperti ini mulai ditinggalkan dan digantikan dengan pendekatan egosentris (Van Luxemburg 1984). Sejak munculnya teori structuralisme, formalisme, semiotik dan dekonstruksi. Pemahaman karya sastra tidak lagi berpusat pada penyair sebagai sumber kajian.
Dengan memahami beberapa kajian yang sudah disebutkan di atas. kiranya setiap pembaca lebih teliti dalam memahami sebuah karya tanpa berpusat pada penyair. Dengan kata lain, penyair itu hanya perantara dan bahasa sebagai media pengungkapan.
Baca Juga: Pagi yang Lembab
Menurut Pardopo (1998) sastra itu adalah lembaga sosial dan penyairnya merupakan bagian dari lembaga tersebut. Sastra itu diciptakan untuk dinikmati oleh pembaca . Mari bebaskan pengarang dari karya yang diciptakan. Akhirnya, penulis menutup esai ini dengan kata " Bebaskan AKU dari Puisi karena Engkaulah Tuan dari Puisiku"
Penulis adalah Pemimpin Redaksi Jurnal Aceh Edukasi dan Guru SMA Negeri 1 Lhokseumawe
0 Komentar