Oleh: Mukhlis, S.. Pd., M.Pd.
Hampir satu bulan ini negeri Serambi Mekah menjadi sorotan publik. Hal ini karena adanya pengungsi Rohingya yang masuk secara berjamaah dan ilegal ke provinsi tersebut. Ini bukan pertama kali mereka masuk secara bergerombolan ke negeri paling ujung Sumatera.
Pada Tahun 2015 mereka sempat diterima oleh orang Aceh sebagai tamu istimewa,bahkan mereka diberi tempat tinggal sebagai pengungsi yang layak. Hal ini dilakukan karena mereka beragama Islam. Dalam pandangan masyarakat Aceh semua orang Islam itu saudara, tidak perduli mereka berkebangsaan apa atau dari mana mereka datang.
Satu yang dijadikan pegangan kuat oleh masyarakat Aceh bahwa apabila saudara seimannya teraniaya atau menderita, maka seluruh orang Aceh akan merasa tersakiti. Penulis masih ingat, ketika Tahun 2015 berbondong- bondong masyarakat Aceh berkunjung ke tempat pengungsian Rohingya. Mereka datang menjenguk dengan membawa perbekalan dan bantuan apa saja yang dimiliki untuk saudaranya yang seiman.
Ditambah lagi berita- berita viral di media sosial tentang pengusiran, pembunuhan, dan pembantaian yang dilakukan oleh bangsa Myanmar kepada mereka. Berita tersebut telah menyayat hati masyarakat Aceh, sehingga memunculkan empati yang luar biasa dari masyarakat Aceh. Pemerintah Aceh juga memberikan dukungan dan bantuan kepada pengungsi Rohingya yang datang ke Aceh pada waktu itu. Pemerintah memfasilitasi segala keperluan mereka, bahkan melebihi perhatian kepada masyarakat Aceh itu sendiri.
Dari informasi yang didapat dari berbagai sumber yang berkerja di kamp pengungsian waktu itu, Ternyata terdapat perbedaan budaya yang luar biasa antara masyarakat Aceh dengan pengungsi Rohingya. Nilai -nilai budaya yang dimiliki oleh pengungsi Rohingya tersebut telah menabrak nilai - nilai budaya masyarakat Aceh yang selama ini menjadi ciri khas masyarakat tersebut.
Perbedaan itu terlihat pada aspek kesehatan, kesopanan, dan pergaulan yang dilakukan selama berada di pengungsian. Kemudian mereka juga sering kabur dari tempat pengungsian keluar dari Aceh dengan cara dijemput oleh seseorang. Tujuan mereka sebenarnya bukan Aceh melainkan negara lain seperti Malaysia. Aceh hanya mereka jadikan tempat transit belaka sebelum mereka bertolak ke negeri yang lebih makmur dan kaya.
Peristiwa terus saja terjadi sehingga membuat masyarakat Aceh jadi tidak suka. Awalnya mereka sangat bersimpati, kemudian berubah menjadi rasa benci dan tidak senang walupun mereka berada dalam satu akidah .Masyarakat Aceh tergolong suatu komunitas besar yang mempunyai sifat kosmopolit. Artinya , siapa saja dari suku, ras apasaja yang datang ke sini tetap diterima dengan hangat. Namun yang penting adalah orang- orang pendatang bisa menjujung tinggi budaya masyarakat Aceh.
Penghujung Tahun 2023, masyarakat Aceh dikejutkan lagi setelah lama tak terdengar informasi tentang pengungsi Rohingya. Mereka masuk lewat perairan Aceh dengan menumpang kapal -kapal lapuk tanpa mesin. Mereka dalam jumlah banyak merapat di pinggir pantai dengan melompat dari kapal yang membawanya menuju daratan.
Hal ini paling mudah dilakukan, karena kondisi geografis Aceh yang berada di Selat Malaka. Selat ini merupakan jalur lalulintas samudera paling sibuk di dunia. Selanjutnya, sepanjang daratan Aceh mulai dari Sabang Sampai Aceh Tamiang itu berada digaris pantai. Inilah yang membuat mereka mudah sekali merapat ke bumi Aceh Serambi Mekah.
Melihat peristiwa ini dan dibayangin oleh pengalaman yang tidak mengenakkan. Ramai- ramai masyarakat Aceh mulai dari orang biasa sampai mahasiswa menolak kehadiran mereka. Penolakan ini mereka lakukan dengan beramai -ramai mengusir kembali mereka dengan cara menolak mereka kembali ke perahu dan meninggalkan provinsi Aceh.
Rombongan tersebut didominasi oleh kaum perempuan , anak- anak dan orang tua. Jika dilihat sekilas, ketika mereka mendarat pertama ada rasa pilu yang menyayat hati, ini terlepas dari budaya dan karakter yang mereka miliki.
Namun dalam beberapa hari ini mereka terus berdatangan dalam jumlah yang banyak, sehingga membuat kondisi semakin sulit. Akhirnya, para mahasiswa yang menjadi pintu utama yang punya rasa empati tinggi terhadap mereka, tiba- tiba berubah menolak dan mengusir mereka. Ini memunculkan pertanyaan ada apa sebenarnya di balik pengungsi Rohingya yang masuk ke Aceh? Lalu mengapa provinsi Aceh yang menjadi sasaran?
Kemudian, mengapa mereka bisa semudah masuk ke negara orang lain? Sejuta tanya bersarang dalam pikran semua orang. Selanjutnya, hal paling merisaukan adalah sampai dimana tanggungjawab pemerintah khususnya Negara Republik Indonesia dalam menghadapi kondisi ini? Bukankah Aceh bahagian dari Indonesia yang berhak mendapatkan perlindungan dari ancaman negara lain? Pertanyaan - pertanyaan di atas tidak menghendaki adanya jawaban dari pembaca. Satu yang perlu jadi pertimbangan semua orang, Etiskah apabila pengungsi Rohingya ditolak?
Alasan Kemanusiaan
Setiap negara tetap ada undang- undang rujukan untuk menangani pengungsi yang masuk ke negaranya. Di Indonesia undang- undang yang berkaitan dengan pengungsi asing adalah UU No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri yang memandatkan untuk mengatur kemudian lewat Peraturan Presiden. Baru di tahun 2016 ditindaklanjuti dengan Peraturan Presiden RI No. 125 Tahun 2016 tentang penanganan pengungsi dari luar negeri.https://lbhmakassar.org/liputan-kegiatan/memahami-perlindungan-hukum-bagi-pengungsi/
Jika merujuk pada undang-undang tersebut, setiap pengungsi asing yang singgah atau mencari perlindungan dari ancaman ketika berada di negerinya. Mengingat sebuah hubungan internasional yang sudah dibangun berpuluh- puluh tahun. Serta kita hidup di dunia tidak bisa mengurus diri sendiri harus berdampingan dengan negara lain, maka tidak ada alasan untuk menolak mereka .
Selanjutnya, faktor kemanusiaan juga memberikan peluang bagi siapa saja untuk memperlakukan setiap pengungsi secara manusiawi. Hal ini dilakukan sebagai pengangaana awal. Apabila negeri mereka sudah aman, mereka dipersilakan untuk kembali ke negara aslinya. Tidak seperti pengungsi Rohingya yang meminta untuk menetap di bumi Serambi Mekah. Bahkan ada beberapa tokoh yang rela tanah dan kantornya dijadikan sebagai tempat penampungan mereka.
Akan berbeda apabila ada anggota dewan perwakilan rakyat dari Aceh yang meminta untuk diberikan pulau kepada mereka. Apakah pemberian pulau kepada pengungsi Rohingya sesuatu yang berlebihan? Bukankah masalah pengungsi asing yang masuk ke suatu negara menjadi tanggal jawab United Nation High Commissionerfor Refugess (UNHCR)?
Badan Perserikatan Bangsa Bangsa PBB) sudah menjadikan masalah pengungsi ini sebagai masalah dunia, apalagi di zaman peperangan tak menentu seperti ini mereka dengan badan United Nation High Commissionerfor Refugess (UNHCR) lebih sigap menghadapi hal tersebut. Masalah satu keyakinan atau satu akidah juga perlu dijadikan peninjauan ulang. Bukan berarti karena sekeyakinan harus mengorbankan bangsa sendiri dengan menerima bamgsa lain. Hemat penulis, apabila itu yang dijadikan dasa berpikir, maka keyakinan seiman juga perlu dipertanyakan. .
Perdagangan Manusia
Perdagangan manusia atau sering disebut dengan Human Traficking adalah sebuah kegiatan eksplorasi perbudakan yang dilakukan oleh individu atau perusahaan dengan cara mencari keuntungan pribadi dan perusahaan. Modus yang digunakan sangat banyak, tergantung pada keinginan dan harapan yang diinginkan oleh orang atau manusia yang diperdagangkan.
Perusahaan yang melakukan kegiatan Human Traficking adalah perusahaan atau individu yang mempunyai hubungan internasional. Mereka memanfaatkan faktor kemanusiaan dalam melaksanakan aksinya. Jika dianalisis berkaitan dengan pengungsi Rohingya, hal ini akan tampak kentara sekali bahwa mereka adalah korban perdagangan manusia.
Mari berpikir dengan logika yang ilmiah, mereka datang dari Kamp pengungsi terbesar Katupalong Bangladesh dengan menumpang kapal apung tanpa mesin.
Mereka melintas samudera luas dengan melewati Thailand, India dan Malaysia. Dari perjalanan yang begitu panjang dan lama serta diapit gelombang badai, mereka tidak apa -apa sampai di Aceh.Kalau dinalogikan, banyak sekali nelayan Aceh yang berlayar menggunakan perahu bermesin kadang - kadang terdampar sampai ke pulau Andaman, India, Kenapa pengungsi Rohingya aman- aman saja sampai ke Aceh. Apakah hal ini tidak patut untuk dicurigai bahwa mereka adalah korba perdagangan manusia. .
Lebih lanjut, informasi yang berkembang bahwa mereka membayar 15 Sampai 20 juta rupiah per jiwa agar bisa sampai ke Indonesia. Lagi -lagi ini memunculkan kecurigaan yang luar biasa . Berdasarkan analisis sederhana yang mengacu pada logika berpikir sudah dapat dipastikan bahwa, ada kegiatan Human Traficking berlangsung di balik kasus besar yang menimpa warga Rohingya.
Kajian selanjutnya, negara Indonesia merupakan negara kepulauan yang membentang dari Sabang sampai Merauke.Negara seluas dan sepanjang ini tentunya membutuhkan pengamanan yang ketat.
Ada hal yang mengherankan dari kasus Rohingya, bahwa apabila setiap warga negara ingin masuk ke negara lain tentunya harus melewati administrasi kenegaraan dari pihak imigrasi yang sangat ketat. Kasus ini berlaku untuk pendatang atau imigran resmi. Untuk pendatang yang tidak resmi, sudah pasti memiliki pengamanan yang t ketat dari pihak penjaga laut Indonesia. Namun kenyataan tidak demikian, mereka bisa masuk secara leluasa ke negeri ini seperti pulang ke negeri sendiri. Dengan demikian keamanan dan pertahanan laut Indonesia patut dipertanyaakan.
Kesejahteraan Masyarakat Aceh
Untuk membiayai jumlah pengungsi Rohingya yang berada di Aceh membutuhkan dana yang luar biasa.Dana tersebut apabila akan mengurus APBD daerah Aceh. Bayangkan saja, kondisi ekonomi masyarakat Aceh saat ini. Bahkan dengan kondisi Anggaran Pendapatan Belanja Aceh (APBA) saat ini Aceh masih tergolong provinsi termiskin di Sumatera. Riskan sekali untuk kondisi seperti ini harus menanggung beban besar seperti ini.
Amatan penulis selaku orang Aceh, cukup banyak masyarakat Aceh yang berada di bawah garis kemiskinan setelah konflik yang berkepanjangan dan bencana tsunami. Mereka kelihatan masih berbenah diri menata perkonomian. Sementara pengungsi Rohingya yang masuk ke Aceh minta perlakuan yang istimewa seperti yang tampak viral di media sosial.
Masyarakat Aceh tidak pernah mengundang mereka mendarat di bumi Aceh. Dengan segala kerendahan, mereka secara spontan dan berencana menolak mereka berada di sini. Pada prinsipnya daripada memperlakukan pengungsi Rohingya seperti manusia yang ingin hidup mewah, lebih baik dana tersebut digunakan untuk masyarakat Aceh yang masih berada di bawah garis kemiskinan.
Artinya, pada kamp -kamp penampungan pengungsi hampir tiap hari mereka disajikan daging ayam untuk menu makannya. Hal ini berbeda sekali dengan kondisi yang berlangsung di Aceh.
Simpulan:
Agar permasalahan di atas menemukan tujuannya, maka perlu diberikan simpulan. Apabila pemerintah tidak mengambil tindakan tegas dalam menangani pengungsi Rohingya, sangat ditakutkan akan muncul konflik antara masyarakat dengan pengungsi Rohingya. Selanjutnya, dikuatirkan akan memunculkan tindakan main hakim sendiri oleh masyarakat terhadap pengungsi Rohingya. Sebelum kasus ini berlarut- larut dibutuhkan tindakan tepat dan terukur dalam menangani pengungsi Rohingya.
Penulis adalah Pemimpin Redaksi Jurnal Aceh Edukasi dan Guru SMA negeri 1 Lhokseumawe
0 Komentar