Aku, Pino, dan Neira


 

Oleh: Fadlan Sabihat NR

Terlihat seorang pria duduk menunggu waktu keberangkatannya di bandara. “pesawat menuju Ambon akan berangkat pada pukul sepuluh pagi, diharapkan para penumpang sudah bisa bersiap-siap dan menunggu di ruang tunggu yang telah disediakan” ujar salah seorang operator bandara. 

Tes DNA untuk Nana

Pengumuman itu seketika mengalihkan perhatiannya yang sedang memandangi foto-foto yang di pegang, lalu Ia bergegas menuju ruang tunggu. Pria itu adalah Aku. Aku berusia 23 tahun dan memiliki hobi photography. 

Aku telah menekuni hobi itu dari umur 8 tahun. Salah satu foto favorit yang diambil adalah foto Aku dengan sahabatku Pino. Pino adalah gadis cantik, bermata indah, terkadang apabila Ia tersenyum matanya ikut tersenyum. Suaranya indah bagaikan melodi music selalu ingin ku dengar. Kata-kata darinya yang masih teringat sampai sekarang ialah “kamu ga boleh mati, sebelum kita pergi ke Banda Neira”.

Gadis itu terobsesi dengan sebuah tempat yang disebut Banda Neira. Berkali-kali Ia menceritakan betapa indahnya tempat itu, hingga Aku bosan mendengarnya. “di sana ada gunung besar….. banget, terus lautnya warna biru, banyak ikan juga. 

Pokoknya nanti Aku mau ke sana” ucap Pino. Apapun yang telah berkali-kali mendengarkan ocehannya selalu menjawab “iya Pino, nanti kita ke sana ya”. “janji?” ucap Pino sambil menjulurkan jari kelingkingnya tanda sebuah perjanjian, “iya, Aku janji” sambil membalas uluran kelingking Pino tanda mengiyakan janji itu. Aku dan Pino telah bersahabat sejak kami duduk di bangku sekolah dasar. 

Terkadang banyak tingkah laku Pino yang membuat Aku menggelengkan kepala, salah satunya Pino selalu mengajak Aku untuk makan es krim selepas pulang sekolah, padahal Pino sudah diperingatkan ibunya untuk tidak makan es krim, namun apabila Aku menolak, Pino marah bahkan bisa saja Ia menangis. Sungguh gadis yang sangat lucu.

Baca Juga:Aku, Malaikat Kecilku, dan Bidadari

Namun saat kami duduk di bangku sekolah menengah atas, Aku meninggalkan Pino, Aku terpaksa pindah ke ibu kota karena ayahku mendapatkan panggilan tugas di sana. Sebelum pergi Pino memberikan jurnal rahasianya kepadaku. Jurnal itu berisi tentang segala hal yang Pino ketahui mengenai Banda

Neira. “nih, Aku kasih kamu ini, biar kamu selalu ingat janji kita buat pergi ke sana” ucap Pino dengan mata yang berkaca-kaca membendung air matanya agar tidak jatuh. “iya, siap Pino. nanti kita ke sana ya, Aku janji” ucapku dengan wajah tersenyum, “jangan nangis dong, sedih ya Aku mau pindah?” ucapku dengan nada yang terkesan mengejek, “dih, engga ya! Siapa juga yang nangis, wuu” ucap Pino, namun gadis lucu itu menangis ketika Aku sudah masuk ke dalam pesawat menuju ibu kota.

Aku dan Pino sudah lama tidak bertukar pesan, entah mengapa Aku tidak bisa menghubungi Pino semenjak tujuh tahun terakhir, Pino menghilang tanpa kabar. Aku mendengar katanya 

Pino mengganti nomor telepon salulernya, namun Aku tak kunjung dapat menghubunginya, berkali-kali Aku menghubungi nomor telepon yang berbeda, berharap salah satu dari nomor itu adalah nomor Pino, namun lagi-lagi Aku tidak dapat menghubunginya. “halo, ini Pino?” ucapku, “hah, Pino teh saha?”, “ini bukan Pino?”, “bukan, abdi teh asep” dan ternyata Aku salah sambung untuk kesekian kalinya. 

Namun Aku teringat Pino pernah berpesan padaku “jangan lupa sama janjinya, inget ya walaupun nanti kita ga ke sana bareng-bareng tapi percaya, kita bakalan ketemu kok. Kalaupun Aku nanti yang duluan pergi ke sana, Aku tungguin kamu, sampe kamu nyusul Aku ke sana”. Itu merupakan pesan terakhir dari gadis lucu, Pino.

Setelah mencari tahu lebih detail mengenai Banda Neira, Aku pun mengetahui lokasi dari tempat itu. Banda Neira merupakan sebuah pulau di kepulauan Banda, kabupaten Maluku Tengah. “wah, indah” ucapku terkagum-kagum saat melihat Banda Neira di handphone. Kini Aku mendapat kesempatan untuk pergi ke sana, menunggu keberangkatan pesawat yang akan lepas landas pada pukul sepuluh pagi. 

Aku sudah tak sabar lagi ingin merasakan keindahan yang dari dulu selalu diceritakan Pino kepadaku. Aku duduk seorang diri, sambil memandangi foto-fotoku bersama Pino, hingga tak terasa waktu telah menunjukan pukul sepuluh. Aku langsung bergegas menuju pesawat yang akan membawaku menuju surganya dunia.

Perjalanannya memakan waktu sekitar tiga jam, Aku harus singgah di Ambon sebelum akhirnya melanjutkan perjalananku menuju Banda Neira. Setelah sampai di Ambon, perhatianku teralihkan dengan sekelompok anak muda yang menampilkan tari tifa lenso di alun-alun kota. Tari yang berasal dari Maluku itu memiliki daya tarik tersendiri, sontak Aku bergumam di dalam hati “wah, keren”. 

Hingga wisatawan asing pun ikut menyaksikan tarian daerah itu. Setelah menyaksikan penampilan yang luar biasa dari tarian daerah, Aku bergegas menuju pelabuhan kota Ambon untuk melanjutkan perjalananku menuju Banda Neira. Aku berangkat menggunakan kapal feri bahtera nusantara 02 yang memakan waktu perjalanan sekitar sepuluh jam. Sungguh perjalanan yang membosankan dan melelahkan, namun rasa bosan itu terbayar ketika Aku melihat lautan lepas yang sangat luas dan indah. 

Burung-burung berterbangan di langit bagaikan pemandu yang mengiringi kami menuju Banda Neira, sesekali mereka singgah di kapal untuk beristirahat, beberapa penumpang pun ada yang memberinya makan, sebelum burung-burung itu kembali terbang di udara.

Sepuluh jam bukanlah waktu yang singkat, sesekali Aku mengambil foto menggunakan kamera yang Aku punya, Aku memang hobi mengambil foto-foto alam karena bagiku alam merupakan lukisan yang dibuat oleh tuhan, namun dapat dirasakan manfaat dan keindahannya. 

Foto samudera biru yang luas dan indah itu mengingatkanku dengan ucapan Pino mengenai Banda Neira, Aku sudah tidak sabar ingin melihat keindahannya secara langsung. Setelah dirasa cukup, Aku memutuskan untuk beristirahat. Aku makan siang di kabin kapal menggunakan lauk pauk yang ku beli di kota Ambon, katanya makanan itu cukup populer di sana, setelah mencicipinya Aku Pun mengetahui alasan mengapa makanan itu bisa begitu populer di kota Ambon, rasa yang tiada tandingan, rempah-rempah yang begitu nikmat mencerminkan negri Indonesia yang kaya akan rempah-rempah.

Perhatianku teralihkan saat kulihat jam tangan menunjukan pukul enam sore, waktu yang sangat Aku tunggu-tunggu. Aku dapat melihat matahari yang terbenam di kaki cakrawala, senja yang begitu indah. Langit mulai memerah tanda pergantian malam, matahari perlahan-lahan mulai menghilang meninggalkan bekas yang begitu indah di bumi pertiwi. 

Aku tak lupa untuk mengabadikan momen itu, sesekali Aku mengambil foto senja sebagai saksi keindahan alam yang diciptakan oleh tuhan. Angin senja yang begitu nikmat Aku rasakan silih berganti, angin yang membawa ketenangan bagi jiwa-jiwa yang resah,

Aku menyebutnya angin senja. Tak lama matahari menghilang bulan muncul menggantikan peran matahari sebagai penerang di malam hari. Bulan yang bersinar terang menghiasi langit malam, dan tak lupa ditemani dengan gugusan bintang yang terbentang di angkasa. Keindahan yang tak kalah indah dari senja, keindahan yang membuatku begitu terkagum-kagum dengan bumi pertiwi, bumi Indonesia. Tuhan begitu lihai dalam menciptakannya hingga kata-kata tak cukup untuk mendeskripsikan keindahannya.

Terkadang Aku bertegur sapa dengan beberapa penumpang kapal, ada yang dari Manado, ada yang dari Bandung, bahkan ada yang dari Aceh, tujuan kami sama ingin melihat keindahan Banda Neira, surganya dunia. 

Waktu telah menunjukan pukul sebelas malam, angin menjadi begitu dingin Aku yang kelelahan memutuskan untuk masuk ke dalam kabin kapal. Dengan kepala yang tersandar di dinding kapal Akupun tertidur. Setelah lima jam tertidur Aku terbangun, waktu menunjukan pukul empat dini hari, Aku sudah bisa melihat pulau Banda Neira dari kejauhan tanda perjalananku sebentar lagi. “bentar lagi sampe dek” ucap salah seorang penumpang di sebelah ku, “oh, iya pak” kata ku.

Benar saja setelah menunggu satu jam, akhirnya Aku sampai di pelabuhan Banda Neira. Aku langsung disambut dengan gemercik suara ombak dan belaian angin pagi, udara yang masih terasa sangat segar dan jauh dari polusi. 

Matahari perlahan mulai terbit, fajar mulai datang menggantikan langit malam, langit mulai memerah kemudian membiru, menyatu dengan warna samudera. 

Aku kemudian bergegas menuju penginapan untuk menaruh barang-barangku dan beristirahat sejenak setelah melalui perjalanan yang cukup panjang. Setelah sampai di penginapan Aku segera membersihkan badan dan juga barang-barangku, sangat lelah namun terbayar dengan pemandangan indah yang disajikan. Hamparan pasir putih yang terbentang di bibir pantai, samudera biru yang luas dengan segala keindahan yang dikandungnya, jejeran pohon kelapa yang menjulang tinggi sebagai pelengkap keindahan yang terpampang nyata. Sungguh Aku tidak percaya dengan keindahan yang 

Aku liat, “pantesan Pino maksa harus ke sini, orang tempatnya bagus gini” gumamku di dalam hati.

Setelah dirasa cukup beristirahat Aku memutuskan untuk jalan-jalan di sekitar penginapan, tak lupa kamera yang selalu ku bawa untuk mengabadikan keindahan Neira. Aku memutuskan untuk memulainya dari bibir pantai, kakiku menginjak hamparan pasir putih yang begitu luas, beberapa wisatawan memutuskan untuk berjemur di bawah sinar matahari yang tak begitu terik sambil ditemani dengan angin sepoi-sepoi yang menjanjikan kenyamanan bagi siapa saja yang merasakannya. Aku melihat pohon kelapa kembar yang tumbuh di sekitaran bibir pantai, lihatlah bagaimana alam menciptakan keindahannya. 

Pohon itu menjulang tinggi membuat pantai itu semakin indah untuk dilihat. “andai aja Pino ada di sini, ga kebayang deh bahagianya kaya apa” ucapku sambil berharap kehadiran Pino di Neira.

Banda Neira merupakan daerah pertama di nusantara yang dikuasai Belanda sebelum Batavia. Dahulu, segenggam komoditas buah pala nilainya setara dengan segenggam emas karena hanya dapat ditemukan di Kepulauan Banda, pada saat itu pala diyakini dapat tumbuh subur di sana. Banda Neira memiliki luas pulau yang tidak begitu besar, hanya sekitar 3 km2. 

Terdapat beberapa peninggalan bersejarah yang masih ada hingga saat ini salah satunya ialah Benteng Nassau. Benteng ini merupakan benteng Belanda pertama, benteng ini selesai dibangun pada tahun 1609. Tujuan dibangunnya benteng ini adalah untuk mengontrol perdagangan pala. Selain dari Benteng Nassau, banyak bangunan bersejarah lainnya yang telah diubah menjadi objek wisata. Seperti, Benteng Belgica, Istana Mini Neira, Rumah pengasingan bung Hatta, dan Pulau Hatta.

Namun tak hanya berhenti disitu para wisatawan juga dapat merasakan sensasi menyelam ke dalam samudera lepas yang penuh dengan keindahan, dan aneka biota laut mulai dari terumbu karang. 

Banda Neira memiliki puluhan spot untuk snorkeling maupun diving yang sangat menawan, kecantikan dunia bawah laut kepulauan ini memang bisa membuat decak kagum. Dari sekian banyak spot menyelam, terdapat suatu spot yang paling menarik yaitu spot Lava Flow. 

Spot ini memiliki terumbu karang dan biota laut yang masih alami, serta menjaga habitat lion fish. Sesuai namanya spot ini terbentuk dari aliran lava yang mengalir saat gunung api Banda meletus. Selain dari keindahan bawah lautnya, kepulauan Banda juga menyajikan keindahan dari puncak gunungnya. Gunung Api Banda yang terletak di laut Banda, memiliki ketinggian mencapai 656 meter di atas permukaan laut, gunung tersebut pernah mengalami erupsi pada 9 Mei tahun 1988 hingga menimbulkan gempa yang dapat dirasakan sampai kota Neira. Dan masih banyak lagi objek wisata lainnya.

Hari pertamaku di Banda Neira Aku memutuskan untuk pergi ke klinik terdekat untuk menebus obat vitamin yang biasa ku minum, berharap klinik tersebut menyediakan vitamin yang Aku butuhkan “duh, mau habis lagi. Terpaksa beli dulu lah, coba liat maps klinik terdekat di sini di mana” ucapku kepada diriku sendiri, “nah, ini nih, deket kok’. 

Akhirnya Aku bergegas menuju klinik sesuai dengan arahan maps di handphone. Selama perjalananku menuju klinik Aku merasakan udara yang begitu asri dan sejuk, enak untuk dihirup, hingga Aku memberinya nama angin Neira.

Setelah memakan waktu sepuluh menit, Aku sampai di klinik yang dimaksud “ini kliniknya?, permisi mas ini klinik ya?” tanyaku kepada salah seorang warga yang sedang berlalu-lalang “iya mas, ini klinik” balas warga tersebut menjawab pertanyaanku, “oh, oke mas terimakasih”. 

Aku segera memasuki klinik tersebut dan menuju resepsionis untuk memberitahu maksud kedatanganku. “permisi mbak, saya mau nebus vitamin, ini ada resepnya dari dokter saya”, “oh iya mas, coba saya liat” sembari mengambil kertas resep yang Aku pegang, “baik mas, ditunggu ya”, “iya mbak”.

Aku kemudian duduk di bangku yang telah disediakan sembari memerhatikan keadaan sekitar, hingga pandanganku teralihkan saat melihat seorang dokter yang lewat di hadapanku, seakan Aku mengenalinya. Aku memerhatikannya dari kejauhan, rambutnya yang terikat rapih, dengan menggunakan jas dokter, dan Aku mendengar suaranya saat ia memanggil nama salah seorang pasien di sana, “mbak senja” ucapnya lembut, dan Aku mengenali suara itu, suara yang selalu menyuruhku untuk pergi ke tempat yang disebut Banda Neira, suara yang begitu lembut layaknya melodi music kesukaan ku. Hingga sontak Aku memanggil “Pinooo…..?”, dokter itu membalikan pandangannya ke arah ku, lalu tersenyum sambil mengangkat tangan dan melambai. Aku seketika membeku, dan tak percaya dengan apa yang Aku lihat. Ia kemudian berjalan ke arah ku dengan wajah yang ceria, “haloo…. 

Akhirnya kamu ke sini juga ya, cape tau Aku nungguin kamu”. Kemudian Aku sontak memeluknya, melepaskan rasa kerinduan yang begitu dalam ke pada sahabat kecilku, dengan masih menyimpan sejuta pertanyaan yang ingin ku tanyakan ke padanya.

“Kamu kemana aja Pinoo?, kok Aku telfon ga bisa-bisa” ucapku dengan suara yang sedikit bergetar, masih tidak percaya Aku bisa bertemu Pino di Neira, “iya, maaf ya. Nanti Aku jelasin, sekarang Aku harus meriksa pasien liat tuh dia udah nunggu” Aku hanya mengangguk tanda mengiyakan ucapannya. “Aku bentar lagi selesai, nanti Aku ajak kamu keliling Neira. 

Oh iya kamu ada keperluan apa ke klinik?”, “Aku cuman nebus vitamin, udah mau habis” jawabku, “Aku meriksa pasien dulu, nanti kita ngborol lagi” lagi-lagi Aku hanya mengangguk. Setelah menunggu sekitar satu jam, akhirnya dokter cilik itu menemui ku “ayo, Aku udah selesai ni”, di sepanjang perjalanan Aku hanya terdiam masih tidak menyangka tentang hal yang terjadi hari ini, “kamu kok diem aja, gak kangen sama Aku?” tanya Pino,

 “Aku bingung Pino, kamu kemana aja sih?”, “jadi tujuh tahun yang lalu Aku memutuskan buat jadi dokter, dan saat Aku telah menyelesaikan pendidikan, Aku mendengar bahwa di sini kekurangan tenaga medis, dan akhirnya Aku menawarkan diri menjadi sukarelawan disini”, “terus Aku call kok ga bisa?” tanyaku kepada Pino, “iya, kemarin hp Aku rusak dan di sini sinyalnya agak susah”. Akupun tidak ingin mempermasalahkan hal itu lagi, untuk dapat bertemu Pino saja Aku sudah senang.

Keesokan paginya Pino mengajak ku untuk pergi ke salah satu tempat bersejarah, Aku sudah cukup mengetahui tentang Banda Neira karena Aku sudah melakukan pencarian di internet terlebih dahulu mengenai Banda Neira. Mulai dari Benteng Nassau, tempat pertama yang Aku kunjungi saat Aku di Banda Neira, bukan Pino kalo tidak mengomel disepanjang perjalanan Ia selalu menceritakan mengenai Banda Neira, “sekarang kita mau ke Benteng Nassau dulu. Benteng ini tu benteng belanda pertama tau yang dibangun di sini”, ujarnya “iya Pino Aku tau”, “tau dari mana? Kamu kan baru aja di sini”, “Aku kan baca di internet Pino”, “ohhh… okei”. 

Setelah dari Benteng Nassau, kami melanjutkan wisata kami menuju Rumah Budaya Banda Neira, di sana terdapat berbagai koleksi benda bersejarah layaknya museum. Hingga pada akhirnya tempat terakhir yang kami kunjungi ialah Rumah pengasingan Bung Hatta, yang dimana tempat itu merupakan tempat Bung Hatta diasingkan. Bangunan-bangunan bersejarah itu masih berdiri kokoh dan terawatt.

Setelah mengunjungi tempat-tempat bersejarah, Aku dan Pino memutuskan untuk menikmati keidahan alam Banda Neira, pulau yang terletak di laut Banda itu menyajikan keindahan dunia bawah lautnya. Aku telah mengetahui objek wisata yang bagus untuk hal itu, kami memutuskan untuk pergi ke Lava Flow dan melakukan snorkeling untuk menikmati keindahan biota lautnya. “hari ini kita snorkeling mau ga?” tanyaku kepada Pino, “boleh tuh”, “Aku tau tempat yang bagus di mana, kita pergi ke Lava Flow”, “okei, siapp boss”. 

Setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh, akhirnya kami sampai di tempat tujuan “berani gak?” ujarku kepada Pino dengan nada yang mengejek, dengan nada yang terkesan sombong Pino menjawab “beranilah, emang Aku penakut”. Setelah mengatri akhirnya giliran kami untuk melakukan snorkeling, tempat wisata itu selalu penuh, banyak wisatawan asing juga yang mencoba objek wisata Lava Flow, tidak heran keindahan yang sangat menjanjikan di berikan oleh objek wisata ini. “ayo Pino” sambil meraih tangan Pino mengajaknya untuk melakukan snorkeling tak lupa kamera yang selalu ku bawa, “untung aja Aku punya kamera ini, jadi kita bisa ambil foto di bawah air” ucapku sambil menunjukan kamera yang bisa dibawa menyelam ke dalam air.

Kemudian kami masuk ke dalam air, melihat dunia bawah laut yang masih terjaga kelestariannya, indah sangat indah hingga kata tak cukup untuk mendeskripsikan keindahannya. 

Aku mengambil beberapa foto biota laut yang ada, seperti terumbu karang, ikan dan biota laut lainnya, alamnya masih sangat terjaga jauh dari polusi apalagi pencemaran, warna samudera yang begitu biru seakan-akan menyatu dengan warna langit, air yang masih begitu terasa segar dan habitat hewan yang masih terjaga dan terlestarikan, begitu banyak spesies ikan yang terdapat di sana mulai dari ikan yang berukuran kecil hingga ikan yang berukuran sedang dan besar. 

Setelah dirasa cukup menikmati keindahan dunia bawah laut, kami memutuskan untuk naik ke permukaan, tak dapat dipungkiri melakukan snorkeling membuat Aku lapar, dan kami memutuskan untuk makan di sekitaran bibir pantai. Dengan ditemani kicauan burung, angin yang begitu sejuk, dan pohon kelapa yang seakan melambai-lambai ke arah kami. 

Dan juga sembari menikmati indahnya surya yang perlahan mulai menghilang, tenggelam di kaki cakrawala meninggalkan bekas yang begitu indah. Langit mulai memerah tanda senja datang, dan hari itu kami akhiri dengan menikmati senja bersama-sama.


Penulis adalah siswa Kelas XI,1 Unggul SMA Negeri 1 Lhokseumawe 


Berita Terkait

Posting Komentar

0 Komentar