Antara Profesional, Emosional dan Kebijakan

 

Antara Profesional, Emosional dan Kebijakan 

Oleh Muklis, S.Pd., M.Pd.

sastrapuna.com - Tetaplah berlaku santun dan profesional, termasuk kepada orang yang biasa berlaku sebaliknya kepada Anda. Ketidak-santunan orang lain tidak boleh mengurangi keindahan pribadi Anda.( Mario Teguh)

Dalam hidup, kata profesional menjadi familiar bagi setiap orang. Bahkan kata ini sudah menjadi konsumsi publik dalam berbagai strata sosial. Namun diksi menarik ini diucapkan secara serampangan oleh siapa saja tanpa memahami makna sebenarnya dari kata profesional. Semakin hari semakin banyak saja orang mempermainkan kata tersebut sebagai stigma atua justice di balik segala kesalaha yang dimiliki oleh orang lain. 

Dalam tulisan ini penulis hendak mengurai secara gamblang tanpa ada kerut di kening pembaca.  Sebagai langkah awal  penulis akan merujuk pada KBBI apasih makna kata profesional sesungguhnya sebelum dikaitkan dengan bagian judul dari tulisan ini yaitu emosional, dan kebijakan? 

Menurut David H. Maister (1998:56)  bahwa orang-orang profesional adalah orang yang diandalkan dan dipercaya karena mereka ahli, terampil, punya ilmu pengetahuan, bertanggung jawab, tekun, penuh disiplin, dan serius dalam menjalankan tugas pekerjaannya. 

Orang orang yang termaktub dalam kutipan di atas adalah mereka yang telah melalui proses pelatihan  panjang, lama, dan berada dalam suatu kondisi yang tersistem.  Bidang yang digelutipun beragam dalam kehidupan manusia , baik  bersifat akademik maupun nonakademik. 

Secara umum, masyarakat Indonesia hari ini beranggapan bahwa setiap bidang pekerjaan yang dilakukan oleh ahlinya selalu disebut bahwa mereka para profesional.Padahal  jika merujuk pada batasan profesional yang telah disajikan di atas kata " Profesional " tidak bisa dilekatkan secara serampangan. 

Walaupun demikian kata-kata  tersebut menjadi konsumsi publik apabila dikaitkan dengan pekerjaan yang dilakukan. Dalam ilmu semantik itu disebut dengan perubahan makna dari sebuah diksi yang ada dalam khasanah ilmu bahasa. Artinya, ada diksi yang dulunya bermakna sempit kini meluas akibat dari nilai rasa yang dimunculkan dalam konteks  kebahasaan. Namun hal ini dipengaruhi oleh faktor penggunaan bahasa dan konteks kebahasaan yang dimasukinya. 

Agar  makna kata profesional tidak liar dalam ulasan tulisan ini, penulis menggiring makna tersebut berkaitan dengan kebijakan dan emosional.  Biar lebih terfokus pikiran pembaca penulis mencoba mengajak pembaca untuk memahami dalam konteks pekerjaan  berhubungan dengan kepemimpinan  yang sering didengar dan dialami oleh   pembaca. 

Seorang pemimpin adalah orang yang diberikan kepercayaan untuk memimpin sebuah institusi  berdasarkan ilmu yang dimiliki. Seorang pemimpin biasanya sudah melalui studi kelayakan berdasarkan indikator yang ditetapkan, sehingga Ia layak diangkat dan disebut sebagai pemimpin. 

Selanjutnya, disebut pimpinan karena  Ia memiliki pemahaman bahwa ia harus memimpin berdasarkan surat keputusan dalam artian suka atau tidak suka bawahannya ia menjadi seorang pemimpin pada suatu jabatan. Makna pemimpin adalah ia memimpin berdasarkan pengakuan oleh bawahan, dalam artian memang yang pantas memimpin.https://www.bernas.id/2021/05/12468/79949-perbedaan-pemimpin-dan-kepemimpian-yang-perlu-anda-ketahui/#:~:text=Perbedaan%20Pemimpin%20dan%20Kepemimpinan%20Secara%20Bahasa&text=Merujuk%20pada%20hal%20tersebut%2C%20maka,diakses 8 Juli 2022

Dalam konteks  sosial  terutama kalangan akademisi pemimpin adalah sosok yang dijadikan panutan bagi bawahannya. Sosok ini hampir dipastikan tidak boleh cacat sedikitpun  secara psikis. Artinya pemimpin itu jadi teladan bagi staf yang dipimpinnya.  Integritas seorang pemimpin akan diuji secara alamiah  dalam menjalankan fungsi dan peran yang ia lakoni.

Integritas seorang pemimpin meliputi komitmen, ketegasan, kejujuran dan kebijakan. Kebijakan seorang pemimpin sangat dipengaruhi oleh unsur profesional yang dimiliki. Pertanyaan mendasar yang harus dijawab adalah bagaimana sih menjadi pemimpin yang profesional   terutama berhubungan dengan kebijakan?

Jawabannya sederhana, sesederhana bagaimana paradigma yang berlangsung dalam iklim orang orang  yang berada di bawah kepemimpinan. Seorang pemimpin disebut profesional apabila mampu mengendalikan setiap aturan yang berlaku sesuai dengan porsi yang telah ditentukan. Ia mampu merujuk pada aturan dasar yang ditetapkan dalam lingkup kepemimpinan. 

Seorang pemimpin adalah orang yang diberikan kelebihan oleh tuhan untuk memimpin sekelompok orang yang bertujuan  mencapai visi yang telah ditetapkan dalam sebuah komunitas. Namun perlu diketahui bahwa pemimpin itu juga manusia yang tak lepas dari segala keterbatasannya sebagai manusia. 

Sebagai manusia normal yang diberikan  kelebihan sebagai pemimpin tentu saja dipenuhi dengan masalah kepribadian. Keunikan kepribadian pemimpin kadang - kadang bias terhadap kebijakan yang diambil. Nah keunikan  setiap pemimpin itu termasuk dalam ranah emosional. 

Ranah ini merupakan hal  sensitif bagi setiap manusia. Faktor intuisi atau kata hati adalah ranah yang selalu mendominasi sebuah keputusan. Kedewasaan dalam mengambil kebijakan  berhubungan dengan kepiiaawaan dalam mengelola dua kecerdasan yaitu kecerdasan profesional dan emosional. 

Kedua kecerdasan tersebut berada dalam satu jiwa, namun memiliki keunikan masing -masing. Artinya kecerdasan profesional bertindak sesuai prosedur yang telah ditentukan, sedangkan emosinal dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. 

1. Faktor Internal 

Faktor internal meliputi kondisi batin, kata hati, hubungan keluarga, dan kerabat bahkan termasuk hubungan strata sosial.  Faktor internal mempunyai pengaruh  besar terhadap kebijakan yang diambil. Misalanya faktor batiniah pemimpin adalah adanya ketidaknyamanan terhadap diri prbadi setelah keputusan diambil. 

Faktor psikis ini menjadikan beban mental secara privasi bagi seorang pemimpin. Akhirnya, muncullah berbagai pertimbangan yang menghasilkan sebuah kebijaksanaan dari sebuah kebijakan. Dapat dibayangkan  pleasure dari dalam mampu mengubah kebijakan menjadi kebijaksanaan. Dengan demikian kebijaksanaan adalah  sebuah perseteruan hebat antara emosional dan profesional yang  menghantam teknik berpikir sang pemimpin. 

Selanjutnya, hubungan kekerabatan, strata sosial, dan keluarga juga termasuk faktor penentu sebuah kebijakan menjadi kebijaksanaan. Faktor tersebut sudah menjadi rahasia umum dalam kehidupan kepemimpinan. Rasanya penulis tidak perlu menghadirkan contoh dan analogi berfikir terhadap masalah tersebut. 

Filosofi hubungan di atas selalu bertumpu pada  gerakan emosional yang didesak dari dalam seorang pemimpin. Betapa banyak pemimpin di berbagai instansi yang menjilat ludahnya sendiri setelah keputusan itu disampaikan kepada bawahan. Jika hal ini mendominasi setiap keputusan, maka dipastikan integritas seorang pemimpin  hilang. 

Ketegasan dalam konteks ini adalah bersatu padunya sebuah ketegasan dan komitmen. Perpaduan kedua hal ini akan menghasilkan sebuah kejujuran. Kejujuran adalah kepercayaan yang menjadi ciri khas seorang pemimpin profesional 

Menjadikan faktor berbagai hubungan yang telah disebutkan di atas mewarnai setiap keputusan menunjukkan sikap labil yang terus dipertontonkan pada bawahan. Para tokoh - tokoh hebat' dari pemimpin dunia  telah menjalankan hal ini. Bahkan mereka sudah menjadikan dirinya sebagai contoh pemimpin yang ditakuti, dihargai, dihormati dan dibangga banggakan.. 

Untuk mengurangi kekusutan pikiran pembaca tentang hal ini, penulis akan menghadirkan sekelumit kisah dari Raja Aceh yang mendunia dalam hal mengambil keputusan secara profesional. Sebuah kisah menarik dari tanah negeri  para aulia. 

Sultan Iskandar Muda didatangi perwira. Ia melaporkan bahwa istrinya telah ditiduri putra mahkota, Meurah Pupok. Perwira itu membunuh istrinya, lalu bunuh diri di depan Sultan Iskandar Muda.Atas peristiwa ini, Sultan Iskandar Muda berjanji akan menegakkan hukum dengan adil. Dia akan menghukum putranya sendiri sesuai konstitusi Kerajaan Aceh Darussalam, Qanun Meukuta Alam, yang bersumber dari Al-Qur’an dan hadits.https://bimoprasetio.com/kisah-meurah-pupok-putra-mahkota-yang-dipenggal-demi-tegakkan-syariat-islam/diakses 8 Juli 2022

Contoh di atas adalah sebuah keteguhan yang dimiliki oleh seorang pemimpin profesional  berhubungan dengan kerabat, saudara dan keluarga. Seandainya teks sosial berada di alam bawah sadar sang raja mungkin saja putra mahkota akan diasingkan demi menjaga nama besar kerajaan. Namun apa hendak dikata ketegasan terhadap aturan telah bersatu dalam jiwa sang raja, sehingga putra kesayangannya harus dikorbankan. Cerita itu bukanlah gagah- gagahan, akan tetapi sang raja lebih menaati sebuah konstitusi yang berlaku di kerajaan daripada konsititusi jiwa sendiri. 

2. Faktor Eksternal 

Faktor eksternal adalah faktor luar yang mempengaruhi kebijakan seorang pemimpin bertindak secara profesional dan proporsional. Faktor ini merupakan tekanan dari pihak luar , namun bertalian dengan  jabatan yang diemban Kadang- kadang unsur balas budi menjadi hal yang diperhitungkan. Ada kaum oligarkhi yang berada di belakang sebuah keputusan. 

Kaun ini sering disebut dengan pemodal terhadap raihan sebuah jabatan. Pemodal yang dimaksud bukan semata-mata dukungan dari segi uang, akan tetapi kepentingan oligarki dalam bentuk fee dari jabatan yang dipromosikan. Biasanya seorang pemimpin apabila berhadapan dengan tekanan seperti ini Ia langsung lemas bagai ayam sayur. proses  memberi dan menerima  dalam berbagai situasi menjadikan sebuah kebijakan berubah dalam seketika. 

Selain tekanan oligarki di atas, faktor lain yang tetiba mengubah sebuah kebijakan menjadi kebijaksanaan adalah dampak yang dimunculkan dari keputusan yang diambil. Dampak ini bersentuhan langsung dengan orang-orang  yang punya kepentingan secara langsung. 

Mereka berada dalam berbagai bidang, apakah itu penguasa, tokoh penting, dan orang-orang yang tidak tersentuh oleh hukum. Pada kasus ini seorang pemimpin akan mengalami dilema yang luar biasa dalam bahasa Aceh disebutkan " Lage Boh Limeng Lemiek"  maksudnya seperti buah belimbing yang sudah terlanjur masak. Digeser ke kiri Dia terjepit ke kanan apalagi. Mau bertindak secara profesional, belasan risiko menanti. 

Mencoba mengikuti tekanan yang megatruh Ia takut tsunami posisi akan menggulung jabatan. Intinya kolaborasi profesional dan emosional  yang baik akan melahirkan kebijakan yang bijaksana. Walaupun antara kesenjangan dan harapan muncul menghiasi alur pikir bawahan. 

Sebenarnya ada satu hal lagi yang mempengaruhi sebuah kebijakan dari seorang pemimpin adalah komunikasi dengan bawahan. Komunitas atau mitra tutur dengan bawahan adalah faktor penentu sebuah  kebijakan dan tingkat kepatuhan bagi bawahan. 

Komunikasi ini harus dibangun berdasarkan filosofi demokratis bukan filosofi feodal. Komunitasi demokratis adalah sebuah kesetaraan antara bawahan dan pemimpin. Hal ini sering disebut dengan egaliter. Namun jika ditijau secara etimologi Egaliter adalah sama, tidak ada perbedaan, jadi egaliter adalah persamaan derajat pada setiap manusia. Hak-hak adalah sesuatu yang benar, kewenangan, kekuasaan, untuk melakukan sesuatu karena telah ditentukan oleh undang-undang/peraturan lain.http://repository.radenintan.ac.id/8314/1/SKRIPSI.pdf diakses  9 Juli 2022.  

Dalam penyampaian informasi penting kepada bawahan seorang pemimpin dituntut adanya kesantunan berbahasa yang menunjukkan kesamaan dan kesetaraan antara pemimpin dan bawahan. Kesantunan berbahasa dalam menyampaikan perintah merupakan bayangan karakteristik dari sang pemimpin. 

 Baca Juga: Menulislah Semudah Mengajar di Depan Kela

Dengan menggunakan bahasa  lembut bersahaja dengan pragmatik yang tepat menghadirkan sikap -sikap empati dari bawahan. Sebaliknya, jika pemimpin tidak mengangap  bawahan sebagai mitra kerja, maka akan berakibat fatal bagi seorang pimpinan. Sikap " Muka Licin Ekor Berkudis" akan dipraktikkan oleh bawahan.

Kontes kekinian yang berlangsung dalam filosofi yang dianut adalah filosofi feodal. Filosofi ini adalah terdapat Tuan dan pelayan dalam sebuah instansi. Ini filosofi zaman penjajahan, seorang pemimpin selalu diminta untuk jadi tuan bukan sebagai mitra. 

Hal seperti ini sudah mendarah daging  dalam masyarakat kita hari ini. Pengaruh penjajahan Belanda selama berabad abad telah mengkristal dalam birokrasi Indonesia. Fenomena yang muncul adalah terdapat jurang yang jauh antara pimpinan dan bawahan. Konsep yang dominan " Pemimpin adalah raja sementara bawahan adalah rakyat yang menjadi pelayan"

Simpulan:

Berbagai kebijakan yang keluar dari seorang pemimpin selalu diwarnai oleh profesional dan emosional. Kedua hal tersebut merupakan suatu perpaduan yang mengerucut pada kebijaksanaan. Setiap kebijaksanaan selalu mengundang kontroversi di kalangan bawahan. Hal ini disebabkan adanya' perselingkuhan antara emosional dan profesional dalam menentukan kebijakan. Ke depan kita berharap munculnya pemimpin- pemimpin bijak yang mampu bersikap secara profesional dan proporsional. Wallahuaklambissawab ...


Penulis adalah Pemimpin Redaksi Jurnal Aceh Edukasi, Pengurus IGI Wilayah Aceh dan Guru SMA Negeri 1 Lhokseumawe 












Berita Terkait

Posting Komentar

0 Komentar