Oleh : Mukhlis, S.Pd., M.Pd.
sastrapuna.com - Bapak / Ibu guru hebat yang dibanggakan seluruh Indonesia. Bukankah Bapak/ Ibu adalah ilmu yang berjalan pada setiap ruang kelas tanpa mengenal ruang waktu?
Setiap pagi, bangun cepat menunaikan tugas mulia. Bocah - bocah lugu, polos dan jujur bak kertas kertas putih menanti di pintu kelas. Mereka adalah aset bangsa yang mengharap uluran pikiran, pengetahuan, dan kreativitas Bapak/ Ibu untuk mengantar ke depan pintu gerbang kehidupan yang bermartabat di masa akan datang.
Uluran pikiran dan kreativitas yang Bapak/ Ibu miliki adalah sebuah inovasi pembelajaran yang dirancang secara spesifikasi dengan tujuan mendapatkan indikator yang mantap sesuai dengan anjuran kurikulum. Pertanyaannya adalah apakah pembelajaran yang berlangsung saat ini masih berfungsi sebagai " Transformation of knowledge?"
Secara sederhana ada banyak fungsi yang dimiliki oleh seorang guru, di samping memliki empat kompetensi pokok. Jika masih menganggap bahwa mengajar itu mengirimkan informasi pengetahuan kepada peserta didik. Mengingat potensi peserta didik beragam dan kompleks, maka sang guru harus menyajikan dalam satu rasa bernuansa. Hal ini penting untuk menggugah selera peserta didik dalam menikmati sarapan pengetahuan yang disajikan setiap hari belajar.
Baik, Bapak/Ibu guru hebat yang dibanggakan seluruh Indonesia, sebenarnya ini hanya pengantar saja, penggugah selera Bapak/ Ibu agar mau masuk dalam tulisan ini "Jauh lebih dalam... jauh lebih dalam" Namun, penulis sedang berupaya bagaimana cara menyeret pola pemahaman Bapak/ Ibu ke tujuan dan tema tulisan ini?
Baik, Bapak/ Ibu guru hebat seluruh Indonesia. Setiap pembelajaran yang berlangsung di kelas- kelas hebat selalu mengandalkan sistem belajar guru sebagai pusat pembelajaran. Dengan sistem informasi yang cepat seperti sekarang ini, hal itu dapat diberikan kreativitas, inovasi, dan kolaboratif antara materi dan sistem yang ada.
Sistem yang dimaksud adalah adanya sebuah materi tambahan yang ditulis oleh guru untuk pemahaman lebih lanjut. Materi yang ditulis hendaknya harus menggunakan bahasa guru itu sendiri yang punya karakter khusus. Hal ini sangat dimungkinkan, mengingat rasa cinta yang dimiliki peserta didik terhadap guru idolanya adalah sebuah motivasi intrinsik dalam belajar.
Bukankah sekolah sudah menyediakan buku teks sebagai referensi belajar siswa? Jawabannya betul dan tepat sekali. Sekarang dibalik sasaran pertanyaan itu. Berapa banyak buku yang sudah dibagikan setiap tahun pada proses belajar? Sampai dimana keefektifan buku tersebut bagi peserta didik?
Seandainya Bapak / Ibu hebat mau menulis materi dengan bahasa santai, santun, popular dan bersahaja dalam bentuk apa saja, ok pasti jawaban pertanyaan di atas akan berbeda. Menulis materi dengan gaya khas guru yang mengajar materi menimbulkan daya khayal tinggi terhadap materi yang dipelajari oleh peserta didik.
Ketika peserta didik membaca materi yang ditulis oleh gurunya ada perbedaan yang signifikan. Seolah- olah kelas kedua setelah prosesi berlangsung akan hadir dalam ruang pikir peserta didik. Peserta didik seolah melihat Bapak/ Ibu sedang bercengkrama dengan mereka dalam materi yang sama. Ada komunikasi tersembunyi antara guru sebagai pemateri dan siswa sebagai pembelajar.
Inilah yang dimaksud dengan menyegarkan pembelajaran pada saat refresh belajar. Mengandalkan teori atau konsep orang lain pada saat mengajar sangat tidak elok. Menjadikan diri pribadi sebagai contoh pembelajaran adalah sebuah representasi pemahaman terhadap nilai- nilai keluhuran yang dimiliki guru.
Menulis materi dengan bahasa karakter guru merupakan langkah awal dalam mendekatkan peserta didik dengan pendidik. Deby Potter (2005), pernah memberikan arahan, jika ingin pembelajaran antara peserta didik dan guru itu melekat. "Seorang guru harus masuk dalam dunia peserta didik dan bawa peserta didik masuk dalam dunia pendidik.' Apabila kolaborasi ini melekat kuat, dapat dibayangkan bagaimana proses pembelajaran maju beberapa langkah daripada sekarang ini.
Guru Indonesia adalah guru hebat, lengkap dengan kompetensi dan siap dengan kompetisi yang ditawarkan. Kompetensi yang dimiliki khususnya profesional dan pedagogik adalah sebuah tantangan untuk kompetisi dalam menuliskan materi yang diberikan kepada peserta didik sebagai bahan penunjang.
Bahan ajar penunjang jangan dianggap sepele. Justru melalui bahan penunjanglah peserta didik memberikan nilai plus kepada gurunya. Tantangan menulis materi dengan karakter kepribadian guru harus diasah dan dipupuk pada diri pribadi guru, sehingga akan muncul penulis penulis buku sumber di negeri ini. Perlu dipahami! Membaca tulisan yang ditulis oleh penulis yang dikenal dekat tulisan terasa meresap .
Bapak/Ibu guru hebat yang dibanggakan!
Bukankah mengajar itu punya seni tersendiri? Begitu juga menulis materi. Kecakapan menyajikan materi secara verbal harus (balance) dengan menulis materi pelajaran. Berikan rasa keadilan pada bidang keterampilan yang dimiliki.
Dikotomi terhadap cakap berbicara harus diselaraskan dengan cakap menulis . Dengan kata lain, kecakapan menjelaskan di depan kelas harus sebanding dengan kecakapan berbicara dalam tulisan. Menulis materi ajar semudah menjelaskan konsep pembelajaran di depan kelas.
Bapak/ Ibu yang terhormat, tulisan ini tidak hendak menggurui, namun lebih kepada evaluasi diri sebagai guru. Sebagai penutup , penulis ingin mengunci tulisan ini dengan " Menulislah semudah mengajar di depan kelas"
Penulis adalah Guru SMA Negeri 1 Lhokseumawe dan Pemimpin Redaksi Jurnal Aceh Edukasi
0 Komentar