Alhudri, Sang Nakhoda Pendidikan Aceh Berjiiwa Visioner

 

Alhudri,  Sang Nakhoda Pendidikan Aceh  Berjiiwa Visioner

Oleh : Muklis Puna

sastrapuna.com - Tidak ada maksud, tujuan, dan harapan penulis yang  tersembunyi di balik tulisan ini. Namun, tulisan ini lebih bersifat sebagai testimoni terhadap seorang pemimpin pendidikan yang ada di bumi Serambi Mekah. Selanjutnya, tidak ada juga  hubungan emosional yang kuat antara penulis dengan profil yang akan diulas dalam bentangan tulisan ini. Seandainya ada rasa penasaran dari pembaca , silahkan diusut tentang kedekatan penulis dengan profil yang dijadikan sosok tulisan ini.  Awal mula penulis mengenal sosok yang menjadi nakhoda Pendidikan Aceh saat ini adalah pada kegiatan Musayarah Wilayah  (Muswil) Ikatan Guru Indonesia ( IGI) Wilayah  Aceh. Acara tersebut  berlangsung di Aula Sekdakab Kabupaten Bireuen, Maret 2021. Terdapat jurang yang jauh antara sosok  ini dengan penulis.  Kebetulan pada kegiatan tersebut ada Launching Jurnal “Aceh  Edukasi” IGI Wilayah Aceh. Sebagai Pemimpin Redaksi, penulis diminta oleh Sekretaris Wilayah, Fitiadi Mahmud, M.Pd untuk mendampingi Ketua Wilayah Drs. Imran dalam penyerahan jurnal tersebut secara simbolis.

Penulis merasa tersanjung  ketika kesempatan ini diberikan. Tidak ada hal  yang spesial pada momen tersebut . Penulis hanya berfungsi sebagai pembawa baki yang berisi Jurnal  “Aceh Edukasi”  edisi pertama untuk diambil oleh Ketua Wilayah IGI Aceh lalu diserahkan secara simbolis kepada Sang Nakhoda Pendidikan Aceh. Dalam momen tersebut tidak ada komunikasi secara spesial, namun penulis mendapat kesempatan untuk  bertatap muka tanpa komunikasi verbal. Keadaan berlangsung khidmat, maklum ini  termasuk acara resmi yang sudah disiapkan dengan mantap oleh laskar Ikatan Guru Inodonesia (IGI)  Kabupaten Bireuen. 

Selepas itu, hanya menjadi kenangan dalam hidup penulis, bahwa selama hidup penulis pernah bertatapan langsung dengan orang nomor satu  di Dinas Pendidikan Aceh. Setelah sambutan yang disampaikan tentang pembukaan Musyawarah Wilayah (Muswil)  IGI Wilayah Aceh, penulis bertugas kembali seperti biasa sebagai guru yang mengabdi dalam dunia pendidikan. 

Waktu terus berputar, rutinitas sebagai guru tetap berlanjut.Tes perekrutan guru inti dalam rangka menyambut kesiapan siswa kelas XII SMA/ SMK dalam  meningkatkan kompetensi lulusan tembus Ujian  Tulis Berbasis Komputer  (UTBK)  pada perguruan tinggi negeri di tingkat Nasional. Tes ini diikuti oleh guru – guru pada  berbagai disiplin mata pelajaran dalan dunia pendidikan yang ada di  Aceh. Setelah direkrut melalui tes yang sangat objektif, terpilihlah guru guru hebat untuk ditraining kembali dan dijadikan trainer pada guru imbas di seluruh Kabupaten/ Kota  di  Aceh. 

Kebetulan penulis dipercayakan sebagai salah satu trainer dalam kegiatan tersebut.  Sebagai trainer yang ditunjuk tentu harus mengikuti pembukaan secara resmi yang dibuka secara langsung oleh Kepala Dinas Pendidikan Aceh Bermula dari pembukaan tersebutlah,  penulis mengenal  visi dan misi beliau dalam menakhodai sebuah kapal  besar yang memuat para pemangku berbagai disiplin ilmu yang  mendedikasi dirinya  untuk masa depan bangsa.  Setiap narasi yang dibangun dalam berbicara mengandung ketulusan yang amat dalam. Gerilya pendidikan yang telah dilakukan di seantero  Aceh tersimpan rapi dan apik di memorinya. Pada usia separuh baya, masih mencerminkan sebuah sprit dan motivasi  dalam membangun pendidikan Aceh  ke arah yang lebih bermartabat. Terlepas dari kontroversi yang ada, di tangan beliaulah kualitas Pendidikan Aceh bisa bertengger pada posisi nomor 10 nasional untuk  lulusan SMA/ SMK diterima pada Seleksi Bersama Masuk Perguruan tinggi Negeri (SBMPTN). Posisi ini telah mengeserkan paradigma berpikir tentang kualitas pendidikan dalam masyarakat Aceh yang selama ini dipandang sebelah mata. 

Sebenarnya kalau dilihat dari segi  bagraund pendidikan, Beliau agak jauh daengan ranah ilmu pendidikan.  Alumni Program pascasarjana jurusan manajemen  ini rupanya pernah menjabat sebagai Kepala Dinas Sosial yang ada di Aceh. Mungkin, Putra Aceh kelahiran  Aceh Tengah, 12 November 1967 ini   sering melihat bagaimana kondisi kehidupan sosial masyarakat Aceh.  Beliau beranggapan bahwa hanya dengan pendidikan, strata sosial dan kemiskinan di Bumi Serqmbi Mekah bisa terangkat.  Setiap gerilya pendidikan yang dilakukan selalu dijadikan momentum evaluasi dalam membangun dunia pendidikan. Anehnya, setiap guru yang ditanyakan di mana lokasi ia mengajar, sang nakhoda ini dengan mudah mendeskripsikan secara detail kondisi geografis, keadaan sekolah, dan sarana dan prasarana yang dimiliki.  Sandiwara yang dilakonkan  oleh para pengemban kebijakan pada tingkat sekolahpun selalu  dipahami secara tepat. 

Sang nakhoda ini punya ciri unik menurut penulis, di samping cepat akrab dengan guru dan kepala sekolah, beliau juga sangat ramah dalam menyapa setiap guru yang hadir.  Dari dua pembukaan yang penulis ikuti, beliau selalu menempatkan waktu luang untuk ngopi bersama guru yang hadir. Obrolannya santai bersahaja, namun tetap pada visi  membangun negeri dari segi pendidikan. Gaya  berbicara agak cepat dan sistematis, alur pikirnya begitu tertata. Kadang - kadang alat ucapnya hampir tak sanggup menampung  derasnya aliran pikiran yang keluar dari otaknya. Setiap ide yang ditawarkan selalu jitu dan berkenaan dengan content pendidikan hari ini. 

Suatu hari, pada saat pembukaan kegiatan pelatihan training untuk guru Inti UTBK Se-Aceh., penulis terkesima melihat gaya kepemimpinan seorang Kepala Dinas Pendidikan  yang begitu bersahaja. Pakaiannya  sangat sederhana tidak seperti layaknya kepala dinas lain di zaman now. Cara bicaranya  apik diselingi dengan joki -joki yang memikat. Setiap guru yang ditanyakan lokasi sekolah selalu ingat tentang kelebihan dan kekurangan pada saat kunjungan berlasung. 

Kegiatan demi kegiatan terus berlangsung selama sepuluh hari  penulis berada di ibukota provinsi. Ketika   pada penutupan Lomba Literasi Siswa Anak Berkebutuhan Khusus  ( ABK) di Hotel Grand Aceh Syariah, Dewan Juri dari Satgas Literasi Ikatan Guru Indonesia ( IGI) menyampaikan pengumuman lomba. Posisi sang nahkoda berada paling depan di antara tetamu dan undangan yang hadir. Berserta sejumlah perangkat Dinas Pendidikan yang hadir, suasana tampak akrab dan bersahaja. Dari samping penulis mengintip sampai ke  relung bola mata yang yang dimiliki. Satu persatu para jawara dari peserta lomba dipersilahkan menuju pentas. Persetta juara lomba bidang cipta dan baca puisi dipersilahkan untuk menunjukkan kebolehan sebagai jawara. Puisi yang ditulis berkaitan langsung dengan kondisi fisik Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Puisi itu dibaca begitu mengena membuat sang nakhoda pendidikan itu terenyuh.  Dari samping tempat duduk penulis kelihatan matanya berkaca-kaca. Tanganya  digerakkan pelan mengambil tisue yang parkir di atas meja . Matanya kelihatan sembab, bulir - bulir mulai turun perlahan bagai hujan menunggu angin  menghembus membawa mendung di atas kepala. 

Dadanya terasa sesak, laba-laba menganyam sarang di tenggorokan, sehingga suaranya sangkut di langit- langit. Setelah puisi jawara selesai dibaca, tiba -tiba tanpa komando Dia melangkah pasti menjemput sang juara turun dari pentas. Kelihatan sekali sebuah ketulusan yang membungkus dirinya. Diraihnya tangan mungil sang jawara dengan penuh lembut dan kasih, lalu diantar ke tempat duduk semula.  Ada sebuah spirit yang memburat dari wajah sang jawara. Wajahnya ceria perasaannya seperti diaduk- aduk. Seolah Ia membatin " Baru kali ini sebuah kekurangan yang dimiliki dihargai oleh  jiwa kebapakan yang luar biasa"

Setelah jawara baca puisi turun dari pentas kegiatan. Giliran jawara bidang lomba mendongeng yang menunjukkan kebolehan dalam bercerita. Dari segi fisik anak yang baru berusia 10 tahun itu  memang memiliki kekurangan. Jalannya harus dipapah sama orang tuanya. Cara berbicara terputus-putus, napasnya terengah -engah. Melihat penampilannya, awalnya sangat menguatirkan. Semua penonton urut dada menyaksikan sebuah kelebihan yang disimpan sang pencipta di balik sebuah kekurangan. Dia membawakan cerita tentang kehidupan keluarga sehari- hari. Ceritanya begitu tertata walaupun terbata- bata.  Penonton dan para pejabat termasuk sang Nakhoda Dinas Pendidikan Aceh itu  sudah masuk dalam cerita, penulis tetap tak bergeming. Perhatian penulis selalu tertuju pada Nakhoda Pendidikan Aceh. Kelihatan ia tak berdaya. Seperti terpasak di atas kursi,tanganya sebentar - bentar merengkuh tisue membersihkan bulir-bulir bening yang mengalir deras di sudut matanya. Sesekali dia membantu sang jawara menyampaikan cerita yang kadang terputus. Seisi ruangan terdiam dan lesu, hanya kekaguman  yang berbicara dalam masing-masing benak penonton. Ketika intonasi ditinggikan menandakan klimaksnya cerita, suara tepuk tangan bercampur haru menyeruak dalam ruang.

Sang Nakhoda Pendidikan Aceh itu semakin terpuruk dalam kesedihan, matanya tertuju pada sang jawara. Setelah sang juara selesai mendongeng, Ia langsung menuju pentas lalu menggendong dengan penuh rasa. Aliran air mata semakin deras. Dibukanya kaca mata lalu dibersihkan dengan tisue yang diantar panitia. Dadanya  pengab, nada bicaranya   gemetar. Sambil menggemdong sang juara menuju tempat duduk, Ia berkata" Luar Biasa"

Ketika menyampaikan pidato penutupan,sang nakhoda berkata, “Hari ini saya tidak mau menggunakan konsep pidato yang telah disiapkan,  mohon maaf Bapak/ Ibu” Dalam sambutannya tampak sebuah kejujuran dari sang nakhoda. Seorang Kepala Dinas yang dikenal garang dan bergaya koboi  itu ternyata tak mampu berkata apa -apa ketika ranah kemanusiaanya disentuh. Penulis melihat ada sebuah harapan yang tergambar dari bahasa tubuh yang tampak.  Alangkah bahagianya Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) jika banyak lagi sang nakhoda pendidikan yang punya empati dan simpati khusus terhadap Sekolah Luar Biasa ( SLB)

Inilah sekelumit kisah unik dari seorang Nakhoda Pendidikan Aceh yang pernah penulis lihat walaupun secara langsung beliau tidak mengenal secara dekat dengan penulis. Namun yakinlah tidak ada sesuatu harapan dan tujuan dari penulis terhadap isi tulisan ini. Sebagai penutup penulis ingin menyampaikan sebuah simpulan pendek bahwa tidak semua orang yang berlatar belakang pendidikan mampu mengelola pendidikan. Namun yang dibutuhkan dalam mengelola pendidikan adalah bagaimana seseorang punya manajemen dan manajerial yang baik. Buktinya sang Nakhoda Pendidikan Aceh ini yang tidak punya baground pendidikan, namun beliau mampu memenej pendidikan. Di tangan sang nakhoda inilah kualitas pendidikan Aceh mulai mengeliat di tingkat Nasional. 

Penulis adalah Pemimpin Redaksi Jurnal “Aceh Edukasi”, Pengurus  Ikatan Guru Indonesia  (IGI) Wilayah Aceh  Divisi Literasi , dan Guru SMA N 1 Lhokseumawe








Berita Terkait

Posting Komentar

8 Komentar

  1. Subhanallah... dari hati turun ke hati dalam berinteraksi... Salam dan doa sukses selalu untuk dunia pendidikan di Aceh.

    BalasHapus
  2. Alhamdulillah semoga pendidikan Aceh ke depan lebih baik. Salam literasi mas Eki

    BalasHapus
  3. Salut Master, atas tulisannya 👍

    BalasHapus
  4. Semoga di tangan sang nahkoda ini, pendidikan Aceh menemukan kejayaan..keren tulisannya pak Mukhlis.. 👍🏻

    BalasHapus