Oleh: Muklis Puna
Serambi Mekah semakin berkecamuk, tubuhnya tercabik-cabik, darah mengalir dimana- mana. Lantunan merdu suara azan digantikan dengan desingan peluru. Perayaan tahun baru dengan letusan mesiu saban malam menghiasi langit Serambi Mekah. Pihak- pihak bertikai gesit mencari sasran. Kepercayaan hilang pada wajah- wajah lusuh.
Mereka saling sikat dan sikut siapa saja yang melawan haluan. Jalan raya semakin rinbun. Pohon- pohon mendengkur di jalan. Kecurigaan meracuni udara mengambang di atas rumah -rumah warga. Kegiatan warga diukur dari waktu busuran matahari dan senja adalah batas sebuah cengkrama antara satu individu dengan lainnya.
Malam- malam lengang, hanya sendawa binatang malam terdengar sayup - sayup menggelayut di telinga. Para serdadu yang terlibat pertikaian mengendap dalam belukar rumah warga menggasak sasaran. Kehidupan terjepit, kebun-kebun penuh sesak ilalang menjalar menutupi jalanan. Binatang liar berbiak -biak bebas tanpa buruan.Sore itu, matahari menguapkan kehangatan, cahayanya patah- patah di rimbunan dedaunan. Mus dengan baju dinas kumal sedang asyik bercanda dengan warna mobil pesanan empunya.
Tiba- tiba angin gunung membisikkan isu kedatangan serdadu pemerintah yang masuk ke kota kecil melewati gunung dan lembah. Mendengar isu tersebut, Mus mulai risih dan risau bercampur gelisah. Kebiasaan yang berlangsung di kehidupan sebelumnya, setiap pasukan Serdadu milik pemerintah menjambangi warga. Sudah dapat ditebak akan ada nyanyian peluru di udara diiringi seruling meriam yang memecahkan gendang telinga. Bom waktu yang ditamnam berbulan bulan sudah siap menunggu ditarik tali pemicu oleh sang tuannya.
Mus mencoba bertahan dalam kekalutan. Pikirannya memutarkan haluan pada hal - hal yang berisi risiko yang harus diterima. Sambil merapikan dempul plastik yang menggigit pada bagian sayap motor Vespa merek Piaggio milik seorang panglima gerilyawan yang ditiip dua hari yang lalu.
Informasi kedatangan serdadu pemerintah berkebang begitu cepat dan liar, hingga menyerempet ke telinga para gerilyawan. Melihat kondisi yang tak berpihak, mereka terus pindah posisi ke arah lebih nyaman sambil melakukan siasat untuk menyerang.. Warga ditinggalkan begitu saja dengan resiko tingkat dewa.
Dalam sekejap mata, saat Mus sedang menyusun lamunan mencari cara untuk menjawab segala pertanyaan yang bakal diajukan tentang usaha bengkel yang dirintis sejak 3 tahun lalu. Tiba tiba segerombolan pasukan lengkap dengan ransel 30 kilogram menumpuk dipunggung dan senjata laras panjang dipangkuan siap siaga menyalalak.
Bola mata para serdadu liar bagai singa kelaparan memantau gerombolan rusa di padang datar. Orang-orang mengulum resah, setiap dada berdegup, gelombang pasang mengundang kekalutan. Matahari terus menjalar melipat waktu, Mus dan orang -orang kampung terus merajut rutinitas walau kecemasan menyerang setiap alur pikir. * Bersambung
0 Komentar