Oleh: Muklis Puna
Air mata tersumbat!
Mata air muntah!
Lihatlah, kota-kota sedang menenggak tuba
Banjir bandang naik, liar menjilat langit-langit kamar!
Di jalanan, mobil-mobil jadi bangkai mainan
Timbul tenggelam tanpa daya
Dicuci massal oleh dosa
Diusir paksa dari garasi mewah
Hanyut menjadi sampah di sungai-sungai yang marah!
Bantaran kali meludah!
Ia semburkan arus, ia hantamkan riam
Rumah-rumah dipaksa berlutut,
Dicuci hingga ke atap
Direndam berhari-hari dalam kubangan masa
Manusia berlarian!
Tercirit-birit mencari selamat
Menggigil di bukit, gemetar di menara
Tanpa selimut, hanya berbaju angin malam.
Hujan telah kehilangan takaran!
Langit bocor tak seimbang
Ditambang airnya,
Ditumpahkan ke perkampungan
Kota ' kota sedang berkabung,
Saudaraku!
Lihat ibu-ibu itu!
Membopong bayi di atas kepala
Mengarungi lautan aspal yang berubah menjadi rawa!
Ah, begitu sering bandang ini bertandang
Datang berulang pada daur waktu yang jalang!
Wahai Saudaraku yang bermandi duka
Dengarlah!
Bandang ini bukan sekadar air
Bandang ini adalah tanda!
Tanda kita telah memperkosa siklus Tuhan
Tanda bumi muak dan memilih menjauh
Tanda Tuhan sedang menarik batas tegas!
Wahai Saudaraku...
Yang kuyup dalam banjir air mata
Tak ada harta yang bisa kutawarkan
Selain sabar dan tawakal yang gemetar
Sebab aku,
Dan negeri kita yang luka ini
Adalah
satu tubuh yang sama-sama basah
di dalam duka.
Lhokseumawe, 27 November 2025
0 Komentar