Nasib Guru di Tengah Badai Perubahan Karakter Generasi Milenial

 

Foto: Dokumen Pribadi

Oleh Mukhlis, S.Pd., M.Pd

Pembangunan sumber daya manusia, pilar kemajuan sebuah bangsa, sangat bergantung pada profesi guru. Di Indonesia, makna profesi ini kerap dimaknai secara universal. Siapa pun yang pernah mengajar, di mana pun, kepada siapa pun, sering kali disebut "guru". Pemahaman ini seringkali mengabaikan latar belakang disiplin ilmu atau metode pengajaran yang sistematis. 

Intinya, setiap transfer ilmu, walau tak terstruktur, sering langsung dianggap sebagai aktivitas keguruan. Mengutip perkataan Sayyidina Ali, sahabat Rasulullah SAW, "Seandainya ada yang mau mengajarkan aku satu huruf saja, aku rela jadi budaknya." Ungkapan ini merefleksikan betapa luhurnya kedudukan seorang pengajar dalam tradisi keilmuan. Namun, dalam peradaban pendidikan yang kian deras dihantam gelombang informasi, apakah posisi guru masih sesentral itu?

Kita tinggalkan sejenak pengantar filosofis tersebut dan beralih pada definisi yang lebih formal. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen secara eksplisit menyatakan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. 

Guru dalam konteks ini adalah individu, baik Pegawai Negeri Sipil (PNS) maupun non-PNS, yang memiliki kualifikasi pendidikan minimal S1 atau S2, serta sertifikat pendidik (sebelumnya Akta IV) sebagai bukti penguasaan empat kompetensi utama: profesional, pedagogik, sosial, dan kepribadian.

Tantangan di Era Milenial,  Ketika Otoritas Guru Dipertanyakan

Permasalahan yang kini menguras energi para pakar pendidikan adalah nasib guru yang perlahan tergerus oleh arus perubahan karakter siswa. Ingatan kita mungkin masih segar akan kasus tragis yang menimpa almarhum Achmad Budi Cahyanto (Tahun 2018), seorang guru Seni Rupa di Sampang, Madura

Ia harus kehilangan nyawa hanya karena mencoret wajah siswanya yang tertidur di kelas. Tragedi ini bukan hanya menorehkan duka mendalam bagi dunia pendidikan, tetapi juga membuat wajah guru Indonesia merunduk, meradang dalam duka yang tak berkesudahan. Pengorbanan tanpa pamrih seolah diganjar dengan nasib yang tidak berpihak.

Pemerhati hak asasi manusia, dalam beberapa kasus, cenderung bungkam atau bahkan mengedepankan hak siswa secara mutlak, seolah memanjakan mereka tanpa mempertimbangkan kompleksitas situasi. Hukum pun kerap tak mampu menjerat siswa dalam kasus-kasus serupa, dengan alasan klise usia yang belum cukup untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya sebagai terdakwa. 

Kasus demi kasus yang bertubi-tubi datang dan menghimpit membuat profesi guru semakin terpojok. Pertanyaan besar yang kini menggelayuti pikiran para guru adalah,  ke mana dan di mana perlindungan bagi mereka? Pertanyaan ini mungkin tidak membutuhkan jawaban segera, namun sengaja diajukan sebagai sentilan untuk merenung. Harus diakui, mengajar pada generasi milenial merupakan tantangan terbesar yang harus dihadapi para pendidik saat ini.

Menghadapi generasi yang tumbuh dalam pusaran Revolusi Industri 4.0, guru dituntut untuk tidak hanya profesional dan memahami pedagogi, tetapi juga memiliki kepribadian sebagai teladan, serta jiwa sosial sebagai makhluk bermasyarakat. Generasi milenial, dengan karakternya yang kompleks dan multiperubahan, ditempa dari berbagai sisi. 

Otak mereka diproses oleh informasi yang didapatkan secara instan. Apa pun yang sebelumnya dianggap sulit, kini terasa mudah. Informasi berkembang pesat, semua dilahap tanpa jeda. Gawai pintar telah menculik mereka dalam berbagai versi realitas. Wajar jika karakter mereka berubah dalam berbagai dimensi. Bagi mereka, guru bukan lagi satu-satunya sumber ilmu, melainkan salah satu dari sekian banyak sumber belajar yang tersedia. Hal ini sejalan dengan pandangan Mulayasa (2007) yang menyatakan bahwa guru adalah salah satu sumber belajar.

Urgensi Perlindungan dan Apresiasi, Mengembalikan Marwah Profesi Guru

Perubahan karakter siswa ini semakin deras menjelang Generasi Emas Tahun 2035, ketika Indonesia digadang-gadang mencapai puncak kejayaan 100 tahun kemerdekaannya. Kembali pada masalah utama yang menjadi sorotan tulisan ini, mengajar pada generasi milenial yang terpolarisasi arus globalisasi menuntut guru untuk tampil excellent di tengah suasana kelas berbasis teknologi. 

Mendidik, melatih, dan mengajar generasi yang mengalami perubahan karakter ekstrem ini, guru harus benar-benar "menjadi guru" dalam arti sesungguhnya. Mengingat, selama ini tidak sedikit siswa dan bahkan orang tua melakukan pelecehan terhadap guru. Di sisi lain, guru seolah tidak berada dalam satu paguyuban yang solid untuk saling mendukung dan melindungi.

Undang-undang perlindungan guru yang ada, nampaknya belum dapat dijadikan tameng yang kokoh ketika masalah melilit para pengajar. Media sosial dan media mainstream hampir setiap saat menyiarkan perlakuan tidak pantas siswa terhadap guru. Para pengambil kebijakan terkesan tidak terlalu ambil pusing terhadap kasus-kasus yang mendera guru saat ini. Kadang, kasus itu dianggap biasa saja, baru menjadi perhatian ketika viral di media massa dan membuat publik tercengang. Barulah satu atau dua organisasi paguyuban mulai bersuara membela para guru. 

Fenomena dunia pendidikan hari ini adalah pemerintah cenderung tidak pernah melakukan tindakan pencegahan, melainkan baru fokus pada penanganan setelah masalah muncul, sehingga situasi menjadi liar dan sulit diselesaikan. Hampir semua insiden yang menimpa guru bermula dari masalah sederhana dan sepele. Seandainya boleh meminta, mungkin para guru akan berucap, "Borgol saja tangan ini ketika berada di dalam kelas!" Sedemikian takutnya guru, jika berbicara tentang tindakan yang diberikan kepada siswa.

Dunia pendidikan kini seperti dicurigai oleh berbagai lembaga. Mereka bersemayam dalam benak orang tua siswa yang sigap jika menemukan kesalahan guru. Mereka tidak segan-segan "menghukum" guru sebagai bentuk pembalasan atas perlakuan yang dianggap kurang tepat kepada siswa. 

Sementara itu, posisi guru sering kali tidak memiliki kepastian hukum yang jelas. Aturan tetap saja tertulis pada lembaran bertabur pasal, sosialisasi digaungkan ke seantero jagat pendidikan, namun guru tetap saja menjadi tumbal kegagalan pembangunan karakter bangsa.

Penutup

Masa depan bangsa sangat bergantung pada kualitas pendidikan, dan kualitas pendidikan berbanding lurus dengan kesejahteraan serta perlindungan guru. Penting bagi semua pihak, mulai dari pemerintah, orang tua, masyarakat, hingga siswa itu sendiri, untuk meninjau kembali bagaimana kita memperlakukan dan menghargai profesi guru. 

Tanpa dukungan dan perlindungan yang memadai, semangat para pahlawan tanpa tanda jasa ini bisa terus terkikis, dan dampaknya akan terasa pada kualitas generasi penerus bangsa. Sudah saatnya kita bergerak bersama, tidak hanya untuk melindungi guru, tetapi juga mengembalikan marwah profesi yang begitu mulia ini di tengah badai perubahan zaman.

Penulis adalah Mahasiswa Program Doktoral Progarm Studi Islam UINSUNA dan Guru SMA N1 Lhokseumawe



Berita Terkait

Posting Komentar

0 Komentar