Membangun Karakter Bangsa dari Ruang Kelas, Revitalisasi Peran Pendidikan Formal dan Bahasa Indonesia

 

  Foto: Dokumen  Pribadi

 Oleh: Mukhlis, S.Pd., M.Pd

Pendidikan formal, sejatinya, adalah sebuah lokomotif peradaban. Ia bukan sekadar deretan kelas dan mata pelajaran. Ini melainkan sebuah orkestra sistematis dan berjenjang yang bertujuan tunggal, yaitu melahirkan transformasi fundamental pada diri setiap individu yang terlibat. 

Transformasi ini meliputi perubahan sikap, perilaku, dan pola pikir, yang secara kumulatif diharapkan akan membentuk warga negara yang berkarakter kokoh, sejalan dengan cita-cita luhur pendidikan nasional.

Perubahan sikap yang menjadi target utama adalah menumbuhkan jiwa-jiwa peserta didik yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga matang secara emosional dan spiritual. 

Karakter-karakter ini, yang sering kita sebut sebagai "profil pelajar Pancasila", termaktub dalam tujuan pendidikan secara menyeluruh. 

Melalui proses pembelajaran yang mendalam, sikap yang dihasilkan meliputi kemampuan untuk bertingkah laku yang baik, memahami dan menghargai perbedaan, serta menjunjung tinggi nilai-nilai universal yang terkandung dalam setiap materi pelajaran. 

Nilai-nilai ini melampaui sebatas hafalan,  ia mencakup moralitas, kekayaan budaya, esensi pendidikan itu sendiri, dan dimensi religius, yang semuanya harus mampu diinterpretasikan dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Selanjutnya, proses belajar yang dirancang secara sistemik juga diharapkan mampu menelurkan perilaku atau etika luhur dari setiap peserta didik. 

Etika, dalam konteks pendidikan, bukanlah sesuatu yang bisa diajarkan secara verbal semata, melainkan harus diwujudkan melalui teladan. 

Dalam dunia pendidikan Indonesia, adagium "Guru harus digugu dan ditiru" bukanlah sekadar slogan kosong. Ia adalah manifestasi  yang menegaskan bahwa perilaku yang diperlihatkan oleh seorang guru adalah cermin yang akan direfleksikan oleh para pembelajar. 

Belajar, dalam makna yang sesungguhnya, tidak hanya berkutat pada upaya menghafal konsep-konsep pengetahuan. 

llAkan tetapi.  lebih jauh dari itu konsep-konsep tersebut haruslah meresap dan berdampak positif pada perilaku peserta didik. Inilah inti dari pendidikan karakter yang berkelanjutan.

Mengubah alur pikir dari yang semula gelap menjadi terang, dari tidak tahu menjadi tahu, adalah mahakarya yang hanya bisa dicapai melalui proses belajar mengajar yang terencana. 

Mengubah pola pikir seorang peserta didik bukanlah sulap, bukan pula sebuah instan yang bisa disajikan dalam sekejap. 

Sebaliknya, ia adalah serangkaian rencana yang tersusun rapi, diajarkan dalam rentang waktu yang telah ditentukan, dengan metodologi yang tepat dan berkelanjutan. 

Untuk mengaplikasikan rencana pembelajaran yang merupakan representasi nyata dari tujuan pendidikan, guru, sebagai agen perubahan utama di garda terdepan pendidikan, harus mengikuti garis-garis besar yang telah ditetapkan oleh kurikulum dan standar pendidikan. 

Kualifikasi pendidikan yang sesuai dengan mata pelajaran yang diampu, kompetensi pedagogik, hingga kemampuan beradaptasi dengan dinamika zaman, termasuk di antara sederet syarat yang harus dipenuhi oleh seorang pendidik. 

Tanpa kualifikasi dan kompetensi yang memadai, sulit bagi guru untuk menjadi teladan dan fasilitator yang efektif.

Dewasa ini, karakter peserta didik dihadapkan pada arus deras perubahan dan pengaruh dari berbagai dimensi. 

pSekolah, sebagai lembaga formal yang memegang mandat representatif terhadap pembentukan karakter peserta didik, harus menjadi sorotan utama dalam agenda pembangunan bangsa. 

Pertanyaan krusialnya adalah, mengapa sekolah harus dijadikan sebagai ujung tombak dalam pembentukan karakter bangsa? Jawabannya terletak pada fakta bahwa di sekolah, terdapat sebuah ekosistem pembelajaran yang secara inheren mampu merealisasikan semua konsep kebangsaan sebagai upaya konkret dalam membentuk karakter peserta didik. 

Setiap mata pelajaran yang disajikan, mulai dari ilmu pasti hingga ilmu sosial, dari seni hingga olahraga, semuanya mengarah pada pembentukan sikap, tingkah laku, dan pola pikir ke arah yang lebih baik dan lebih konstruktif. 

Sekolah adalah laboratorium karakter, tempat di mana nilai-nilai Pancasila diinternalisasi, kemandirian dipupuk, dan kecakapan berinteraksi sosial diasah.

Hampir setiap hari, dalam satu dasawarsa ke belakang, media cetak dan elektronik selalu saja menghidangkan berita-berita tentang kebobrokan karakter generasi muda kita. Mulai dari kasus perundungan, kenakalan remaja, minimnya etika di ruang publik, hingga berbagai bentuk anarkisme yang mencoreng wajah pendidikan. 

Fenomena ini, yang seringkali memicu keprihatinan kolektif, hanya dapat diubah secara fundamental melalui proses pembelajaran yang telah disusun secara sistematis dalam kurikulum dan diturunkan melalui berbagai mata pelajaran. 

Di antara sekian banyak mata pelajaran, salah satu yang dianggap memiliki potensi besar untuk membentuk jiwa-jiwa nasionalisme, menumbuhkan perilaku baik, dan menanamkan nilai-nilai luhur yang ada dalam khasanah bangsa adalah mata pelajaran Bahasa Indonesia.

Paradoks Pembelajaran Bahasa Indonesia: Antara Potensi dan Realitas

Ironisnya, amatan penulis selama ini menunjukkan bahwa pembelajaran Bahasa Indonesia di beberapa institusi, seperti di SMA Negeri 1 Lhokseumawe, seringkali berlangsung secara stagnan atau "jalan di tempat". 

Guru cenderung terlalu fokus pada penanaman konsep yang ada dalam materi pelajaran, terkungkung dalam batasan-batasan teks dalam buku paket yang disediakan.  

Upaya-upaya untuk "keluar dari teks menuju konteks" yang sesungguhnya, yang mampu menghubungkan materi pelajaran dengan realitas kehidupan sehari-hari peserta didik, sangat jarang dilakukan. Keterkaitan materi dengan lingkungan sekitar, yang sejatinya mampu menciptakan karakter peserta didik yang adaptif dan relevan, seolah terabaikan. 

Teknik mengajar yang dominan pun masih banyak bersifat konvensional. Guru masih sering menempatkan diri sebagai "transformer", yakni individu yang mentransfer pengetahuan (transformation of knowledge), bukan sebagai fasilitator yang menginspirasi eksplorasi.

Lebih jauh lagi, guru masih sering dianggap sebagai satu-satunya media belajar, bukan salah satu dari beragam media. Paradigma ini menciptakan dikotomi dalam proses belajar, di mana inisiatif dan eksplorasi peserta didik menjadi terhambat.

Ketika guru memegang kendali penuh dan dianggap sebagai sumber tunggal kebenaran, maka peran fundamental guru sebagai pembimbing, pembina, dan pelatih justru seringkali terlupakan. 

Model pembelajaran konvensional semacam ini telah menimbulkan dampak serius: pembelajaran menjadi terlalu berpusat pada guru (teacher-centered). Akibatnya, eksplorasi diri peserta didik, pengembangan potensi individu, dan pembentukan karakter yang mandiri mulai jauh dari tujuan utama belajar yang sebenarnya. Ini adalah sebuah anomali yang harus segera diatasi.

Padahal, mata pelajaran Bahasa Indonesia adalah salah satu mata pelajaran "penghela" di antara mata pelajaran lainnya. 

Di samping berfungsi sebagai bahasa nasional yang mempersatukan, bahasa pengantar dalam berbagai sektor, dan bahasa persatuan yang menjadi perekat keberagaman di Indonesia, mata pelajaran Bahasa Indonesia juga menyajikan materi tentang sastra. 

Walaupun materi sastra ini diajarkan secara terintegrasi, dampak sinergis antara materi bahasa dan sastra merupakan salah satu konsep utama dalam pembentukan karakter bangsa yang utuh. 

Materi sastra, dengan segala kekayaan narasi, puisi, dan dramanya, banyak mengandung nilai-nilai luhur, kearifan lokal, dan pemahaman mendalam tentang kemanusiaan yang disajikan melalui teks sastra. 

Untuk mewujudkan potensi ini, mata pelajaran Bahasa Indonesia sangat cocok dijadikan sebagai solusi strategis. Mengingat begitu kompleksnya potensi mata pelajaran ini dalam merealisasikan hal-hal fundamental dalam pembentukan karakter, sudah saatnya kita melihat Bahasa Indonesia bukan hanya sebagai pelajaran bahasa, tetapi sebagai pilar pembentuk jati diri.

Mengarahkan Pendidikan Bahasa Indonesia ke Era Berpikir Tingkat Tinggi

Selanjutnya, solusi kedua yang tak kalah krusial adalah mengadopsi dan mengimplementasikan pembelajaran Bahasa Indonesia yang berbasis Higher Order Thinking (HOT). Pendekatan ini mampu menciptakan pola pikir para peserta didik ke arah yang lebih maju, kritis, dan analitis. 

Melalui pembelajaran Bahasa Indonesia yang berbasis HOT, kita dapat menumbuhkan karakter berpikir yang berada pada tataran pemahaman mendalam, penalaran logis, dan aplikasi kontekstual. Pada taraf pemahaman, karakter peserta didik dapat terbentuk dengan matang. 

Meskipun berada pada tahap pertama, pembelajaran berbasis pemahaman yang kuat dapat menanamkan nilai-nilai budaya, moral, religi, dan pendidikan dari konsep-konsep yang dipelajari di tingkat sekolah, sehingga mereka tidak hanya menghafal, tetapi juga menghayati.

Pembelajaran berbasis Higher Order Thinking (HOT) pada tahap penalaran berarti pembelajaran dilakukan pada tingkat yang mengaktifkan pola berpikir secara logis dan sistematis. Dalam model pembelajaran seperti ini, peserta didik didorong untuk menggali lebih dalam, menganalisis, dan mengaitkan materi pelajaran dengan berbagai aspek kehidupan sehari-hari mereka. 

Kemampuan komparatif antara konsep teoritis dan kehidupan nyata ini secara signifikan dapat meningkatkan daya pikir peserta didik secara logis dan kritis. Artinya, materi pelajaran menjadi lebih kontekstual, lebih mudah teraplikasi, dan lebih bermakna dalam kehidupan peserta didik. Mereka tidak hanya melihat buku sebagai sumber pengetahuan, tetapi juga dunia di sekitar mereka.


Penutup

Terakhir, pembelajaran berbasis Higher Order Thinking (HOT) pada tahap ketiga adalah pembelajaran yang bersifat aplikatif. Pembelajaran ini memiliki tujuan mulia: agar peserta didik dapat mengaplikasikan semua konsep, prosedur, dan bahkan metakognitif yang telah mereka kuasai dalam wujud keterampilan praktis atau soft skill

Keterampilan ini yang pada gilirannya mampu menumbuhkembangkan karakter peserta didik secara holistik. 

Pembelajaran yang menuntut adanya keahlian mencipta dan menghasilkan produk dari konsep-konsep yang telah dipelajari, dalam bentuk kreativitas yang bermanfaat bagi kehidupan mereka dan masyarakat di kemudian hari, adalah puncak dari proses pendidikan.

Pembelajaran berbasis Higher Order Thinking (HOT) pada tahap aplikatif ini diharapkan dapat menghasilkan karya-karya hebat yang tidak hanya inovatif tetapi juga bermanfaat bagi bangsa dan negara. Tentunya, karya-karya yang dihasilkan haruslah mempunyai nilai kearifan lokal yang kuat dan bernilai luhur, mencerminkan identitas kebangsaan yang kokoh. 

Pendidikan formal, khususnya melalui mata pelajaran Bahasa Indonesia yang dikemas secara transformatif dan berbasis HOT, bukan hanya sekadar sarana transfer ilmu, melainkan sebuah wahana strategis untuk mencetak generasi penerus yang berkarakter, berbudaya, dan berdaya saing global, namun tetap berakar kuat pada nilai-nilai luhur bangsanya. 

Momen inilah saatnya kita merefleksikan dan merevitalisasi peran pendidikan Bahasa Indonesia demi masa depan Indonesia yang lebih cerah.

Penulis adalah Mahasiswa Doktoral UIN Suna Lhokseumawe dan Guru SMA Negeri 1 Lhokseumawe



Berita Terkait

Posting Komentar

0 Komentar