Sang Pendidik Seni, Kisah Ida Erawati Mengabdi untuk Negeri

  


Foto : Dokumen Pribadi

Oleh: Putri Azzura Nasution

Ida Erawati, S.Pd., adalah seorang guru seni di SMA Negeri 1 Lhokseumawe. Sosoknya yang hangat dikenal oleh para siswa dan rekan sejawat dengan sapaan akrab, Bu Era. Ia lahir di Bireuen pada 30 Januari 1982. Bu Era merupakan anak kelima dari enam bersaudara, buah hati dari pasangan Suemmi Sulaiman dan (Alm.) Syahkubat Ben. 

Saat ini, ia menetap di Panggoi Asri, tempatnya menjalani kehidupan sehari-hari dengan penuh pengabdian sebagai seorang pendidik. Ia memiliki dua hobi, yaitu menari dan jalan-jalan, yang keduanya menjadi cerminan kecintaannya terhadap seni dan budaya lokal. Semangat ini terus tumbuh hingga akhirnya ia memilih untuk mendalami bidang seni dan menyalurkan ilmunya kepada generasi muda.

Bu Era menempuh pendidikan dasarnya di SD Negeri T. Chiek Peusangan pada tahun 1988, lalu melanjutkan ke SMP Negeri 1 Peusangan pada tahun 1994, dan kemudian ke SMA Negeri 1 Peusangan pada tahun 1997. 

Setelah menyelesaikan pendidikan menengah, ia melanjutkan studi di jurusan Seni Drama, Tari, dan Musik (Sendratasik) Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, pada tahun 2000 dan lulus pada tahun 2005.

Meskipun kini dikenal sebagai guru seni yang berdedikasi, Bu Era awalnya tidak berkeinginan menjadi seorang guru. Namun, sang ayah yang pernah bekerja di Dinas Pendidikan secara perlahan mengarahkan dan memotivasinya untuk menempuh jalan sebagai pendidik. Menurut ayahnya, profesi guru adalah pengabdian yang mulia dan bermanfaat bagi banyak orang.

Tidak hanya ayahnya, ibunya yang merupakan seorang pensiunan guru turut menjadi sosok panutan yang memperkuat niatnya untuk mengajar. Melihat ketulusan sang ibu dalam mendidik, Bu Era mulai menyadari nilai penting profesi tersebut. 

Akhirnya, ia memutuskan untuk mengikuti jejak ibunya. Keputusannya memilih jurusan seni juga didasari oleh kepekaan terhadap kebutuhan sekolah di sekitarnya. Saat itu, jumlah guru seni masih sangat terbatas. Dengan niat untuk berkontribusi mengisi kekurangan tersebut, ia pun mengambil jalur pendidikan seni.

Namun, perjalanan kuliahnya sempat menghadapi hambatan besar. Seharusnya, Ia menyelesaikan pendidikan S-1 pada tahun 2004, tetapi bencana tsunami yang terjadi di Aceh pada akhir tahun tersebut membuat kelulusannya tertunda. 

Skripsi yang telah ia susun rusak akibat banjir dan kampus tempatnya menempuh pendidikan pun terkena dampak besar hingga seluruh kegiatan akademik dihentikan sementara. Akibatnya, ia baru dapat menyelesaikan kuliah dan lulus pada tahun 2005. 

Peristiwa ini menjadi salah satu ujian terberat dalam hidupnya. Akan tetapi, dari kejadian tersebut, Bu Era justru tumbuh menjadi sosok yang lebih kuat, sabar, dan tangguh dalam menghadapi berbagai tantangan.

Tahun 2006 menjadi awal perjalanan kariernya sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Ia ditugaskan sebagai guru seni di SMA Negeri 3 Lhokseumawe. Di sana, ia dipercaya menjadi wali kelas dan berhasil meraih penghargaan sebagai wali kelas terbaik. Selain itu, ia aktif sebagai pembina OSIS di departemen kesenian serta menjadi pembina ekstrakurikuler tari. 

Pada tahun 2017, Bu Era pindah tugas ke SMA Negeri 1 Lhokseumawe hingga sekarang. Di sekolah ini, ia terus mengukir prestasi dan kembali dipercaya menjadi wali kelas. Di bawah bimbingannya, siswa-siswinya berhasil meraih berbagai prestasi membanggakan, di antaranya Juara 2 Tari Kreasi FLS2N Tingkat Kota Lhokseumawe pada tahun 2018 dan 2021, Juara 3 pada ajang yang sama di tahun 2022, Juara 1 Kreativitas Musik Tradisional dan Juara 3 Kriya FLS2N Tingkat Kota Lhokseumawe pada tahun 2025, serta Juara 3 Tari Kreasi dalam lomba yang diadakan oleh RRI pada HUT Museum Tahun 2023.

Selain membina siswa, Bu Era juga dipercaya menjadi juri FLS2N cabang tari kreasi tingkat SD dan SMP Se-Kota Lhokseumawe dari tahun 2016 hingga 2024. Ia pun pernah dianugerahi penghargaan sebagai Penggerak Tari Terbaik di Bireuen, baik sebelum maupun setelah menjadi PNS.

Selama sembilan belas tahun berkarier sebagai guru, Bu Era menunjukkan dedikasi yang luar biasa dalam dunia pendidikan seni. Ketekunannya dalam membimbing siswa hingga meraih prestasi merupakan tindakan yang patut dicontoh. Ia tidak hanya mengajar di dalam kelas, tetapi juga dengan penuh komitmen melatih siswanya di luar jam sekolah, bahkan hingga larut malam.

Salah satu tindakan Bu Era yang sangat mengagumkan adalah caranya bangkit dari kesulitan saat kuliah akibat bencana tsunami. Alih-alih menyerah, ia menyusun kembali skripsinya dan menyelesaikan pendidikannya. 

Hal ini menunjukkan bahwa ia adalah sosok yang tangguh, tidak mudah menyerah, dan selalu berusaha menyelesaikan tanggung jawabnya dengan penuh semangat. Sikap lain yang patut diteladani adalah kegigihannya dalam mengasah bakat siswa. 

Ia membimbing mereka bukan hanya untuk memenangkan lomba, tetapi juga untuk mencintai seni sebagai bagian dari budaya dan jati diri bangsa. Konsistensinya dalam menjadi juri lomba tari setiap tahun juga menunjukkan kepercayaan masyarakat terhadap integritas dan kemampuannya.

Menjadi guru seni bukan sekadar profesi bagi Bu Era, melainkan panggilan hati. Ketulusannya mengajar, kepekaannya terhadap potensi siswa, serta ketangguhannya dalam menghadapi tantangan menjadikan sosok Bu Era patut diteladani. Seperti yang ia katakan:

Menjadi guru adalah pengalaman yang kaya dengan suka dan duka. Menjadi guru adalah panggilan jiwa, di mana saya merasa bahagia bisa menginspirasi dan membentuk masa depan siswa.”

Melalui dedikasi dan semangatnya, Bu Era telah membuktikan bahwa guru bukan hanya pengajar, tetapi juga pembentuk masa depan bangsa.

Penulis adalah siswa Kelas XII-1 Program Unggulan SMA Negeri 1 Lhokseumawe



Berita Terkait

Posting Komentar

0 Komentar