Foto: Dokumen Pribadi
Bireuen Sastrapuna.com Kamis 17/7/2025 Suara-suara dari masa silam itu kembali menggema di Aula Lantai 3 Universitas Islam Kebangsaan Indonesia (UNIKI). Bukan dari lembaran naskah kuno yang berdebu atau dari bibir para tetua di sudut-sudut kampung yang kian senyap.
Kali ini, suara itu lahir dari lisan para pemuda dan pemudi, mahasiswa semester dua Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Aceh (PBSA), yang tengah menyulap panggung ujian akhir mereka menjadi sebuah perayaan ruhani bagi kebudayaan.
Selama tiga hari, terhitung sejak 15 hingga 17 Juli 2025, panggung itu bukan lagi sekadar panggung. Ia menjelma menjadi hutan belantara tempat si Kancil adu cerdik, menjadi istana megah tempat para putri menanti takdir, dan menjadi medan laga tempat heroisme para pahlawan Aceh diabadikan dalam hikayat. Ini adalah babak final dari mata kuliah Mendongeng, sebuah pertaruhan yang lebih dari sekadar angka di atas kertas transkrip. Ini adalah panggung pembuktian; apakah generasi baru ini masih memiliki denyut nadi yang sama dengan para pendahulunya dalam merawat ingatan kolektif.
Di bawah arahan sang nakhoda mata kuliah, Ibu Cut Santika, M.Pd., setiap mahasiswa tampil bukan sebagai pesakitan yang diuji, melainkn sebagai seniman yang sedang berikhtiar. Mereka tak hanya menuturkan, tetapi juga menghidupkan. Legenda, hikayat, dan beragam cerita rakyat yang sarat dengan falsafah hidup orang Aceh, dibawakan dengan penghayatan yang tulus.
"Kita berada di persimpangan zaman, di mana gawai di genggaman lebih menarik dari hikayat yang diwariskan," tutur Cut Santika dengan tatapan penuh makna. Baginya, kegiatan ini adalah sebuah benteng pertahanan budaya yang dibangun dari bilik-bilik kelas. "Mendongeng bukan sekadar kemampuan teknis berbicara. Ini adalah cara kita menitipkan warisan, menyuntikkan nilai, dan memastikan bahwa anak cucu kita kelak tidak menjadi generasi yang tercerabut dari akarnya. Mereka harus tahu siapa diri mereka, dan cerita-cerita inilah salah satu penandanya."
0 Komentar